Mubadalah.id – Pernikahan banyak diimpikan oleh sebagian orang. Khususnya perempuan. Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai objek sehingga menjadikan pernikahan sebagai sebuah tujuan yang menjadi keharusan. Perempuan diragukan saat mempunyai cita-cita, perempuan dihalangi ketika ingin menempuh pendidikan tinggi. Perempuan selalu diburu pertanyaan mengenai pasangan, padahal ia baru selangkah lulus dari bangku sekolah. Bahkan banyak perempuan berfikir untuk menikah saja saat ia merasa lelah belajar ataupun bekerja.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga didukung akses pendidikan yang mumpuni, kini banyak perempuan yang berpikir lebih maju dan mempunyai cita-cita juga keinginan yang tinggi. Abi Quraish Shihab bahkan menegaskan bahwa anak perempuan bisa lebih hebat dari anak laki-laki, tak ada perbedaan antara keduanya. Alih-alih memilih pernikahan, mereka memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk mewujudkan mimpi dan meraih cita.
Sejalan dengan maraknya kampanye Indonesia Tanpa Pacaran dan tekanan untuk menyegerakan pernikahan, ada fenomena baru di masyarakat khususnya mereka yang berhasil keluar dari lingkaran hitam budaya patriarki. Dengan memiliki bekal pendidikan dan paham apa yang dirinya inginkan justru memiliki pemikiran yang lain dalam memandang pernikahan.
Ada ketakutan tersendiri di tubuh mereka ketika memandang pernikahan sebagai salah satu proses kehidupan, dan merasa masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Perasaan dan ketidaksiapan untuk mengikat komitmen dengan pasangan.
Namanya Gamophobia. Yaitu ketakutan irasional seseorang terhadap komitmen dan pernikahan. Selalu merasa belum siap saat diajak berkomitmen dengan seseorang. Walaupun secara lahiriah ia lebih dari siap untuk melangkah. Hal ini berkaitan dengan dirinya sendiri. Dan orang lain tidak bisa memaksakannya. Dan dia dengan jelas menghindari segala perbicaraan mengenai pernikahan. Tentu ini adalah penyakit psikologis yang mungkin jarang kita temui bahkan tidak kita ketahui. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh generasi milenial.
Data menyebutkan bahwa pada tahun 2016, sejumlah 24,9 % perempuan di Indonesia tidak ingin menikah. Hal ini mungkin tidak sejalan dengan angka pernikahan di usia muda yang masih tinggi, karena mungkin tidak semua yang menikah muda berdasarkan keinginannya. Jika mengikuti keinginan bisa saja dia belum siap.
Tapi keadaan lah yang membuatnya mengambil keputusan untuk menikah dini. Di China bahkan lebih ekstrem lagi. Pada tahun 2015 hampir 80% anak muda lajang di sana dengan kelahiran antara tahun 80 sampai 90an memilih hidup sendiri, dan memilih tidak menikah.
Ketakutan seseorang pada pernikahan disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor utamanya adalah keuangan. Biaya hidup semakin tinggi, belum lagi biaya pendidikan dan sebagainya. Yang semuanya mau tidak mau harus kita pikirkan apabila telah menikah dan memiliki keturunan. Belum lagi biaya kesehatan, hanya membayangkannya saja bagi sebagian orang sudah terlihat mengkhawatirkan. Orang yang berpikir panjang tentu tidak akan gegabah dalam memilih langkah menuju pernikahan.
Faktor lainnya adalah keterikatan dalam pernikahan. Banyak orang yang siap pacaran tapi tidak siap dengan komitmen pernikahan. Menikah artinya menyatukan keduanya, baik antara pasangan maupun keluarga. Dengan modal cinta tentu semuanya tak akan bertahan lama, karena dengan menikah bukan berarti membuat kita otomatis berhenti jatuh cinta.
Selain itu, yang membuat seseorang takut pada pernikahan, adalah masalah tanggung jawab. Suami bertanggung jawab kepada istri, begitupun sebaliknya. Setelah punya anak secara langsung membuat tanggung jawab keduanya bertambah. Tanggung jawab bukan perkara mudah. Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik sebagai seorang suami, istri maupun orangtua.
Faktor berikutnya adalah hal yang sering dianggap tabu, yaitu tentang seksual. Seksual tidak berpacu hanya kepada orientasi seseorang, melainkan bentuk dan kepuasan batin lainnya. Hal ini berkaitan dengan faktor kelima, yaitu kurangnya rasa percaya diri.
Ada beberapa orang yang mungkin merasa tidak PD dengan bentuk tubuhnya, sehingga ada rasa takut akan ditinggalkan oleh pasangannya apabila pasangannya merasa tidak puas atas dirinya. Juga rasa tidak percaya diri karena ketimpangan status sosial keluarga yang kerap menjadi masalah bagi pasangan yang belum menikah.
Selanjutnya adalah rasa takut seseorang pada pernikahan berdasarkan pengalaman buruk yang dia terima. Baik pengalaman yang dia dapat dari orangtuanya atau pengalaman pada pernikahan yang dialami sebelumnya. Rasa trauma dan ketidakpuasan pada pernikahan mampu membuat seseorang merasa takut untuk menikah. Kekecewaan yang di dapat dari sebuah pernikahan tentu menjadi trauma tersendiri hingga membuat ia lebih berhati-hati.
Hati-hati ketika kita membicarakan atau bahkan bertanya mengenai pernikahan kepada orang lain. Karena tidak semua orang akan antusias ketika membahasnya. Menikah adalah ibadah. Tapi bukan ibadah namanya ketika kita menjalaninya dengan rasa takut bahkan trauma dan merasa terpaksa. Bukankah salah satu tujuan pernikahan adalah menciptakan ketenangan.
Target usia pernikahan kini bergeser, banyak perempuan yang lebih memilih menikah di usia dewasa, yaitu 25 ke atas. Mereka ingin selesai dengan masa lajangnya, berambisi dan mengejar cita-cita. Ketika melihat kehidupan pernikahan di sekitarnya dianggap tidak sehat bukan tidak mungkin banyak perempuan yang memilih untuk melajang lebih lama lagi. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing pribadi, Jadilah perempuan merdeka, yang mampu menentukan pilihan hidupnya sendiri. []