Mubadalah.id – Imam Malik bin Anas (w. 179 H/796 M) adalah salah seorang pendiri aliran (mazhab) hukum Islam Mazhab Maliki. Ia juga adalah guru Imam Syafi’i. Mazhab Maliki sangat populer di sejumlah negara, antara lain Maroko, Tunisia, Spanyol, dan lain-lain.
Maroko sampai hari ini menganut Mazhab Maliki. Ciri utama mazhab ini yang membedakannya dari mazhab lain adalah penghargaannya pada tradisi lokal. Bahkan, tradisi lokal merupakan salah satu dasar hukum yang menjadi pijakannya.
Tradisi Madinah dalam banyak hal menurutnya lebih kuat daripada hadits Nabi Saw dengan transmisi tunggal (hadits ahad). ‘Amal ahli Madinah atsbat min al-hadits (Praktik hidup komunitas Madinah lebih kuat daripada hadits).
Logikanya adalah bahwa tradisi ini pasti ada asal-usulnya dari Nabi Saw. Ia lebih kuat, karena banyak orang yang mengikutinya. Posisinya seperti hadits populer (masyhur). Dalam Al-Fikr al-Sami karya al-Hajwi, ada sekitar empat puluh masalah yang diputuskar berdasarkan dasar hukum ini.
Pendirian Imam Malik menghargai tradisi lokal Madinah tersebut terus ia pertahankan meski banyak ulama yang menentangnya dan meski harus berhadapan dengan penguasa.
Pada suatu saat, Khalifah Abbasiyah Abu Ja’far al-Manshur, memintanya agar kitab Muwattha’ yang menghimpun hadits-hadits Nabi Saw dijadikan sumber hukum positif yang akan diberlakukan di seluruh wilayah Islam. Imam Malik menolak. Katanya:
“Anda tahu bahwa para sahabat Nabi Saw berbeda-beda pandangannya dan mereka telah berpencar di berbagai negeri.”
Keluasan dan Kedalaman Pikiran Imam Malik
Jawaban Imam Malik tersebut di atas memperlihatkan kepada kita bahwa di samping keluasan dan kedalaman pikirannya. Sekaligus juga menunjukkan kerendahan hatinya. Ia sangat paham bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya dari para sahabat Nabi Saw.
Pandangan para sahabat Nabi Saw tersebut tentu didasarkan pada informasi yang diperolehnya dari Nabi Saw. Mereka memahaminya secara berbeda karena berbagai sebab. Imam Malik menghormati semuanya.
Atas dasar itu, masyarakat berhak memilih dan tidak bisa dipaksakan mengikuti satu pendapat dan tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim kebenarannya sendiri seraya menyalahkan orang lain.
Imam Malik maupun tokoh pendiri aliran hukum (mazhab) yang lain, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Inam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, sama-sama menolak absolutisme kebenaran pemikiran. Mereka mengatakan:
“Pikiran dan pendapat saya adalah benar, tetapi selalu mengandung kemungkinan salah. Sebaliknya, pikiran dan pendapat orang lain keliru, tetapi selalu mengandung kemungkinan benar.” []