Mubadalah.id – Beberapa hadis ini menjelaskan mengenai prinsip dan praktik relasi kesalingan suami dan istri.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ: «اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ. لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذٰلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ. فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا. إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا. فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمُ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ. أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ». رواه ابن ماجه.
Terjemahan: Dari ‘Amr bin Ahwash ra. Ia mengikuti Haji Wada’ bersama Rasulullah Saw. Dalam khutbahnya, Rasul memuja-muji Allah, mengingatkan umatnya dan memberi nasihat-nasihat. Diantaranya Rasul Saw bersabda: “Saling berwasiatlah di antara kalian untuk selalu berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka berada pada posisi lemah di antara kalian. Kamu tidak berhak (melakukan) apapun terhadap mereka kecuali untuk kebaikan itu. Kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Kalau mereka melakukan hal itu, maka berpisahlah dari ranjang mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencederai. Kalau mereka sudah taat kepada kamu, maka janganlah cari-cara jalan (untuk menyakiti) mereka. Kamu punya hak atas istri kamu, dan istri kamu juga punya hak atas kamu. (Diantara) hak kamu atas istri kamu, adalah bahwa ranjang kamu tidak boleh ditiduri orang yang kamu benci, rumah kamu juga tidak boleh dimasuki orang yang kamu benci. Hak mereka atas kamu adalah perlakuan baik kamu terhadap mereka, baik terkait pakaian maupun makanan mereka”. (Sunan Ibn Majah, No. Hadis: 1924 dan Sunan Turmudzi, no. Hadis 1196).
Penjelasan Singkat: Gagasan inti dari teks ini adalah perlakuan baik yang bersifat timbal balik dan resiprokal antara suami dan istri. Hak-hak dan kewajiban yang disebutkan di atas hanyalah contoh yang bersifat kontekstual dan temporal. Karena itu, tidak hanya laki-laki, perempuan juga harus berbuat baik pada suami dan tidak boleh menyakitinya. Suami juga tidak boleh membawa perempuan lain yang dibenci istrinya untuk tidur seranjang atau untuk tidur dalam satu rumah. Ia juga berhak perlaukan baik dari istri mengenai pakaian dan makanan. Sekali lagi, karena yang paling inti, sebagaimana ditegaskan Nabi Saw, adalah saling memperlakukan secara baik dalam kehidupan rumah tangga. Ajaran ini merupakan implementasi dari prinsip al-Qur’an mengenai mu’asyarah bil ma’ruf (al-Nisa, 4: 19) dan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (ar-Rum, 30: 21).
Teks ke-50
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: «أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ». قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذٰلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ». رواه مسلم.
Terjemahan:
Dari Abu Dzarr ra. Beberapa orang sahabat datang mengadu ke Nabi Saw: “Wahai Rasul, orang-orang kaya akan banyak memperoleh pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, tetapi mereka bisa bersedekah dengan sisa harta mereka. Nabi Saw memberi nasihat: “Bukankah Allah telah menetapkan banyak hal sebagai sedekah; setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu-akbar) adalah sedekah, setiap tahmid (alhamdulillah) sedekah, setiap tahlil (la ilah illallah) sedekah, setiap amar ma’ruf sedekah, setiap nahi munkar sedekah, bahkan dalam persenggamaan kamu ada sedekah”. Mereka kaget dan bertanya: “Wahai Rasul, bagaimana seseorang yang melampiaskan nafsu syahwatnya memperoleh pahala?”. “Bukankah kalau nafsu itu dilampiaskan dengan cara haram akan berdosa, begitupun kalau dilakukanya denga cara yang halal akan memperoleh pahala”, jawab Rasul Saw. (Sahih Muslim, no. Hadis: 2376 dan Musnad Ahmad, no. Hadis: 21873, 21882, 22078).
Penjelasan Singkat:
Ini ungkapan yang sangat bijaksana dari Rasulullah Saw kepada orang-orang miskin yang mengeluh karena merasa tertinggal dari orang-orang kaya mengenai sedekah harta. Kata Nabi Saw, sedekah tidak selamanya pakai harta. Ada banyak hal yang telah ditetapkan Allah Swt sebagai media sedekah. Kita tidak perlu menunggu kaya untuk sedekah. Karena sedekah dapat dilakukan dengan apapun yang kita miliki. Harta, tenaga, ilmu pengetahuan, pelayanan terhadap orang lain, bahkan dengan lisan. Setiap ucapan baik dan kalimat positif adalah sedekah. Membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, atau mengatakan hal-hal baik kepad orang lain adalah sedekah.
Lebih khusus, Nabi Saw mengajarkan bahwa berhubungan intim dengan istri juga sedekah. Suami dapat pahala, dan tentu saja istri juga dapat pahala. Karena dalam hubungan intim ini terjadi pelayanan dan pemuasan yang timbal balik. Suami terhadap istri dan istri terhadap suami. Gagasan dasarnya adalah melayani dan menyenangkan pasangan. Jadi, jika dilakukan dengan cara menyakiti, memaksa, atau dengan kekerasan, alih-alih mendapat pahala, malah bisa mendapat dosa.
Teks ke-51
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ. فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَ كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ. قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ. فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ فَقَالَ نَمْ فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ نَمْ، فَلَمَّا كَانَ آخِرُ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الْآنَ، قَالَ فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذٰلِكَ لَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ». رواه البخاري.
Terjemahan:
Dari Aun bin Abi Juhafah, dari ayahnya. Sang ayah berkata: Nabi Saw mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda. Ketika Salman berkunjung ke rumah Abu Darda, ia melihat istrinya Umm Darda berpakaian lusuh. “Mengapa demikian, ada apa dengan kamu”, tanya Salman ke istri Abu Darda. “Ini saudara kamu itu, Abu Darda, sama sekali tidak tertarik dengan kenikmatan dunia”. Abu Darda memasak dan membawa hidangan ke Salman: “Makanlah, saya berpuasa”, kata Abu Darda. “Saya tidak akan makan kecuali kalau kamu makan”, kata Salman. Akhirnya Abu Darda juga makan. Ketika masuk malam, Salman berkata pada Abu Darda: “Tidurlah”. Ketika tengah malam Abu Darda bangun. “Tidurlah”, kata Salman mengulang. Ketika malam menjelang pagi, “Sekarang bangunlah”, kata Salman. Mereka berdua shalat, dan Salman bertutur: “Bahwa Tuhanmu punya hak atas kamu, tubuhmu juga punya hak atas kamu, istrimu juga punya hak atas kamu, maka penuhilah sesuai haknya masing-masing”. Ketika Abu Darda bertandang ke Nabi Saw dan menceritakan kejadian itu, Nabi Saw berkata: “Benarlah yang dikatakan Salman itu”. (Sahih Bukhari, no. Hadis 6139 dan Sunan Turmudzi no. Hadis: 2596).
Penjelasan Singkat:
Ini adalah kisah persaudaraan yang sangat menyentuh dan dalam. Persaudaraan yang didasarkan pada keimanan dan nilai hidup. Yang menjadi pembicaraan kita pada konteks ini adalah apa yang disampaikan Salman al-Farisi mengenai hak istri atas kepuasan seksual dari suami. Dalam benak banyak orang, laki-laki yang dianggap memiliki hak penuh atas kenikmatan seksual dari istrinya. Sementara sebaliknya tidak. Sehingga tidak sedikit suami yang memaksakan kehendak ketika sedang berhasrat dan meninggalkan begitu saja ketika sudah tidak lagi berhasrat. Beberapa juga meyakini ibadah, mencari ilmu, dan melayani publik, adalah lebih baik daripada melayani dan memuaskan istri. Ketika suami berhasrat, istri harus selalu bersedia dan taat, tetapi ketika tidak ia harus bersabar. Ini adalah keyakinan dan praktek yang tidak resiprokal, timpang, dan tidak adil. Ini juga, seperti dalam pernyataan Salman al-Farisi ra, adalah pelanggaran terhadap hak istri. Pernyataan Salman ra ini dibenarkan Nabi Saw, karena memang sesuai dengan prinsip al-Qur’an: bahwa istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian bagi istri (al-Baqarah, 2: 187).
Teks ke-52
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ يُقَالُ لَهُ الْفَرَقُ. رواه البخاري.
Terjemahan:
Dari Aisyah ra. Saya biasa mandi bersama Nabi Saw dari satu bejana dan dengan satu gayung, disebut faraq. (Sahih Bukhari, no. Hadis: 251).
Sumber Hadis:
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahihnya (no. Hadis: 251, 254, 262, 264, 265, dan 274) dan Imam Muslim dalam Sahihnya (no. Hadis: 753, 755, 773), dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya (no. Hadis: 78, 80, dan 238).
Penjelasan Singkat:
Teks Hadis ini mengisahkan tentang keintiman antara Aisha ra dan sang suami Nabi Muhammad Saw. Tentu saja mandi bersama hanyalah contoh dari praktik keintiman dilakukan agar cinta kasih antara suami istri terus selalu dipupuk, disemai, dan ditumbuhkan.
Keintiman tidak harus selalu dengan hubungan kelamin atau jima’ sebagaiman dipikir banyak orang. Tetapi semua aktivitas kebersamaan yang bisa melestarikan dan menumbuhkan kembali rasa ketentraman dari yang satu kepada yang lain, rasa nyaman, penghargaan, penghormatan, pelayanan, dan tentu saja cinta kasih.
Aktivitas yang seperti ini, secara umum, dibutuhkan kedua belah pihak, kesalingan suami dan istri. Pada saat yang sama juga perlu dilakukan secara aktif oleh kedua belah pihak. Masing-masing harus melayani dan dilayani pada saat bersamaan. Memuaskan dan menikmati. Memulai dan meneruskan. Menggoda dan tesenyum. Mandi adalah salah satu aktivitas bersama yang sangat intim yang bisa menguatkan rasa kebersamaan yang cukup dalam.
Aktivitas lain bisa shalat bersama, makan bersama, dan jalan bersama. Gagasan lain yang mungkin bisa dikaitkan adalah pentingnya mewujudkan momen kebersaman antara suami istri dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Misalnya, bagi suami istri baiknya memiliki kamar tersendiri yang bersama, bukan terpisah. Ini penting untuk memupuk kebersamaan tersebut. Sehingga setiap ada masalah bisa diselesaikan ketika masing-masing masuk dalam kamar bersama tersebut. Jika terpisah, seringkali kesalahpahaman antara suami istri dan sengketa akan semakin berlarut, buntu dan sulit terselesaikan.
Dalam kamar yang sama, bisa diawali dengan sekedar senyum, atau gerakan-gerakan kecil untuk mengawali pembicaraan ketika sedang terjadai ketegangan. Berangkat dari teks hadis sebelumnya, mengenai pahala dari hubungan intim, maka mandi bersama juga pahala, jika yang satu menyenangkan yang lain.
Di sinilah arti dari ungkapan “menikah adalah ibadah”. Karena banyak sekali aktivitas antara suami dan istri yang akan dicatat Allah Swt sebagai ibadah dan dapat pahala. Tentu saja jika semua aktivitas ini dilakukan dalam semangat prinsip saling berbuat baik, saling melayani, saling menopang, dan saling membantu. Hanya dengan rasa dan sikap kesalingan suami dan istri inilah kebahagiaan hidup berumah tangga akan terwujud secara hakiki. Dan dengan inilah sebuah pernikahan memiliki arti ibadah.