Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang hadits perempuan “naqishat din” (kurang agama), maka hadits tersebut menurut Kang Faqih hanya pernyataan simbolik dari kurangnya aktivitas perempuan terkait shalat dan puasa, yang sering ia tinggalkan pada saat menstruasi.
Seperti persis Nabi Muhammad Saw jelaskan bahwa meninggalkan shalat dan puasa juga perintah Islam. Adalah aneh, seseorang yang Islam perintah untuk meninggalkan shalat dan puasa.
Pada saat yang sama perempuan kita anggap kurang agama karena melaksanakan sesuatu yang Allah Swt perintahkan. (Baca juga: Menanti Hasil Fatwa KUPI dan Kokohnya Bangunan Epistemologi Part I)
Jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti Abu Syuqqah tegaskan. Maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala saat menstruasi.
Misalnya, aktivitas ibadah ritual, seperti dzikir dan baca doa, maupun ibadah sosial, seperti menolong orang lain. (Baca juga: Abu Syuqqah: Pengalaman Sahabat Perempuan Jadi Rujukan Praktik Kenabian)
Jadi, teks hadits perempuan kurang agama dan akal, sesungguhnya sama sekali tidak sedang menetapkan “akal dan agama perempuan yang bernilai separuh dari laki-laki”.
Terlebih menetapkan superioritas laki-laki atas perempuan dalam segala hal, hanya karena seseorang itu laki-laki atau perempuan. (Baca juga: Qira’ah Mubadalah: Metode Membaca Teks Sumber Ajaran Islam Agar Adil Gender)
Oleh karena itu, dalam hal ini, ajaran Islam, tidak pernah mendasarkan segala sesuatu pada jenis kelamin dan segala rupa tubuh untuk menilai dan memuliakan seseorang.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.