Mubadalah.id – Sebelumnya, dalam tulisan-tulisan saya tentang “Inara Rusli Melepas Cadar Demi Pekerjaan” menjelaskan tentang pergulatan seorang perempuan yang memilih menggunakan atau melepaskan cadar. Saya sendiri punya pengalaman sama. Yakni melepas cadar selama kurang lebih tiga tahun, selama menjadi tenaga pengajar (bekerja) di sekolah.
Nyatanya, memberi banyak pembelajaran tentang menasehati ego untuk tidak merasa paling tangguh memegang prinsip untuk tetap bercadar (memaksakan diri). Setelah bercadar selama 5 tahun, merasa sudah begitu kuat dan tidak tergoyahkan. Akhirnya, perjalanan hidup membawa saya pada pilihan berat yaitu, meneruskan atau mengkompromikan cadar saya.
Pengalaman Melepas Cadar Membuat Saya Lebih Berempati
Sempat terpikir untuk melepas cadar sepenuhnya, karena rasa lelah untuk terus-menerus bunglon (menjalankan dua identitas yang berbeda). Tetapi, setelah saya pikir lagi, melepas cadar sepenuhnya tidak membikin saya nikmat.
Tentu, perasan itu muncul bukan karena keyakinan terhadap narasi–narasi yang menganggap ketika seseorang melepas cadarnya, lalu ia kita anggap kurang iman, meninggalkan jalan ketaatan dan berbagai tuduhan lainnya.
Hanya saja, saya masih memegang dan kuat mengimani beberapa alasan yang cukup personal dan itu cukup menyentuh ranah spiritualitas saya secara pribadi. Dan, urunglah rencana saya untuk benar-benar melepas cadar layaknya Inara Rusli.
Saya tetap memilih untuk menjalankan keduanya. Di mana, saya meneruskan identitas berpakaian saya sebagai perempuan bercadar dan sekaligus mengkompromikan itu dengan pekerjaan yang saya jalani saat ini. Ketika di lingkungan sekolah saya perlu menanggalkan cadar saya untuk sementara dan memerankan identitas yang berbeda, tanpa kehilangan diri saya sepenuhnya (pola pikir, keberpihakan, dan idealisme yang saya imani tetap sama).
Dan, jalan yang saya pilih ternyata menjadi titik balik dari berbagai hal yang kemudian bisa saya kompromikan (komunikasikan). Dari sini, saya juga banyak belajar untuk lebih mendengar dan berempati. Karena tidak sekali dua kali, saya dipertemukan dengan cerita-cerita serupa (terpaksa melepas cadar demi pekerjaan).
Menjalankan Peran dengan Dua Identitas
Beberapa perempuan bercadar yang saya kenal juga mengalami hal serupa. Ia harus menjalankaan dua identitas yang berbeda, karena lingkungan pekerjaan yang ia pilih tidak cukup ramah dengan cadar yang ia kenakan.
Dengan berbagai perenungan akhirnya mereka memutuskan untuk melepas cadar sepenuhnya. Dan saya tentu tidak pada posisi yang menyalahkan pilihan tersebut. Meskipun di awal, teman-teman saya ragu untuk menyampaikan keputusan ini, ada ketakukan, dan rasa malu. Apalagi memikirkan hujatan beberapa orang yang cukup tajam menusuk perasaan mereka, tentu aku maklumi.
Mereka pun sempat berpikir, jika saya bisa begitu kuat untuk menjalankan dua peran sekaligus. Sedang mereka menyerah dan terpaksa memilih salah satu. Tetapi, di saat yang sama, sayalah yang justru menganggap mereka lebih kuat karena mampu menanggung cibiran dan pandangan sinis orang-orang yang menganggapnya telah kehilangan iman. Hanya karena melepas cadar.
Kiranya hal serupa kini Inara Rusli rasakan. Ketika memutuskan untuk melepas cadar, ia telah mengalami pergumulan panjang dengan diri sendiri. Menyiapkan mental untuk menerima hujatan. Dan di saat yang sama, ia mungkin saja masih berkeinginan untuk tetap mengenakan cadar.
Tetapi, menafkahi keluarga pasca perceraian dengan suami, menjadi hal yang jauh lebih penting untuk ia jalani. Sehingga, bagi saya sendiri. Peristiwa ini dapat menjadi pembelajaran berharga di mana, setiap keputusan yang diambil oleh perempuan semisal, melepas jilbab atau melepas cadar sama sekali tak dapat kita anggap sebagai tindakan ceroboh.
Menuduh orang tersebut tersebut secara serampangan, tanpa memikirkan pergumulan berat yang sudah, dan akan terus-menerus Inara Rusli hadapi. Tentu saja, berempati menjadi jalan yang bisa kita tempuh, guna memutus mata rantai cibirisme terhadap apapun keputusan mandiri seseorang (perempuan). []