Mubadalah.id – Kasus wajibnya jilbab bagi siswi SMK Negeri 2 Padang beberapa waktu yang lalu, menjadi potret nyata bahwa upaya jilbabisasi di sekolah Negeri benar-benar terjadi. Jilbabisasi dengan dalih melindungi dan melestarikan budaya kearifan lokal masyarakat, jelas merupakan sebuah kedok pembenaran atas sikap intoleran pemangku kebijakan dan ekstremisme agama yang dianutnya. Di lain tempat, tren jilbabisasi juga melanda para perempuan, mereka yang telah berjilbab dinyatakan telah berhijrah hingga mendapatkan predikat sholehah dari masyarakat.
Fenomena jilbabisasi yang kian marak, membuat jilbab membangun kastanya sendiri. Dalam praktik jilbabisasi, mereka yang mengenakan jilbab makin panjang, dinilai makin sholehah dan berlaku pula untuk kebalikannya. Jilbabisasi telah melahirkan sebuah tren baru, yakni jilbab syar’i dan tidak syar’i.
Semakin panjang jilbab maka dinyatakan semakin syar’I, sedangkan jilbab yang tidak begitu panjang dan perempuan yang tidak berjilbab, dikategorikan sebagai tidak syar’i. Jelas sudah, bahwa jilbabisasi telah mendistorsi makna dari syar’i itu sendiri. Syar’i yang awalnya berarti aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk hamba-Nya, kini menjadi aturan yang ditetapkan oleh manusia untuk manusia lainnya, salah satunya melalui gerakan jilbabisasi. Sebuah ekstremisme berbalut agama yang kian merebak.
Ekstremisme pemikiran lainnya muncul dengan menyatakan bahwa banyaknya kasus pelecehan terhadap perempuan lah yang melahirkan gerakan jilbabisasi. Perempuan dianggap sebagai pemantik adanya pelecehan atas dirinya sendiri. Tubuh perempuan yang notabennya adalah anugerah dari Allah, dijadikan alasan dan sebab munculnya berbagai perilaku menyimpang yang membahayakan perempuan itu sendiri.
Perempuan dianggap telah mengumbar auratnya sehingga pelecehan tak terelakkan dari mereka. Inilah yang kemudian membuat gerakan jilbabisasi makin subur. Jilbabisasi dirasa tepat sebagai solusi turunnya angka pelecehan terhadap perempuan, karena jilbabisasi jelas menutup seluruh aurat perempuan.
Namun apakah pencegahan pelecehan seksual cukup hanya dengan aturan berjilbab? Pada tahun 2018, Thomson Reuters Foundation telah mengadakan riset untuk meneliti Negara mana saja yang berbahaya bagi perempuan. Penelitian tersebut menitikberatkan pada praktik tradisi, kekerasan seksual dan nonseksual, serta perdagangan manusia.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa lima Negara yang paling berbahaya bagi perempuan adalah India, Afghanistan, Suriah, Somalia, dan Arab Saudi. Bukankah kelima Negara itu dapat dikategorikan sebagai Negara dengan jilbabisasi paling baik di dunia? Bukankah perempuan-perempuan di sana tidak mengenakan pakaian terbuka atau mengumbar auratnya?
Merujuk hal tersebut, tuduhan atas perempuan yang mengumbar auratnya, sehingga menimbulkan pelecehan atasnya sebagai alasan munculnya gerakan jilbabisasi bukan sebuah kebenaran mutlak. Faktanya, pelecehan itu terjadi karena memang datang dari niat si pelaku, bukan hanya karena perempuan yang mengundang. Seharusnya viktimisasi korban pelecehan segera dihentikan.
Jika jilbabisasi dianggap sebagai upaya untuk menutup aurat perempuan, sehingga angka pelecehan terhadap perempuan berkurang, maka perlu bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aurat.
Merujuk pada asal kata dari aurat, yakni “’awara” yang berarti sesuatu yang mendatangkan celaan, malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika ditampakkan. Maka, rambut yang disebut sebagai mahkota bagi perempuan, sesuatu yang indah dan tidak membuat mereka tampak cela, jelas tidak masuk dalam kriteria aurat sebagaimana yang dimaksudkan.
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya …” (QS. An-Nur : 31) Bukankah rambut juga termasuk dalam kategori perhiasan yang biasa nampak pada perempuan?
Banyak sekali dalil yang digunakan sebagai landasan utama gerakan jilbabisasi. Dalil-dalil ini digunakan untuk memperkuat perlunya menutup aurat, namun meninggalkan dan melupakan makna aurat itu sendiri. Salah satu hadits yang paling banyak diperdengarkan dalam konteks aurat perempuan yang mencakup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan adalah hadits dari Abu Dawud.
Abu Dawud menceritakan dari Ya‘qub bin Ka‘ab al-Antakiy dan Mu’ammal bin al-Fadl al-Harany dari al-Walid dari Sa’id bin Bashir dari Qatadah dari Khalid, menurut Ya‘qub, Khalid disini adalah Khalid ibn Durayk, dari Aisyah RA : “Sesungguhnya Asma’ putri Abu Bakar Ra datang menemui Rasulullah SAW dengan mengenakan pakaian tipis, maka Rasulullah SAW berpaling (enggan melihatnya) dan bersabda: Hai Asma’, sesungguhnya perempuan, jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau).
Hadits ini kualitasnya mursal, karena Khalid Ibn Durayk tidak bertemu dengan Aisyah RA. Hadits mursal sendiri adalah hadits yang riwayat sanadnya terputus, yakni dari tabi’in langsung ke Rasulullah, tanpa ada periwayatan dari sahabat. Dalam hal ini, Khalid Ibn Durayk sebagai tabi’in, tidak bertemu dengan ‘Aisyah RA sebagai sahabat.
Beberapa ulama, seperti Muhammad Shahrur, Muhammad Sa’id Al Ashmawiy, dan beberapa pandangan dari Muhammad Quraisy Shihab mengemukakan bahwa batas aurat seorang perempuan diserahkan kepada budaya dan tradisi daerah masing-masing. Bahkan pendapat mereka didukung oleh kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) Jakarta pada Maret 1998, yang mengatakan bahwa jilbab sebenarnya hanyalah mengikuti model dan bukan merupakan simbol keagamaan.
Maka, jilbabisasi hari ini yang tengah bergerak layaknya sebuah arus keharusan, bahkan menimbulkan justifikasi baru di kalangan perempuan, jelas merupakan sebuah ekstremisme berbasis agama. Bagaimana mungkin kita memaksakan perempuan untuk berjilbab, bukankah tidak ada paksaan dalam agama. Jika dalam agama saja tidak ada paksaan, mengapa perkara jilbab harus dipaksakan atas nama agama? Jika berjilbab nyaman untukmu, lakukanlah, namun tetap hargai mereka yang memilih untuk tidak berjilbab. []