Mubadalah.id – 27 Rajab, 15 abad yang lampau, sebuah peristiwa paling dramatis, spektatuler, dan menakjubkan dunia muncul ke panggung sejarah umat manusia. Tak pernah ada dalam sejarah umat manusia, lampau, kini, dan nanti menyaksikan peristiwa seperti ini. Ia adalah Isra’ Mikraj.
Isra’ Mikraj adalah sebuah perjalanan malam yang agung Nabi Muhammad saw dari Makkah menuju ke Masjid yang terjauh (al-Masjid al-Aqsha) di Palestina dan diteruskan dengan Mikraj, perjalanan naik ke puncak semesta “Sidrah al Muntaha”. Dan ini dilakukan dalam satu malam saja. Menurut sumber-sumber Islam, Isra’ dan Mikraj ini terjadi 10 tahun sejak Nabi menjadi utusan Tuhan, 16 bulan sebelum Hijrah.
Peristiwa ini berlangsung sesudah Nabi kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintainya: istri Siti Khadijah dan tidak lama kemudian disusul oleh pamannya, Abu Thalib.
Meski ia sendiri tak ikut agama keponakannya itu, tetapi ia adalah orang yang melindungi dan membelanya dengan mempertaruhkan martabat diri dan sukunya. Keadaan ini membuat kaum kafir Quraisy menjadi semakin leluasa untuk memusuhinya.
Sementara para pembela Nabi hanya dari kalangan rakyat biasa dan tak punya hubungan darah atau kekerabatan. Kafir Quraisy semakin intensif mengganggu, menyakiti, dan berusaha mengusir Muhammad dari tanah kelahirannya atau bahkan membunuhnya. Para ahli sejarah menyebutnya tahun itu sebagai “Am al Huzn” (Tahun dukacita).
Nabi merasa sunyi, sepi, dan sendiri. Ia seakan-akan tidak lagi punya harapan untuk hidup aman dari ancaman dan penganiayaan kaum kafir Quraisy.
Nabi merasa keadaan akan semakin kritis dan mengancam. Hatinya menjadi sangat sensitif. Tetapi beliau tetap tak akan menghentikan langkahnya untuk mengajak masyarakatnya kepada agama Tauhid. Ia telah melihat Kebenaran yang beliau cari-cari berbulan dengan mata hatinya.
Pergi ke Thaif
Maka beliau putuskanlah untuk pergi ke Thaif dengan penuh harap di sana akan ada orang-orang yang akan melindungi dan menerima risalahnya. Tetapi harapan itu sia-sia belaka. Nabi malah dikejar dan dilempari batu oleh anak-anak muda sampai bagian tubuhnya berlumuran darah.
Untuk menghindari pengejaran mereka lebih lanjut, Nabi berlindung di sebuah kebun milik orang Yahudi, Utbah bin Rabi’ah. Mungkin sulit kita terima akal sehat, jika orang kafir, pemilik kebun itu tidak menangkap Muhammad (saw.) untuk kemudian menyerahkannya kepada pemimpin kafir Quraisy di Makkah.
Ia malah menyuruh Addas, pelayannya, seorang budak, untuk memberinya minum dan anggur serta memberinya perlindungan untuk sesaat. Ini tentu karena semata-mata pertolongan Allah belaka. []