Mubadalah.id – Hingga saat ini, istilah perjodohan masih terdengar akrab di telinga. Perjodohan sering dilakukan dengan dalih atau dorongan untuk menyambung silaturahmi, menjaga nasab atau keturunan, maupun dalam rangka memperkokoh dan memelihara nama baik keluarga besar. Perjodohan pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk. Dengan syarat, perjodohan dengan tujuan-tujuan yang dianggap mulia itu tidak dibangun di atas unsur pemaksaan.
Kawin paksa dengan dalih perjodohan menjadi masalah klasik yang masih banyak kita temukan di tengah masyarakat. Kawin paksa bukan jalan yang baik karena berpotensi melahirkan banyak dampak, mulai terbentuknya bangunan rumah tangga yang rapuh, problematik, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga perceraian.
Data putusan Mahkamah Agung (MA) selama 2018-2022 menunjukkan, ada 213 kasus pernikahan bermasalah akibat kawin paksa. Dari jumlah itu, 119 perkara diputus dengan perceraian oleh pengadilan agama. Sedangkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat telah terjadi kenaikan 300 persen atas kasus kawin paksa seiring dengan meningkatnya kasus pernikahan anak.
Memilih pasangan terbaik
Jangankan kawin paksa, sebuah perjodohan yang dilakukan dengan cara yang kita anggap halus pun masih memungkinkan menghasilkan dampak yang kurang baik. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan agar membangun sebuah komunikasi yang matang ketika seseorang hendak menawarkan jodoh kepada anaknya.
Menurut fikih, orang tua yang ingin menjodohkan putrinya dianjurkan untuk meminta persetujuan yang bersangkutan. Syekh Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni dalam Kifayah al-Akhyar menerangkan:
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ تُسْتَأْذَنَ البَالِغَةُ لِلْخَبَرِ
“Dan disunahkan dimintai izinnya gadis yang sudah dewasa karena adanya hadits (yang menjelasakan hal itu).”
Sedangkan maksud hadis dalam keterangan tersebut adalah:
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Dan perempuan yang masih gadis (sebaiknya) dimintai izin, sedangkan izinnya adalah keterdiamannya” (HR. Muslim).
Orang tua yang berinisiatif menjodohkan anaknya tentu memiliki tujuan yang baik. Misalnya, berupaya untuk menghadirkan masa depan yang ia nilai lebih cemerlang. Alasan yang terpakai biasanya bahwa profil, karakter, dan latar belakang si calon menantu sudah pas, layak, dan cocok untuk buah hatinya.
Standar Kelayakan
Padahal, pandangan seseorang terhadap kriteria bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya. Layak menurut orang tua, belum tentu di mata anaknya. Para orang tua mesti bisa mendalami lagi makna dari QS. An-Nur: 26, bahwa Allah Swt berfirman:
اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”
Jika kita pahami secara lebih mendalam, maka kesamaan status dan kesucian dalam ayat tersebut juga merupakan isyarat terhadap aspek kesamaan lainnya, seperti tabiat, sifat, profesi, hobi, turunan, status sosial, dan sebagainya.
Oleh karena itu, bisa jadi bahwa putri yang hendak orang tua jodohkan itu telah memiliki definisi “layak” tersendiri sesuai dengan pengalaman yang ia dapat selama menggeluti sebuah profesi, hobi, pertemanan, maupun basis pandangan-pandangan lainnya.
Oleh sebab itu, sebaiknya para orang tua mulai menjadikan anak perempuannya sebagai mitra dalam bermusyawarah. Terlebih lagi dalam urusan perjodohan yang babak tersebut akan sangat menentukan kehidupan anak di masa depan.
Kerelaan menentukan masa depan
Akrab pula di telinga bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ungkapan itu sebenarnya dipopulerkan oleh penyair terkenal asal Mesir, Hafiz Ibrahim.
Dia menyebutkan bahwa “Al Ummu madrasatul ula, iza a’adadtaha al’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau mempersiapkan bangsa yang baik sejak dari pokok pangkalnya.”
Kebahagiaan seorang ibu akan memberikan banyak pengaruh terhadap kualitas anak-anaknya. Ibu yang menjalani hidup dengan penuh bahagia, maka kita percaya akan mampu menumbuhkan anak-anak mereka secara sehat, cerdas, dan berkualitas.
Imam Al-Ghazali dalam Kimiya-us Sa’adah sangat menekankan agar seorang perempuan mampu mendapatkan pasangan yang membahagiakan. Dengan tujuan agar sang istri mampu menjadi seorang ibu yang berbahagia sehingga bisa membimbing anak-anaknya menjadi generasi yang berkualitas.
Nasihat Al-Ghazali
Dalam kitab tersebut, Imam Al-Ghazali memberikan tiga nasihat penting demi mewujudkan pernikahan harmonis yang mampu menghadirkan kebahagiaan bagi istri sebagai calon ibu yang baik.
Pertama, seseorang harus memahami bahwa keluarga adalah lembaga keagamaan. Maka perlakukanlah keluarga selaras dengan nilai-nilai syariat. Penerapan prinsip-prinsip Islam dalam keluarga akan menghasilkan kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki.
Kedua, suami harus berbuat baik kepada sang istri. Itu pun tidak cukup. Kebaikan yang seorang suami lakukan haruslah dengan penuh cinta dan kasih sayang serta ketulusan. Seorang suami harus penuh kesabaran dalam memberikan perlindungan kepada istri dan keluarganya.
Ketiga, suami dianjurkan memahami kebutuhan pasangannya secara lahir dan batin. Suami harus berkenan memberikan waktu istirahat, rekreasi dan bersenang-senang kepada sang istri. Hal itu, pernah Nabi Muhammad Saw teladankan. Di mana beliau pernah mengajak lomba lari Sayyidah ‘Aisyah demi memberikan rasa kebahagiaan kepada istri tercintanya.
Imam Al-Ghazali menekankan nasihat-nasihat tersebut demi terciptanya keluarga yang harmonis. Sebab, kondisi rumah tangga yang buruk akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anaknya.
Melihat Wajah Ibu sebagai Madrasah bagi Anak-anaknya
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menyebut jiwa anak-anak seperti kertas kosong. Oleh karena itu, ia akan menjadi seseorang sesuai dengan apa yang kita lihat, terutama dari kedua orang tuanya.
اعلم أن الطريق في رياضة الصبيان من أهم الأمور وأوكدها والصبيان أمانة عند والديه وقلبه الطاهر جوهرة نفيسة ساذجة خالية عن كل نقش وصورة وهو قابل لكل ما نقش ومائل إلى كل ما يمال به إليه
“Ketahuilah cara mendidik anak termasuk masalah yang paling penting. Anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hati mereka suci, mutiara berharga, bersih dari segala ‘ukiran’ dan rupa. Hati anak-anak menerima setiap ‘ukiran’ dan cenderung pada ajaran yang diberikan kepada mereka.”
Imam Al-Ghazali menyarankan dua model pendekatan dalam mendidik anak. Pertama, pembiasaan kebaikan berupa keteladanan dalam hidup keseharian. Kedua, penanaman nilai-nilai kebaikan melalui pengajaran.
Sekarang, bayangkan, jika sebuah rumah tangga kita bangun dengan tanpa kerelaan, terlebih kawin paksa yang berimbas pada bangunan rumah tangga yang rapuh bahkan penuh tindak kekerasan. Maka, wajah ibu sebagai madrasah bagi anak-anaknya hanya akan menghadirkan pelajaran yang justru akan sangat berimbas pada kekuatan mental dan terus dibawa anak-anak hingga ke masa depan.
Selamat hari ibu. Mari persiapkan keberlanjutan hidup dengan penuh kerelaan, cinta dan kasih sayang, serta terbebas dari segala bentuk pemaksaan dan penindasan demi generasi Islam yang terus tumbuh dan berkembang secara berkualitas. []