Mubadalah.id – Belum lama ini Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II mengeluarkan sikap keagamaan tentang pelarangan praktik Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang umum kita sebut dengan sunat perempuan. Dasarnya kuat, mengutip data UNICEF yang Komnas Perempuan catat dengan penjelasan bahwa sepanjang 2020, sekurangnya 200 juta anak perempuan dan perempuan berusia 15-49 tahun dari 31 negara mengalami pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP). Lantas, perlukah sunat perempuan dalam kacamata maqashid asy-syari’ah?
Khitan berasal dari bahasa Arab al-khitan merupakan bentuk masdar dari fi’il khatana yang bermakna qatha’a yaitu memotong. Kata al-khitan dan al-katanu artinya memotong bagian tertentu dari anggota tubuh. Khitan atau sunat perempuan berarti memotong kulit yang menutupi klitoris vagina. Dalam istilah Arab sunat perempuan sering disebut dengan khafdh atau khifad.
Sebagian masyarakat muslim baik di Indonesia maupun Mesir dan Afrika meyakini bahwa sunat ini adalah bagian dari syariat Islam. Faktanya, sunat bagi perempuan sudah mereka lakukan sejak pra Islam secara turun temurun. Bahkan pada masa Fir’aun, Mereka ramai melakukan tradisi hingga muncul istilah sunat Fir’aun. Praktiknya, tradisi sunat mereka lakukan secara berbeda-beda. Ada yang hanya simbolik, menorehkan sedikit, bahkan memotong habis klitoris vagina.
Tradisi ini seringkali bersanding dengan berbagai mitos yang bias gender. Perempuan dinilai memiliki nafsu yang sangat besar. Untuk menanganinya serta menghindari perbuatan zina, maka sunat perempuan dianggap menjadi solusi untuk menstabilkan syahwat perempuan.
Praktik sunat bagi perempuan tidak memiliki legalitas hukum yang sahih baik dalam alquran maupun hadits. Jika suatu perkara hukum tidak memiliki sumber hukum yang jelas, maka maqashid ays-syariah dapat kita gunakan sebagai dasar dalam berfatwa. Pijakan dalam maqashid ays-syariah adalah “kemaslahatan”.
Tidak Ada Kemaslahatan
Apakah tradisi sunat memberikan kemaslahatan bagi perempuan? Dalam hal ini harus kita kembalikan pada ahlinya sesuai dengan fiirman Allah surat An-Nahl ayat 43 yang memiliki arti “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. Orang yang mempunyai pengetahuan (ahli ilmu) dalam praktik sunat perempuan adalah ahli medis atau kedokteran.
Menurut ahli medis, perempuan juga memiliki kulup (kulit) seperti laki-laki yang bisa kita sunat. Hanya saja, risiko yang kita dapat jauh lebih besar dari pada manfaatnya karena kulit klitoris perempuan sangat tipis dan dilalui banyak pembuluh darah. Secara anatomi, tidak semua perempuan memiliki tudung klitoris. Jangankan terpotong, klitoris vagina adalah bagian reproduksi perempuan yang sangat sensitif dengan sentuhan.
Dampak langsung dari tradisi sunat bagi perempuan adalah pendarahan. Sedangkan jangka panjangnya dapat menyebabkan infeksi reproduksi, kehilangan kenikmatan dalam berhubungan seks, bahkan trauma yang berkepanjangan. Besarnya dampak sunat bagi perempuan membuat para aktivis perempuan mengecam bagi siapapun yang melakukan, menyuruh, bahkan memaksa anak perempuan untuk disunat.
Namun sayang, masih ada masyarakat yang melestarikan praktik ini, walaupun sudah banyak yang meninggalkannya. Kurangnya kesadaran dan pemahaman akan sunat, seksualitas, dan kesehatan reproduksi perempuan menjadi faktor yang paling kuat dalam tradisi sunat atau P2GP.
Tradisi yang tidak Islami
Perlu kita tegaskan kembali, bahwa ini tradisi yang tidak Islami namun menyusup ke dalam Islam. Jika memang tradisi bagi perempuan ini termasuk syariat Islam maka Rasulullah Saw sudah mencontohkannya sejak dahulu. Namun realitanya tak ada satupun putri Nabi yang beliau sunat.
Dalam shihah sittah (6 kitab hadits paling terpercaya), hanya sunnah Abu Daud yang meriwayatkan adanya anjuran sunat perempuan. “Apabila engkau men-sunat wanita, sisakanlah sedikit dan jangan memotong semuanya, karena itu lebih menyenangkan bagi seorang suami” (Abu Daud, Kitab Akhlak, Bab Tentang Sunat). Abu Daud sendiri menyatakan bahwa isi hadis ini meragukan, beliau mencatat “Sanad periwayatannya tidak kuat. Selain itu, hadits ini bukan kutipan langsung dari Raulullah. Hadits ini lemah keshahihannya”.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa tradisi sunat bagi perempuan adalah bagian dari pengamalan untuk mengikuti teladan Nabi Ibrahim as. Namun Taurat merekam sangat jelas firman Allah bahwa sunat Nabi Ibrahim as bagi laki-laki. Berikut bunyinya “Setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Taurat, Kejadian 17 : 10).
Sudah tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan praktik sunat bagi perempuan. Ini praktik kuno yang sudah menjamur di zaman Fir’aun Mesir. Sebagian mereka lakukan untuk membatasi ruang seksual perempuan. Entah darimana ajaran yang masyarakat terima tentang tujuan praktik ini adalah untuk membatasi hasrat seksual perempuan.
Pasalnya baik syariat Islam maupun sains tidak membenarkannya. Islam adalah agama rahmatan lil a’lamin, tidak mungkin di dalamnya terselip ajaran yang menimbulkan mafsadat bagi umatnya. Mari cerdas bertindak, ini bukan masalah sepele. Jangan jadikan anak perempuan anda menjadi korban dari tradisi yang bias gender ini. (Bebarengan)