Mubadalah.id – Katanya, hidup adalah pilihan yang mesti dijalani. Mulai dari hal kecil saja, setiap pagi kita sudah dihadapkan untuk memilih mengawali hari dengan gembira atau berduka. Katanya, pagi adalah penentu segalanya. Jika di pagi hari mood kita sudah baik, maka sepanjang hari akan berjalan dengan baik.
Namun jika di pagi hari sudah terjadi hal-hal yang membuat tidak nyaman, maka sepanjang hari akan ada saja hal-hal yang membuat hari seolah tidak berjalan lancar. Jadi, menghidupkan mood yang baik di pagi hari menjadi pilihan yang harus dipilih, terutama bagiku, manusia yang sensitif dan perasa ini.
Pilihan dalam Ketidakmujuran
Seperti yang sudah kau duga, pagi ini aku tidak mujur. Saat bangun pagi tadi, aku belum mengisi daya hape, dan tetiba listrik mati. Aku baru mendapatkan info kalau seharian ini bakal ada pemadaman setelah bertemu penjual susu murni yang lewat depan rumah. Betapa badmood, ada serangkaian tugas kantor yang harus dikirim.
Meski sedang liburan, kau tahulah, selalu ada tugas tambahan tak terduga. Mematikan ponsel selama liburan demi menghindari dering telepon atasan juga bukan pilihan bijaksana. Di zaman sekarang kita sangat butuh ponsel dan keterhubungan untuk mendapat informasi.
Memutus hubungan secara total di hari libur juga akan menyebabkan suasana canggung yang tak perlu di hari senin, aku memilih berkompromi. Asal aku tidak sedang stress berat atau ada musibah, segala rasa tidak enak bisa kutahan. Dalam ketidakmujuran aku juga mesti memilih, memilih untuk tetap tenang atau mengamuk!
Ya, dan berawal dari dari listrik mati, kini ketidaknyamanan bertambah, bukan hanya gagal mengirim laporan secepat-cepatnya, namun aku juga gagal memesan tiket kereta untuk agenda besok. Akhirnya aku memutuskan pergi ke sawah, menghirup udara segar.
Dan aku mendapatkan udara segarnya, lengkap dengan pemandangan hijau meditatif, suara gemericik air, dan kicau burung. Namun sepulang dari sawah, aku terjatuh di pematang, sendal kulitku masuk lumpur. Begitulah pagiku.
Tentang Menerima Tanpa Rasa Malu
Sepulang dari sawah, bertemu kerumunan ramai-ramai di depan rumah tokoh RT yang kukenal baik. Tanpa prasangka, aku jalan saja melewati kerumunan, namun tetiba bentrok terjadi. Aku kena pentung hansip karena dikira merupakan bagian dari warga yang rusuh. Sungguh sial nasibku pagi ini.
“Aduh kasian, cakep-cakep jidatnya jadi benjol begini.” Ucap Bibi Arni, Bibi tetangga yang menghampiriku yang terduduk di pinggir jalan.
“Ada apa ini, Bi? Kok warga pada demo begini?” Tanyaku pada Bibi Arni, yang sedang menggerus daun Bandotan dengan batu.
“Itu, masalah SJPB, asuransi kesehatan pemerintah yang tidak tepat sasaran, masak yang mereka kasih hanya kerabat para pengurus desa. Kami yang miskin tak kebagian.”
Ucap Bibi Arni sambil menempelkan tumbukan daun Bandotan ke jidatku. Konon daun Bandotan itu bisa menyembuhkan luka benjol. Dan memang nyata, sejak kecil ibuku juga menggunakannya saat aku jatuh dari sepeda atau kesandung.
“Bukan cuma kerabat pengurus desa, asuransi itu juga diberikan hanya pada kenalan para pengurus desa. Semua saja, bantuan langsung tunai, batuan beras dan daging, segala bantuan mengucur pada orang-orangnya Pak Kades dan perangkat desa.” Ucap bibi Arni melanjutkan.
Ya aku sudah mendengarnya. Sudah bukan barang asing, sejak aku kecil, yang menerima bantuan selalu orang-orang yang punya kedekatan dengan perangkat desa. Di setiap RT ada tokoh yang “direkrut” dan “ditanam”, merekalah yang bertugas mendata dan memilih warga mana saja yang akan mendapatkan bantuan.
Kebanyakan, yang mendapat bantuan bukan berdasar data real kondisi ekonomi keluarga (kemiskinan), tapi berdasar koneksi. Jika orang miskin tersebut punya kedekatan, tentu ia mendapatkan rekomendasi. Namun jika tidak, ia bisa terkalahkan oleh orang berada yang tak tahu malu. Di desaku banyak, orang berada, tetap sumringah menerima bantuan. Bahkan ada yang sengaja meminta jatah tanpa rasa isin.
Aku pikir semua kekacauan ini hanya terjadi saat aku kecil, ternyata sekarang masih. Malah tambah parah karena pemerintah hari ini sedang giat-giatnya memberikan banyak kartu ini-itu dan bantuan ini-itu untuk beragam kepentingan.
Kepentingan
Kenapa aku mengatakan beragam kepentingan? Karena tidak murni untuk menyejahterakan rakyat. Buktinya? Jika perduli, mereka akan melakukan riset yang sungguh-sungguh, cara menyejahterakan rakyat bukan dengan “menyuapi” rakyat dengan uang kontan yang pada akhirnya tidak tepat sasaran dan mereka gunakan untuk tujuan yang tidak sesuai tujuan.
Namun menciptakan lapangan kerja sehingga orang-orang dididik untuk berusaha dahulu sebelum menerima. Sang pemberi bantuan melakukan langkah instan, hanya untuk menjaga elektabilitasnya tetap tinggi, dan untuk memenangkan orang tertentu yang dipilih menjadi penerus kekuasaan.
Tetanggaku, satu jam setelah mendapat bantuan langsung tunai, mereka berbondong pergi ke Mall dan melakukan segala hal yang para sosialita di konten media sosial lakukan. Semuanya kegiatan konsumtif. Mereka masuk mall, membeli baju, belanja, lalu duduk di restoran memesan makanan apapun yang viral.
Bantuan langsung tunai menjadi semacam rejeki nomplok yang memang sengaja ingin mereka habiskan hari itu juga. Warga tertentu, akan menghemat uang sebagai tabungan atau sebagai tambahan modal jualan kecil-kecilan. Namun kebanyakan, mereka akan menghamburkan uang bantuan itu untuk kebutuhan tersier bahkan hanya untuk memenuhi nafsu sesaat, menuruti keinginan bukan kebutuhan.
Dunia Simulacra dan Mimpi Anak-Anak
Orang zaman dulu mungkin hampir semuanya akan menabung dan menghemat bantuan. Namun orang zaman sekarang yang sudah terkontaminasi media sosial yang berisi beragam tawaran kenikmatan duniawi, susah sekali membendung hasrat hedonisme. Ibu mana yang tahan tidak membawa anaknya makan di toko ayam goreng tepung terkenal itu?
Orang tua mana yang tak buru-buru membawa anaknya ke kedai es krim viral yang menjadi dambaan? Semua anak-anak sudah mencobanya, memakannya, membicarakannya di sekolah. Orang tua mana yang mampu menahan diri membiarkan anaknya menjadi satu-satunya anak yang belum pernah merasakan nikmatnya ayam tepung ditaburi saus keju?
Siapa yang mampu menerapkan pendidikan sederhana tapi berkelas, tetap mempertahankan idealisme? Jangan gila! Tak ada yang mampu di zaman sekarang. Kecuali kau memang bebal dan kelewat pintar. Kecuali kau orang tua kreatif yang mampu mencipta iklim menyenangkan bagi anak, membangun pola pikir dan paradigma mereka sejak kecil tentang kehidupan yang jauh dari dunia simulacra?
Percayalah, mendidik anak dengan hebat juga butuh dedikasi, kesabaran, butuh waktu yang banyak, butuh kecerdasan serta kreativitas. Tenagamu sudah habis sepanjang siang untuk menghadapi atasan di kantor dan segenap tuntutan sosial di masyarakat. Persetan dunia simulacra! Persetan hiperrealitas! Anak minta jajan, kita turuti. Mereka diam, kita bisa istirahat. That’s the point.
Mimpi Perempuan
Ini baru perkara anak, belum lagi perkara perempuan gaul. Perempuan mana yang tidak ingin sekali saja dalam hidupnya dapat “menikmati hidup”. Konsep menikmati hidup berasal dari beragam narasi di medsos dan sebagian besar adalah tentang menyenangkan diri dengan belanja dan memiliki barang-barang.
Membawa uang satu juta cash dan membelanjakannya selama sehari di swalayan adalah bentuk me time terbaik ala perempuan jaman sekarang. Hidup cuma sekali, harus kita nikmati. Bukan udara segar di sawah yang ingin mereka hirup karena itu sudah biasa, namun udara Mall yang menarik-narik uang di dompet untuk segera kita belanjakan.
Kehadiran bantuan uang cash dari pemerintah adalah angin segar untuk memenuhi impian membeli beragam hal yang sudah mereka incar.
Setiap Pilihan Menuntut Tanggung Jawab
Pada akhirnya aku kembali ke rumah. Dan listrik sudah menyala. Langsung aku mengisi daya ponselku, dan segera mengirim apa yang perlu dikirim. Sambil kabel daya tetap menempel di stop kontak, aku scrolling medsosku.
Dan algoritma mengantarkanku pada sebuah hastag tentang film dokumenter yang baru saja trending, sekilas kubaca komentar, katanya berisi hal-hal yang akan menjadi tsunami pikiran. Aku segera meluncur ke kanal utama untuk menonton. Bagai petir di siang bolong, film tersebut mengejutkanku. Lagi-lagi, dari film itu aku harus memilih, memilih menjadi manusia yang baik atau buruk.
Begitulah hidup. Menjelang siang sedikit, kita di hadapkan pilihan yang lebih runyam. Serangkaian pilihan akan kita hadapi sepanjang hari, dan setiap hari pula kita akan mengajukan beragam pertanyaan yang butuh jawabannya sekaligus hari itu juga. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan. []