Minggu, 26 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Pendekatan Holistik Disabilitas

    Pendekatan Holistik Disabilitas: Memandang Manusia dengan Hati, Bukan Kasihan

    Konflik Keluarga

    Menyelesaikan Konflik Keluarga dengan Prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf

    Kesehatan Mental

    Menjaga Kesehatan Mental di Era Ketakutan Digital

    Akses bagi Penyandang Dsiabilitas

    Akses Bagi Penyandang Disabilitas: Bukan Kebaikan, Tapi Kewajiban!

    Santri Penjaga Peradaban

    Santri Penjaga Peradaban: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Dunia yang Damai

    Perempuan dengan Disabilitas

    Diskriminasi Berlapis Perempuan dengan Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Pendekatan Holistik Disabilitas

    Pendekatan Holistik Disabilitas: Memandang Manusia dengan Hati, Bukan Kasihan

    Konflik Keluarga

    Menyelesaikan Konflik Keluarga dengan Prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf

    Kesehatan Mental

    Menjaga Kesehatan Mental di Era Ketakutan Digital

    Akses bagi Penyandang Dsiabilitas

    Akses Bagi Penyandang Disabilitas: Bukan Kebaikan, Tapi Kewajiban!

    Santri Penjaga Peradaban

    Santri Penjaga Peradaban: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Dunia yang Damai

    Perempuan dengan Disabilitas

    Diskriminasi Berlapis Perempuan dengan Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Jangan Pulang, Ketika “Kamu” Mengaku Perempuan

Jangan pulang kalau kamu perempuan. Pergilah sejauh mungkin dan kembali apabila kamu telah memiliki kekuatan dan pembuktian untuk mematahkan opini itu

Miri Pariyas Miri Pariyas
15 Desember 2022
in Rekomendasi, Sastra
0
Film Penyalin Cahaya

Perempuan

272
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi perempuan tak selamanya indah layaknya dongeng di berbagai siaran televisi. Ihwal, selalu berakhir kebahagian padahal tak semua begitu. Barang kali strata sosial kadang kala menjadi kunci kebahagaian tersebut. Itulah yang terjadi  pada Amelia Imanda.

Ia adalah seorang perempuan yang berumur sekitar 23 tahun. Ia memiliki kepribadian yang amat mandiri. Tentu saja, begitu! Sebab, sejak berumur 10 tahun orang tuanya memilih untuk bercerai. Sejak itu, ia hanya memilih untuk tinggal bersama neneknya. Baginya apabila tinggal bersama kedua orang tuanya hanya meninggalkan kesedihan yang tak pernah usai.

“Sejak itu aku memang tidak lagi mengharapkan apapun dari keluargaku. Bahkan sejak itu, aku tak mengenal begitu detail seorang yang dulu ku sayang dan ku panggil “ayah” itu. Ia memilih meninggalkanku, adikku yang berumur 3 tahun, serta ibu yang ku lihat setiap harinya hanya menangis untuk menunggu kedatangan ayah. Ia memilih perempuan itu yang dia anggap lebih baik dari pada ibu. Ah, sial mengapa aku menangis?” singkat cerita Amelia itu.

Dia menceritakan semua yang terjadi pada ku. Aku tak bisa menimpali apapun. Aku hanya terdiam dan mengelus bahunya agar hatinya tetap kuat. Ia melanjutkan kembali ceritanya

“Sebenarnya, aku takut untuk pulang ke Kampung dengan usaiku yang tak lagi muda. Sedangkan, adikku mengharapkan kepulanganku,”

Kebingungan itu amat nampak di wajahnya. Ia yang Aku tahu, Amelia sudah lama kehilangan cinta, kasih sayang, bahkan impiannya. Sedangkan, apabila pulang, belum tentu mendapat keinginan yang lama yang telah hilang di dalam dirinya.

Namun, bulat tekadnya untuk menemani adiknya yang lama telah berpisah.

Sesampainya, di kampung yang masih asri itu. Ia jumpai rumah yang berwarna merah bata yang arsiteknya seperti rumah tempo dulu. Tentu, rumah itu adalah peninggalan si kakek yang sudah tiga tahun meninggalkannya.

“Mbakkkkkkkk!!!!!!!!” suara yang tidak terdengar asing dan selalu merindu apabila mendengar suara itu. Tentu suara itu tidak lain dan tidak bukan suara “adik Anggun” yang berumur 10 tahun lebih muda dibanding Amelia.

Amelia memeluk adiknya untuk melepas semua kerinduan yang begitu mendalam. Seperti kata pepatah orang, hutang yang tak pernah bisa terbalas di tiap waktu adalah kerinduan. Terobati hanya dengan bersua dengan orang yang dirindu.

“Akhirnya, mbak pulang aku sangat rindu,”

Dibalik kaca yang berwarna hitam, ternyata terdapat perempuan rentan juga menunggu Amelia. Wajahnya ingin menitipkan pesan begitu banyak, namun iya tak kuasa dan amat rapuh. Ia meneteskan air mata, dan Amelia mengambil tangan sebagai penghormatan sebagaimana tradisi orang terdahulu.

“Kamu sudah sampai,” dengan suara yang begitu lirih dan mata yang terlihat memerah, ia mengelus kepala Amelia. Pesan orang dulu jika orang tua mengelus kepala si anak, katanya ada pesan, nasehat, ataupun kerinduan yang ingin dipesankan, namun hanya dapat dikomunikasikan dengan gerak gerik tubuhnya.

“Lekaslah merapikan pakaian, setelah itu makan agar tubuh tak kelelahan,” tambahannya pula.

Ah sial, rumah ini memang peninggalan kakek, tapi ada sejarah yang begitu mendalam tentang Amelia dan keluarga kecilnya. Tak sadar air matanya keluar di peluk matanya. Ternyata pepatah kenangan kuburlah sedalam-dalam itu hanya ilusi.

Kenangan itu memang tak pernah dapat dilupakan walaupun sekuat tenaga melupakan hal itu. Barangkali, kita dapat belajar dari sebuah kata yang bernama “iklas”. Setidaknya mengubah kenangan menjadi sebuah pembelajaran. Bukankah, pengalaman adalah guru yang terbaik untuk kita?

Tradisi ketika sampai di rumah dari perantau, wajiblah bersalaman kepada tetangga dan sanak famili, sebagai kabar bahwa yang telah datang dari perantauan, selain itu sebagai wujud memperkuat silaturahmi.

Setelah, membaringkan tubuh yang amat letih, Amelia bergegas bersiap untuk melakukan tradisi tersebut. Mendatangi dari satu pintu ke pintu selanjutnya, hanya untuk merajut silaturhami. Namun, na’as yang terjadi beberapa pintu yang didatangi, menanyakan sesuatu yang sensitf bagi Amelia, akan tetapi Amelia menyadari hal itu menjadi lumrah di halaman kampungnya.

“Mel, kapan datang?”tanya tetangga.

“Tadi ibu, sekitar jam 12.00 WIB.”

“Kamu kapan nikah? Kamu udah kerja? Cepat nikah nanti kamu jadi perawan tua, dan gak laku. Toh, kodrat perempuan tetap melahirkan dan berada di dapur,”

Mendengar itu tidak ada jawaban apapun dari Amelia. Hanya sekedar menimpali dengan senyuman. Ia melanjutkan kembali.

“Nanti, kamu kalau nikah jangan cari lelaki yang keluarganya cerai. Biar nanti tidak cerai juga!” tegasnya.

Dalam hatinya tak henti berbicara “Tak mungkin aku menuai nasib yang sama, bukankah setiap orang, baik aku dan keluarga memiliki nasib yang berbeda. Mengapa orang lebih cukup lincah untuk mengatur masa depan dibanding pemilik alam ini, tidak jangan tumpah di sini, kuat Amel , kuat Amel. Tuhan tidak memberikan masalah ataupun takdir yang melampaui batas manusia itu sendiri.”

“Enggeh Bu, terima kasih saya pamit enggeh,”

Begitulah pemikiran publik tentang otoritas tubuh seorang perempuan ditambah stigma pada anak broken home. Pemikiran semacam itu ternormalisasi untuk hari ini, utamanya di kampung yang jauh dari segala hirup piruk keadilan gender.

Tidak hanya di keluarga, Amelia juga dihadang pertayaan semacam itu di keluarganya. Dipaksa menikah dengan dalih takut ia bakal menjadi perawan tua, padahal sanak saudara yang lelaki yang umur lebih tua tak pernah dipaksa untuk menikah. Katanya “Biarkan saja berproses, karena dia akan jadi calon pemimpin.”

Rasa sakit yang menyengat yang dirasa oleh Amelia, apakah perempuan tidak bisa menjadi pemimpin? Bukankah mengarungi rumah tangga tak hanya cukup dengan satu pikiran si suami saja? Bukankah butuh pemikiran dua belah pihak yang sama agar perahu terus berlabuh.

“Sudah, Amel nanti kamu tak kembali lagi. Dia di sini menikah kodratmu hanya di dapur nanti. Setinggi apapun pendidikanmu kamu tetap menjadi perempuan yang melayani suami dan membesarkan anak”

Amelia yang berucap dalam hati, “Sudah ku pahami bahwa pulang mengobati rindu memang ada, namun juga menelan obat pahit karena aku perempuan yang tak kunjung menikah. Sudahlah aku tak ingin membahas itu menyakitkan biarkan aku menjadi perempuan yang bebas atas diriku sendiri.”

Simpulnya Amelia mengatakan, menjadi perempuan seperti badai yang mendatangkan kehinaan. Tapi, ia sadar itu hanya opini publik. Di sisi lain, menjadi perempuan adalah anugerah yang patut disyukuri yang memiliki “hak keistimewaan” yang patut dijaga dengan sekuat mungkin.

Tapi, jangan pulang kalau kamu perempuan. Pergilah sejauh mungkin dan kembali apabila kamu telah memiliki kekuatan dan pembuktian untuk mematahkan opini itu. []

 

 

Tags: Break The Biascerita pendekGenderpatriarkiperempuanSastrastigmaTradisi
Miri Pariyas

Miri Pariyas

Penyuka bunga mawar

Terkait Posts

Kenikmatan Surga
Hikmah

Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

20 Oktober 2025
Surga Perempuan
Hikmah

Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

20 Oktober 2025
Perempuan Lebih Rendah
Hikmah

Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

19 Oktober 2025
Membaca Buku
Publik

Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

18 Oktober 2025
Guruku Orang-orang dari Pesantren
Buku

Guruku Orang-orang dari Pesantren; Inspirasi Melalui Lembaran Buku KH. Saifuddin Zuhri

18 Oktober 2025
Aksi Demonstrasi
Publik

Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

17 Oktober 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj Hanifah Muyasaroh

    Ibu Nyai Hj Hanifah Muyasaroh, Teladan yang Membanggakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akses Bagi Penyandang Disabilitas: Bukan Kebaikan, Tapi Kewajiban!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyelesaikan Konflik Keluarga dengan Prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Santri Penjaga Peradaban: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Dunia yang Damai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pendekatan Holistik Disabilitas: Memandang Manusia dengan Hati, Bukan Kasihan
  • Ibu Nyai Hj Hanifah Muyasaroh, Teladan yang Membanggakan
  • Menyelesaikan Konflik Keluarga dengan Prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf
  • Menjaga Kesehatan Mental di Era Ketakutan Digital
  • 4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID