• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Istri bukan Tulang Rusuk Suami tapi Belahan Jiwanya

Kami adalah belahan jiwa suami. Bukan tulung rusuknya. Karena istri bukan tulang rusuk suami

Ahsan Jamet Hamidi Ahsan Jamet Hamidi
15/06/2022
in Keluarga, Rekomendasi
0
Istri bukan Tulang Rusuk Suami

Istri bukan Tulang Rusuk Suami

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Wabah pandemi akibat Covid-19 telah merubah pola hidup warga di seluruh dunia. Para pekerja yang terbiasa memperoleh income secara rutin, harus bersiap dengan pola baru. Banyak warga yang beralih profesi. Dari pekerja beralih menjadi pedagang atau membangun usaha sendiri. Jika selama ini bisa memperkirakan jumlah pendapatan yang akan diperoleh, ke depan akan sangat berbeda. Mereka harus mampu mengelola keuangan dengan lebih cermat. Hal yang sama dilakukan oleh banyak pasangan suami istri, karena istri bukan tulang rusuk suami.

Sebagaimana Hasanah yang tengah menjalani perubahan itu. Meyakini bahwa istri bukan tulang rusuk suami, yang harus bergantung pada gaji suami. Kantor tempat suaminya bekerja harus berhenti operasi. Ia terkena pemutusan hubungan kerja. Namun, ia menerimanya dengan lapang dada. “Aku tidak boleh menyerah. Kini saatnya memulai hal baru dalam hidupku”. Bisik hati kecilnya.

Merintis Kebangkitan

Hasanah pernah bekerja sebagai pramusaji. Saat itu, dia bertugas menyediakan konsumsi dalam sebuah acara diskusi. Ketika sedang menata makanan dan minuman, ia mendengar sebuah ungkapan yang disampaikan oleh salah seorang pembicara dalam ruangan tersebut.

“Salah satu prinsip utama dalam bertauhid adalah, manusia tidak boleh menyandarkan hidupnya kepada manusia lain. Termasuk seorang istri kepada suami. Satu-satunya sandaran hidup adalah ALLAH.”

Kalimat itu laksana tertulis di atas batu. Ia begitu melekat dalam ingatan Hasanah. Belakangan, ia tahu, bahwa ucapan itu disampaikan oleh KH. Husein Muhammad, anggota komisioner Komnas Perempuan periode (2007-2009). Seorang alim dan pengasuh pondok di Cirebon. Tampilannya sangat bersahaja. “Ingin rasanya aku mencium tangan Kiai itu”. Niat diurungkan, karena tugas utamanya belum selesai.

Baca Juga:

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Beberapa tahun kemudian, saat suaminya sedang tidak lagi bekerja kantoran, kalimat itu muncul. Ia bisa memberi energi begitu kuat di dalam dirinya. Tekadnya bulat. Saat hendak beranjak tidur, Hasanah membuka percakapan dengan suaminya:

“Bang, mulai Sabtu depan saya minta ijin mau jualan ketupat sayur dan kue lepet di teras depan ya. Sekarang giliran Abang yang bantu-bantu saya ya”. Permintaan Hasanah, penuh percaya diri. Hampir meneteskan air mata ia menjawab dengan suara datar.

“Abang pasti bantu-bantu Ibu nanti, jangan kuatir. Abang minta maaf ya Bu… Sudah beberapa bulan gak kerja. Abang tetep berusaha sih tapi ya gitu deh…”

“Abang tidak usah kerja kantoran lagi … Kita kerja di rumah sendiri aja bareng-bareng. Sekarang giliran saya yang memulai kerja. Abang bantuin saja ya…” sergah Hasanah.

Tawaran Hasanah tidak lagi terjawab, namun diam adalah pertanda setuju. Mereka perlahan memejamkan mata, desahan nafas mulai terdengar lembut, mereka tertidur dalam balutan mimpi indah.

Meski bukan laki-laki berpenghasilan tinggi, Bang Ali adalah suami yang selalu ingin membahagiakan istri, sesuai standarnya. Ia sadar, sedang tidak lagi bekerja kantoran. Namun Bang Ali bukanlah laki-laki pemalas. Sementara, Hasanah harus bekerja di luar rumah, dia menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Dari menyapu, ngepel, berbenah, mencuci pakaian, menyetrika, hingga masak.

Memulai Dengan Semangat Kerjasama

Pagi hari, Bang Ali bergegas mengumpulkan kayu, triplek bekas, membeli paku dan peralatan lain untuk membuat meja dan kursi kayu. Tiba-tiba, sang istri mengajak ke pasar. Tujuan pertama adalah toko grosir perkakas masak. Segala piring, mangkok, sendok, toples, panci besar, dandang, lengkap dibeli dengan harga grosiran. Semua peralatan masak sudah lengkap terbeli. Giliran Bang Ali menyelesaikan pembuatan meja, kursi panjang dari kayu-kayu bekas. Setelah selesai, semua tertata rapi di teras rumah.

Hari Jum’at pagi, Bang Ali bergegas membuat ketupat. Hasanah sangat cekatan mengupas bawang merah, bawang putih, kemiri, buah papaya muda, kacang panjang, kemiri, memeras kelapa, mencuci cabe, menggoreng kacang tanah. Bumbu tersimpan rapi di kulkas. Bang Ali memasak ketupat dalam dandang besar, dengan api kayu bakar di belakang rumah. Sebelum jam 10.00 malam ketupat dan lepet sudah matang, lalu digantung agar padat mengering.

Jam 3.30 pagi, Hasanah dan Bang Ali sudah bangun. Mereka bergegas salat tahajud hingga waktu shubuh. Usai salat, Hasanah bergegas memasak sayur ketupat dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Jam 5.30 pagi, sayur ketupat Betawi sudah siap disajikan. Bau wangi dan semerbak bawang goreng memenuhi seluruh ruangan. Sementara Hasanah mandi pagi dan berdandan, Bang Ali menata semua dagangan di atas meja. Rapi sekali.

Sebagai mantan pramusaji, Hasanah sangat paham tata kelola penyajian makanan berstandar hotel untuk para pelanggan. Ia selalu menggunakan masker dan sarung tangan berplastik saat melayani pembeli. Bahkan sekedar mengambil kerupuk dari dalam kaleng.  Jam 6.00, para pembeli mulai berdatangan, ada yang makan di tempat, ada yang membawanya pulang. Sementara sang Istri melayani pembeli, Bang Ali begitu cekatan dan sigap mengangkat piring, sendok, gelas bekas, lalu mencuci bersih dan meletakkannya kembali di atas rak plastik warna biru.

Bang Ali juga terampil menyajikan teh tawar panas kepada setiap pengunjung yang makan di tempat. Sesekali ia harus menimpali obrolan Bapak-bapak yang menetap lama di warung. Mereka terlalu asyik menikmati teh tawar dan cemilan kerupuk goreng dalam toples sambil menghisap rokok dalam-dalam. Sebelum beranjak pergi, beberapa orang memesan ketupat sayur untuk dibawa pulang “Bungkusin tiga deh, buat sarapan anak-anak di rumah. Jangan pedes ya, kerupuknye dipisah aje.”

Merawat Kesalingan Meyakini Istri bukan Tulang Rusuk Suami

Aku dan istri mampir ke warung Hasanah.  Kami menyantap dua porsi ketupat sayur lengkap dengan tahu dan telor, seharga Rp. 12.000 per porsi. Ketupat sayur Betawi besutan Hasanah memang benar-benar terasa sedapnya. Perpaduan antara papaya muda, kacang panjang, tahu cokelat, telor, udang ebi dan santan. Rasanya nendang banget.

Bumbu dan rempah dalam masakan Betawi itu beraroma harum semerbak. Rasanya medok mantap. Bawang goreng dan sambel kacangnya bercampur jeruk limo, melengkapi kesempurnaan rasa. Pas sekali dilidah. Beberapa saat setelah makan, mulut tidak terasa kehausan. Itu pertanda tidak banyak campuran vetsin dan penyedap rasa dalam masakannya.

Sejak aku duduk lalu memesan ketupat, mataku selalu tertuju pada kekompakan kerjasama suami-istri itu. Mereka tidak banyak bicara, apalagi perintah. Tapi, keduanya mampu berpadu dalam kerjasama apik penuh harmoni. Pola kerja mereka seperti sudah tersistem. Tangkas dan rapi sekali. Aku memuji kelezatan masakan Hasanah dan caranya melayani para pembeli. Aku juga kagum dengan kecekatan Bang Ali dalam membereskan beberapa pekerjaan yang tidak bisa dilakukan Hasanah.

Aku sengaja menunda kepulangan. Kami ngobrol sejenak setelah pengunjung sepi dan dagangan habis. Dengan rendah hati, Bang Ali bercerita, bahwa dulu ia bekerja kantoran, istri kerja hanya Sabtu dan Minggu. Sekarang gantian. Istri yang lebih banyak bekerja, ia membantu. Intinya, “kami terus merawat kesalingan, yah ganti-gantian deh…”.

“Bang Ali dan Ibu Hasanah hebat ya! sudah bisa menemukan berkah Covid ya” pujiku.

Dengan polos Bang Ali menimpali; “Rejeki mah tidak bakal hilang Pak, hanya bergeser doang.”

Hasanah menyahut: “Saya kan tidak boleh menggantungkan hidup kepada suami Pak. Harus bisa saling membantu. Alhamdulillah sih, usaha begini, nyatanya bisa juga kok nyekolahin anak-anak. Yang pertama sudah sarjana. Kuliah di kampus yang murah-murah aja, yang penting sarjana.” Hasanah tertawa lepas penuh rasa syukur dan bangga sekali. Mereka mensyukuri berkah kesalingan.

“Kami adalah belahan jiwa suami. Bukan tulung rusuknya. Karena istri bukan tulang rusuk suami.” Bisik istriku. []

Tags: istrikeluargaKesalinganPandemi Covid-19perkawinansuami
Ahsan Jamet Hamidi

Ahsan Jamet Hamidi

Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Inses

    Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version