Mubadalah.id – Baru semalam saya menonton sebuah film tanpa terlebih dahulu membaca sinopsisnya. Membaca sinopsis terlebih dahulu sebenarnya bertujuan agar sedikit terbantu memahami plot cerita dari film yang akan saya tonton. Akan tetapi, untuk kali ini saya tidak membaca sinopsisnya. Tapi tertarik karena temanya tentang human trafficking. Di awal pemutaran film tidak ada judul terpatri apa yang sedang saya tonton, baru di akhir editor menambahkan judul yang bertuliskan “Level 16”.
Penggarapan film asal Kanada ini oleh sutradara Danishka Esterhazy dan rilis pada 2019. Menggabungkan cerita bergenre drama, fiksi ilmiah, dan thriller dengan durasi sekitar 102 menit. Banyak artikel yang menjelaskan tentang film ini, level 16 bercerita tentang sebuah sekolah asrama yang seluruh siswanya merupakan gadis belia.
Mereka berasal dari jalanan, lalu disekolahkan, mendapat makananan, dan menerima pendidikan dengan konstruk posisi perempuan di mata dunia yang harus patuh, penuh kesopanan dan cantik.
Kesan awal yang saya dapatkan, banyak kejanggalan yang hadir dalam film tersebut, bagaimana tidak. Secara fisik, para remaja itu berada di ruang inkubator yang bernama ‘sekolah’. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda para remaja itu menerima pengetahuam, misalnya membaca. Hal itu terlihat pada adegan saat Grace salah satu remaja yang berada di inkubator tersebut menerima gaun putih yang bertuliskan namanya. Tapi dia tidak mampu membacanya.
Sekolah Berasrama Kedok Human Trafficking
Vista Alice Academy, adalah asrama yang para remaja putri huni, sebagai tumbal demi proyek kecantikan. Mereka para gadis tidak pernah menghirup udara luar dan merasakan sinar matahari. Mereka terdoktrin bahwa udara di luar sangat kotor dan berbahaya agar tidak melarikan diri serta menjadi perempuan yang gemar melawan.
Setiap hari para gadis melewati pola yang sama, bangun setelah meminum bius alih-alih vitamin. Menunggu bel untuk masuk kelas; kelas film, bermain, cek kesehetan, tergantung harinya. Mengerjakan tugas domestik; mencuci baju, menyapu, ngepel, dll. Dan tidak lupa sebelum tidur mereka dibius atas nama obat vitamin.
Kejanggalan-kejanggalan dalam asrama ternyata disadari oleh remaja yang bernama Sophia. Ia menyadari bahwa vitamin adalah bius. Ia tahu bahwa setiap malam semua temannya para penjaga sentuh. Dalam hal ini terjadi pelecehan. Ia sadar bahwa Vista Alice Academy adalah bukan sekolah asrama, tetapi penjara. Dia tidak minum vitamin dari usia 13, kejanggalan-kejanggalan yang ia alami ternyata juga menular kepada teman sebayanya yang bernama Vivin.
Berita yang tersampaikan Sophia ternyata direspon oleh Vivin, ia jangan mau meminum vitamin sebelum tidur. Walaupun pada awalnya, Vivin tidak percaya kepada Sophia. Percakapan yang mereka lakukan dianggap sebagai penyakit, jauh dari nilai-nilai menjadi perempuan. Seorang teman melaporkan kegaduhan itu kepada kepala asrama bernama Miss Brixil. Sehari setelahnya, Vivin mendapat hukuman dengan masuk ke penjara kecil yang gelap. Di ruang itu ia harus menyadari kesalahannya sebagai remaja perempuan.
Perlawanan
Dari situlah perlawanan Sophia dan Vivin mulai. Ia mencoba mencari cardlock, Vivin menghampiri dokter Miro di ruangannya. Ia mengeluh bahwa temannya mengalami minus penglihatan. Dari adegan dr. Miro kepada para gadis memperlihatkan seakan-akan ia dipekerjakan oleh Miss Brixil dan terlihat peduli. Padahal ia adalah dalang di balik human trafficking tersebut.
Pengetahuan yang dr. Miro miliki memudahkannya untuk memanipulasi para gadis demi hutang dan proyek kecantikan. Ia menawarkan kecanggihan medis untuk tetap terlihat cantik di usia senja, sama dengan yang Miss Brixil lakukan. Demi memuaskan pasangan dan gengsi sosial, para orang kaya itu rela mengeluarkan uang berapapun. Dua gadis itu telah menyelamatkan teman-temannya dengan ketulusan dan keberanian.
Ia berhasil membongkar proyek kejahatan yang dr. Miro dan Miss Brixil lakukan. Wajah cantik Vivin yang terinvestasikan selama 16 tahun oleh dr. Miro telah dirobek dengan pisau oleh Vivin sendiri. Di akhir adegan, kedua gadis itu menatap keindahan jagat raya dan udara kebebasan yang mereka renggut bertahun-tahun. Dari film level 16 kita akan belajar bagaimana konstruk cantik perempuan, baik dari fisik maupun sifat yang melekat pada perempuan terbentuk sedemikian rupa.
A World Without
Tidak jauh berbeda dengan level 16, A World Without juga menceritakan hal yang sama. Tiga orang gadis yang memiliki masa lalu dengan menjadi remaja yang memiliki pergaulan beresiko. Kisah film ini bermula dari tiga remaja perempuan bernama Salina (Amanda Rawles), Tarda (Asmara Abigail) dan Ulfah (Maizura) yang ingin bergabung dengan organisasi misterius The Light. Sepasang suami istri yang bernama Ali (Chicco Jerikho) dan Sofia (Ayushita) mengelola organisasi ini.
Dari beberapa adegan, ada part yang menggambarkan bahwa The Light adalah kelompok yang menolak mengenai perubahan usia perkawinan perempuan. Ia menolak batas usia pernikahan minimal 19 tahun. Usut punya usut ternyata The Light memiliki black of track record.
Banyak orang yang hilang tanpa kabar setelah masuk The Light, terjadi perjodohan di dalamnya. Bahkan gambaran poligami menjadi hal biasa karena perempuan tidak bisa memberikan keturunan. Fakta ini terjadi oleh ‘Yang Istimewa’ selaku kepala The Light.
Perempuan tidak memiliki pilihan dan kuasa atas cintanya kepada orang lain. Setelah berumur 17 tahun para remaja di sana akan mereka nikahkan, melalui sebuah perjodohan di aplikasi spinner semata. The Light adalah modus human trafficking, yang terbalut organisasi profit dengan memiliki investor di dalamnya. The Light adalah ladang bisnis yang menawarkan kecanggihan dan modernisasi pasca pandemi 2030.
Anak Muda menjadi Target Sasaran
Nia Dinata selaku sutradara film tersebut mengatakan bahwa ini adalah gambaran kehidupan yang bukan hanya menjual barang/jasa. Akan tetapi menjual ideologi yang sasarannya anak muda. Di mana mereka gampang terpengaruh sosial media.
Organisasi hitam tersebut menerapkan pernikahan jauh dari prinsip-prinsip Islam dalam mengatur keluarga. Yang pertama adalah mitsaqan ghalidzan, mawadah wa rahmah, khalifah fil ardh, adil, dan musyawarah. Terlepas dari prinsip-prinsip di atas, The Light jauh dari penerapan hak asasi sebagai manusia khususnya bagi perempuan.
Maka pesan yang bisa kita dapatkan dari kedua film tersebut yakni sebagai perempuan, jangan mudah terpengaruh dengan imajinasi kehidupan yang kita tidak tahu ada ideologi apa di baliknya. Menjadi perempuan susah susah gampang, tapi menjadi diri sendiri tanpa terbentuk dengan standar orang lain harus kita mulai dari diri sendiri.
Menjaga tubuh adalah kewajiban, menjaga keamanan diri adalah wajib hukumnya. Maka satu-satunya senjata dalam menghadapi hidup adalah kecerdasan sosial yang kita landasi dengan nilai-nilai spiritualitas. []