Mubadalah.id – Sebagai perempuan yang menurut sebagian orang mungkin sudah cukup dewasa untuk menikah, saya kerapkali mendapat pernyataan dari keluarga, guru ngaji, dan teman-teman pondok, katanya “Tujuan menikah itu ibadah, tidak baik kalau terus ditunda-tunda”.
Lah, saya pikir menunda sesuatu yang bernilai ibadah itu tidak buruk kok, termasuk jika tujuan menikah itu dianggap baik. Apalagi saya juga mendengar banyak sekali kasus kekerasan terjadi di dalam sebuah ikatan pernikahan. Dengan begitu saya sangat perlu untuk mempertimbangkan ulang soal kapan dan dengan siapa saya menikah, dengan mempersiapkan tujuan menikah itu sendiri.
Kita juga tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) saat ini semakin meningkat, baik kekerasan seksual, fikis dan juga psikis. Terutama di masa pandemi Covid-19. Saya menduga salah satu faktor penyebab kasus KDRT terus meningkat.
Hal tersebut disebabkan pasangan tidak mempunyai komitmen, tanggung jawab, pengetahuan, dan tujuan menikah yang cukup serta masih melanggengkan budaya patriarki. Di mana suami selalu diposisikan sebagai manusia yang mempunyai kuasa penuh terhadap istrinya.
Contoh kecil kasus KDRT yang saya temukan adalah kasus yang terjadi pada salah satu kerabat saya di kampung Garut. Anna biasa ia disapa, bercerita bahwa dalam berelasi dengan suaminya ia kerapkali menjadi sosok yang harus selalu mengalah.
Misalnya soal kebebasan beraktivitas di luar rumah, tanpa ada musyawarah terlebih dahulu suaminya melarang dia untuk ikut aktif dalam kegiatan apapun di ranah publik. Padahal sebelum menikah ia telah dijanjikan untuk bebas mengikuti berbagai kegiatan di luar, bahkan jika memungkinkan bisa saling berkolaborasi dengan suaminya. Namun nyatanya semua itu bulshit bund.
Dengan demikian, dalam kasus tersebut Anna telah menjadi korban kekerasan oleh suaminya. Sebab, relasi yang dia bangun bersama suaminya secara nyata telah merugikan serta membatasi ruang ekspresinya sebagai makhluk sosial. Dengan dalih bahwa istri memang tugasnya hanya seputar dapur, kasur dan sumur membuat Anna tidak mendapatkan haknya untuk ikut terlibat dalam berbagai kegiatan publik yang ia inginkan.
Padahal salah satu pilar rumah tangga itu adalah mu’asyarah bil ma’ruf yaitu saling memperlakukan dengan baik. Musyawarah serta saling memberi ruang untuk tetap mengekspresikan diri masing-masing adalah termasuk pada perbuatan baik. Sehingga dengan mu’asyarah bil ma’ruf diharapkan tidak ada lagi salah satu pihak yang merasa suara dan keinginannya terabaikan.
Senada dengan itu, musyawarah juga menjadi pilar penting dalam relasi suami- istri untuk memutuskan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Karena dengan bermusyawarah dapat membangun kebersamaan dalam keluarga.
Sehingga perbedaan pandangan dan keinginan antara suami dan istri bisa dibicarakan bersama untuk mencapai titik temu dalam tujuan menikah. Dengan begitu, suami dan istri dapat bekerjasama dalam mengatur keseimbangan antara bergerak di wilayah publik dan domestik tanpa mengabaikan kewajiban masing-masing. Kemudian di sanalah letak tujuan menikah sebagai ibadah.
Sebagaimana pernyataan Pak Faqih Abdul Kodir bahwa tujuan menikah bisa menjadi ibadah jika pernikahan tersebut dimaknai sebagai sarana yang kondusif bagi suami dan istri dalam melakukan hal-hal baik yang diperintahkan oleh agama.
Lebih luas dari itu, dalam ketentuan Islam, laki-laki dan perempuan juga mempunyai kedudukan yang sama yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Oleh sebab itu, kedua-duanya mempunyai hak yang sama dalam melakukan hal-hal baik, atau berprestasi serta bergabung dalam bidang apapun, baik sosial, politik, ekonomi maupun bidang lainnya.
Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya “ Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl:97)
Oleh sebab itu, jika tujuan menikah itu dimaknai sebagai salah satu sarana untuk beribadah kepada Allah SWT, suami dan istri seharusnya sama-sama saling mengupayakan untuk melakukan hal-hal baik serta menjauhi segala hal yang buruk atau mafsadat.
Tentu saja hal baik harus bisa rasakan oleh kedua-duanya, hal buruk juga harus dijauhkan dari kedua-duanya. Dan namanya ibadah tentu saja tidak sepantasnya ada pemaksaan, kekerasan dan tindakan-tindakan kemauan sepihak. Begitupun dalam ikatan pernikahan. []