Mubadalah.id – Hak bebas dari stigma bagi penyandang disabilitas secara konstitusional terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, secara rinci terdapat 22 hak dasar didalamnya. Tujuan lahirnya undang-Undang ini yaitu untuk melindungi, menghormati , menjamin pemenuhan hak agar memiliki kesetaraan dan kesempatan yang sama.
Sayangnya, di tengah-tengah kita masih banyak disabilitas yang harus berjuang melawan penghalang tak kasat mata. Penghalang itu bernama stigma, persepsi negatif, prasangka, dan diskriminasi yang menganggap mereka kurang berharga atau tidak mampu.
Hal Ini tentu menjadi PR besar bagi kita semua agar slogan “ramah disabilitas” bukan sekedar slogan. Membangun aksesibilitas fisik disabilitas seperti ramp, toilet khusus adalah langkah penting dan relatif mudah direlisasikan dengan material bangunan.
Namun menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif memerlukan lebih dari sekadar fasilitas fisik. Dibutuhkan sikap empati yang berasal dari kesadaran dan pemahaman mendalam tentang tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas.
Sepenggal kisah pahit dari anak disabilitas, dari stigma hingga perundungan
Iqlima (2015-2017) seorang terapis anak berkebutuhan khusus di klinik difabel Cakra Husada kala itu dia sedang hamil, ada beberapa pihak yang mengkhawatirkan kehamilannya bukan karena memperhatikan kesehatannya, melainkan melontarkan stigma pada anak berkebutuhan khusus yang ia terapi. “Hati-hati yaa neng banyak istighfar, itu takutnya anaknya nanti lahir cacat”.
Tentu ini sangat menyayat hati seorang yang berdedikasi menjadi terapis bahkan teman bertumbuh kembang anak berkebutuhan khusus tersebut. Apa yang salah dengan mereka? Mereka yang tak berdosa diusia dininya, meski terkena stigma seolah-olah mereka bukan orang normal dan harus dikucilkan.
Stigma dari masyarakat sering kali menjadi beban yang lebih berat daripada disabilitas itu sendiri. Penyandang disabilitas telah berulang kali membuktikan potensi dan kontribusi mereka, tetapi prasangka sering kali membuat mereka terpinggirkan
Selanjutnya kisah Elis seorang guru SLB Al-Ichlas Jayaratu ia mengajar anak tunagrahita (disabilitas intelektual) iapun menuturkan bahwa dukungan masyarakatpun belum sepenuhnya berpihak kepada anak tunagrahita masih ada beberapa kasus anak tunagrahita menjadi objek perundungan di lingkungan sekitanya misal mengajari bahasa kasar, menjejali rokok, bahkan sampai memberikan alkohol kepada anak tunagrahita tersebut.
Menurut autismspeaks.org anak disabilitas memiliki risiko 2 hingga 3 kali lebih tingggi untuk dirundung dibandingkan dengan teman sebaya yang non-disabilitas, bahkan 60% dari anak dan remaja dengan autisme melaporkan telah dirundung. Bentuk perundungaannya berupa kekerasan fisik, verbal (ejekan, julukan, merendahkan), dan psikologis (pengucilan).
Refleksi QS. ‘Abasa
Jika kita merefleksi secara historis Nabi Muhammad Saw pun pernah Allah tegur karena terkesan mengabaikan seorang tunanetra dalam suatu majelis dengan bermuka masam. Peristiwa ini terjadi di Mekkah, ketika Rasulullah sedang berdakwah kepada para pemuka Quraisy yang terpandang dan berpengaruh, seperti Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan Abbas bin Abdul Muthalib. Nabi sangat berharap agar mereka memeluk Islam, yang akan membawa pengaruh besar terhadap dakwah.
Di tengah pembicaraan penting tersebut, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra yang tulus ingin belajar lebih dalam tentang Islam. Ia berulang kali memotong pembicaraan Nabi, meminta agar beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengajarkan agama.
Karena fokus Nabi terpecah, beliau menunjukkan ekspresi kurang berkenan dan berpaling dari Ibnu Ummi Maktum. Beliau menganggap bahwa pembicaraan dengan para pemuka Quraisy lebih penting saat itu, dengan harapan mereka akan masuk Islam.
Refleksi Terkait Cara Pandang terhadap Penyandang Disabilitas
Teguran ini menjadi acuan refleksi terkait cara pandang terhadap penyandang disabilitas yakni:
Pertama, kesetaraan nilai di mata Allah. Kisah Ibnu Ummi Maktum menunjukan bahwa seorang tunanetra yang memiliki semangat belajar agama jauh lebih mulia dibandingkan dengan pembesar yang angkuh.
Kedua, pentingnya empati dan inklusivitas. Selalu bersikap ramah dan memberikan perhatian tulus pada semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Mengabaikan seseorang hanya karena keterbatasan fisik merupakan hal tercela.
Ketiga, prioritas dalam berdakwah. Semangat keilmuan dan ibadah yang tulus lebih berharga dari status duniawi.
Keempat, Islam menjunjung tinggi hak penyandang disabilitas. Peristiwa ini jadi bukti nyata bahwa Islam menempatkan penyandang disabilitas dalam posisi terhormat, menolak diskriminasi, dan mendorong perlakuan adil.
Setiap orang berhak atas martabat dan penghormatan yang setara, terlepas dari kondisi fisik atau mentalnya. Hak untuk bebas dari stigma adalah hak asasi manusia yang mendasar, dan merupakan kewajiban bagi kita semua sebagai masyarakat dan sebagai bangsa untuk melindunginya. Mari kita singkirkan anggapan bahwa penyandang disabilitas adalah beban, karena sesungguhnya mereka adalah bagian integral dari keberagaman kita. []











































