Mubadalah.id – Hari ini, 1 Mei 2023 kita peringati sebagai Hari Buruh Internasional. Banyak fakta di lapangan yang masih belum memberikan akses kerja layak bagi para perempuan. Hak perempuan terhadap kesempatan dan persamaan dalam akses kerja masih terbatas. Masih banyak ketimpangan, dan ketidakadilan gender yang menimpa para pekerja perempuan.
Sebagaimana yang Musdah Mulia paparkan dalam buku “Ensiklopedia Muslimah Reformis.” Di mana ia menjelaskan bahwa penindasan terhadap pekerja perempuan berjalan sistemis.
Pertama, negara melegitimasi pengusaha untuk melakukan diskriminasi upah kepada buruh perempuan. Diskriminasi upah tersebut jelas berdasarkan pada asumsi-asumsi bias gender yang melihat perempuan sebagai pencari nafkah tambahan, dan bukan kepala keluarga. Hak perempuan di sini telah terabaikan.
Oleh karena itu perempuan tidak berhak atas berbagai tunjangan yang diperoleh rekannya yang laki-laki. Status perkawinan telah membedakan upah laki-laki dan perempuan. Khususnya dalam perolehan tunjangan keluarga.
Peran Gender Perempuan
Kedua, pemerintah juga telah melegitimasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat tentang peran gender perempuan. Yakni dengan memfokuskan perhatian pada pendidikan yang memerlukan ketelitian dan keterampilan. Akibatnya, kaum perempuan tergiring untuk masuk pada bidang-bidang pekerjaan stereotipe, yang pada umumnya bernilai dan berupah rendah.
Ketiga, kebijakan ekonomi negara yang beroroentasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan politiknya yang berorientasi pada stabilitas telah memperburuk kondisi kerja buruh secara keseluruhan. Sebab, pada dasarnya kebijakan untuk kaum perempuan ditujukan untuk memenuhi persediaan tenaga kerja murah bagi pemilik modal.
Peraturan baru yang telah pemerintah keluarkan sesungguhnya merupakan kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Konvensi. Tetapi ternyata kesempatan ini justru pemerintah gunakan untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai gender dan stereotipe yang selama ini ada dalam masyarakat.
Maka, agar dapat memberi perlindungan hukum bagi para pekerja rumah tangga yang bekerja di luar negeri, pemerintah harus mendesak supaya MoU (memorandum of Understanding) terdapat klausul perlindungan hukum bagi mereka.
Yakni untuk memperkuat posisi mereka di hadapan hukum negeri penerima. Baik Indonesia sendiri sebagai negara pengirim maupun negara penerima, harus meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya.
Perempuan Bekerja dalam Islam
Pada prinsipnya Islam tidak melarang perempuan bekerja di dalam, atau di luar rumah, secara mandiri atau bersama-sama. Baik itu dengan swasta ataupun pihak pemerintah. Di mana pekerjaan itu mereka lakukan siang atau malam, selama perempuan dapat menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia lakukan. Baik itu terhadap diri, keluarga dan lingkungannya.
Islam juga tidak menetapkan jumlah jam-jam tertentu dan hari-hari tertentu untuk bekerja. Yang digariskan hanyalah bahwa pekerjaan tersebut tidak boleh menjadi beban yang sangat berat ia pikul. Baik karena lamanya waktu bekerja, maupun karena sifat pekerjaan.
Sebagaimana yang Quraish Shihab jelaskan dalam buku “Perempuan”, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda,
وَ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu”. (HR. Muslim; No:1967)
Dengan demikian, kerja yang kita bebankan pada perempuan, baik oleh dirinya maupun orang lain, tidak boleh melebihi kadar yang wajar. Nabi SAW juga mengingatkan tentang perlunya istirahat. Bukan saja untuk melepaskan lelah dari kerja mencari nafkah. Melainkan juga dalam ibadah ritual. Itu semua beliau tekankan tanpa merinci kadar atau batas tertentu. Karena hal ini berkaitan dengan kondisi masing-masing pribadi dan perkembangan suatu masyarakat.
Jika penjelasannya begitu, maka lama waktu bekerja terpulang pada kewajaran yang berdasarkan pada penilaian setiap masyarakat di daerah setempat. Atau istilah lainnya, memperhatikan kearifan lokal di masing-masing wilayah. Tentu dengan tetap memperhatikan hak-hak perempuan di dalamnya, seperti upah layak sesuai dengan standar setempat, sehingga ini bisa menjadi perhatian bersama pada momentum peringatan Hari Buruh Internasional. []