Mubadalah.id – Saya suka dengan kemarahan Lydia Cacho terhadap feminisme gelombang kedua. Bukan kemarahan yang meradang tiba-tiba atau ia dikemudikan oleh moralitas. Jauh dari itu, ia dengan mata kepala dan hatinya melihat langsung bagaimana rantai perdagangan manusia bekerja dan di saat yang bersamaan banyak perempuan Barat memuja-muja “pilihan perempuan” atau “tubuhku otoritasku”.
Cacho pantas bertanya, “Bagaimana dengan mereka (perempuan) yang berada di bawah ancaman penyiksaan?” Atau, “Tidakkah melihat kenyataan bahwa negara ikut dalam bisnis haram ini?” Perempuan dan anak-anak, khususnya di belahan negara miskin atau rawan konflik, menjadi komoditas seksual yang terstruktur dan dijamin kelancarannya. Artinya, mereka berada di lapisan penindasan yang tidak bisa dirasakan oleh perempuan yang sedang menikmati gemerlap malam kota New York, atau mereka yang bingung memilih gaun untuk pesta peresmian hotel.
Anak kecil di Kamboja yang sedang berayun menarik perhatian Cacho. Pandangan dan gelagat anak itu sangat genit-gemulai, seolah memang berniat menarik perhatian. Dan, dari mana ia mendapatkan kata “good boy” lengkap dengan aksen genitnya?
Ya, inilah sumber kemarahan Cacho: luputnya aspek mental dan psikologi korban. Anak perempuan itu (dan banyak lainnya) adalah penyintas yang masih berada di bawah bayangan “pemilik”nya. Mereka telah lama dibentuk untuk menjadi budak seksual para pedofil, lengkap dengan perangkat kata-kata manis.
Kita (pemuja feminisme gelombang kedua) cenderung menganggap perempuan yang berada di lokalisasi sebagai orang yang bebas dan telah menentukan pilihannya. Atau, perempuan yang menggoda di atas jembatan memang sepenuhnya menggunakan kesadaran mereka. Lalu bagaimana dengan perempuan yang menggoda karena berada di bawah ancaman Yakuza di Jepang? Atau, perempuan yang memang memilih jalan itu karena sudah terlanjur “menikmati”nya dan tidak ada kepastian hidup di tengah masyarakat?
Artinya, ada proses kekerasan (fisik ataupun mental) sebelum perempuan menentukan “pilihan”nya itu. Dan, kenyataan itu sulit diselesaikan oleh negara sekalipun. Saya cukup yakin dengan itu, karena rantai perdagangan manusia sudah dibuatkan jalan. Pejabat negara, pengusaha, anggota partai, militer, hingga vigilante (penyedia jasa keamanan) terlibat di dalamnya.
Kita bisa menemuinya melalui penelusuran Cacho di Meksiko, tentang temannya yang bekerja di Kantor Urusan Migran mati, sehari setelah membocorkan keterlibatan pejabat negara dalam perdagangan manusia kepadanya.
Cacho bertekad membuka mata dunia melalui bukunya (yang telah diterjemahkan) Bisnis Perbudakan Seksual (2021), bahwa di abad 21 ini perbudakan seksual masih ada. Membacanya mampu menciptakan gejolak emosional. Selain kuat sisi kemanusiaannya, juga karena itu adalah tulisan jurnalistik investigasi.
Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menuliskannya dan mempercayai apa yang ditemukan Cacho. Visualisasi rasanya sangat perlu untuk membantu saya mempercayainya. Kira-kira lebih dari 8 film yang saya pilih dan memilah beberapa untuk menuangkan temuan Cacho ke dalam tulisan ini.
Temuan Cacho dan Film-Film yang Menjelaskannya
Bukan berarti saya lebih mempercayai film (wahana yang penuh akting itu) dari pada penelusuran jurnalistik. Ini perlu untuk membantu visualisasi dan mempertebal sisi kemanusiaan. Dan nyatanya, saya cukup terbantu dengan langkah ini.
Tentang keterlibatan pengusaha (pemilik kasino) yang lebih superior dibandingkan dengan anggota partai. Bukan karena kuatnya modal, melainkan aib dari pejabat negara berada di tangan pengusaha. Melalui seri Who Killed Sara? gambaran itu saya dapatkan. Pengusaha telah menempatkan kamera di kamar-kamar tempat pelanggan berhubungan seksual. Dan itu senjata paling mematikan ketika kebijakannya mengganggu bisnis perbudakan seksual. Dari situ, bermulalah kemesraan keduanya terjalin.
Di Meksiko, Cacho mendapatkan banyak informasi tentang pejabat negara yang berada di bawah pengusaha kasino cum mafia. Kebanyakan dari mereka benar-benar mempertimbangkan karir di pemerintahan dan menjaga kepercayaan publik bahwa dia adalah orang bersih. Atau, memang para pejabat itu mencuci uangnya di bisnis tersebut: menanam saham di sana.
Cacho juga harus menyamar menjadi biarawati/suster untuk mendapatkan pemandangan yang mengiris hati: anak-anak berkalung salib di depan rumah dan digandeng oleh orang tuanya yang sedang menunggu pembeli anak-anak mereka, sembari memohon doa pengampunan dosa kepada pastor yang melintas.
Kenapa mereka (korban) tidak melawan, adalah pertanyaan yang sering muncul dan mengabaikan pengalaman kekerasan yang dialami korban. Angie: Lost Girl, mengungkap bagaimana proses mucikari mendapatkan perempuan, terutama di bawah umur. Mempengaruhi emosionalnya yang belum stabil dan mengiming-iminginya dengan sesuatu yang menggiurkan, seperti karir dan kepastian hidup di masa depan. Ketika sudah terperangkap, pukulan dan ancaman kematian diterima setiap hari ketika menolak melayani pelanggan.
Saat korban terpeleset terlalu jauh ke dalam bisnis haram ini, mereka sulit berpikir jernih dan mulai meyakini yang dilakukannya saat ini adalah benar. Cacho menemui perempuan yang memilih menjual tubuhnya karena ia berpikir tidak akan ditereima masyarakat. Sedangkan bersama mucikari, mereka diterima dan mendapatkan penghasilan yang menjanjikan.
Struktur yang Membusuk dan Konflik Mempercepat Pembusukannya
Saya mengakui bahwa Cacho adalah perempuan pemberani, tangguh, dan sangat peduli. Tekadnya untuk mengungkap jaringan bisnis perbudakan seksual membawanya masuk ke dalam daerah-daerah konflik seperti Myanmar dan Palestina-Israel.
Militer benar-benar dikuliti oleh Cacho, misalkan Junta di Myanmar yang mengulur jaringan bisnis haramnya sampai ke Thailand. Dalam daerah konflik seperti itu, militer memiliki peran serius dalam perbudakan seksual, dan itu yang sering luput dari mata masyarakat. Tak terkecuali konflik Palestina-Israel yang kuat nuansa agamanya, nyatanya saling kirim roket di kedua belah pihak mengaburkan fakta perempuan yang melintasi dua daerah tersebut untuk dijual.
Penyelundupan itu berjalan sangat rapi-tanpa cacat. Jelas, karena aparat yang mengamankan menjadi aktor utama dalam drama bejat tersebut. Seri Collateral dan film I am All Girls merunut keterlibatan militer, pejabat negara, dan mafia dalam menyelundupkan perempuan dan anak-anak, yang juga memanfaatkan imigran dengan alasan repatriasi. Membawanya ke kantor imigrasi hanya akan semakin menyiksa perempuan, karena di sana adalah corong penyelundupan manusia dengan kedok mengembalikan imigran ke negara asal, seperti di Turki.
Anak-anak (perempuan) benar-benar tidak dapat memilih ingin menjadi apa di masa depan. Hak pilihnya itu sudah direnggut sejak dini: dijual dan dipaksa melayani nafsu bejat laki-laki. Ketika menginjak dewasa, mereka akan dibuang dengan alasan “tidak layak pakai”. Tanpa kejelasan hidup dan dianggap sampah masyarakat.
Namun, dalam epilog Cacho, para pedofil membentuk komunitas untuk menyuarakan ketertarikan seksual mereka dan membandingkannya dengan LGBT. “Kenapa mereka memiliki hak sedangkan kami tidak? Bukankah kami juga berhak memiliki ketertarikan kepada anak-anak?” Mereka tidak menganggap itu sebagai kejahatan, dan ketertarikan terlarang itu semakin menguatkan rantai perbudakan seksual. Dan tak dapat disangkal, perdagangan bebas dan negara maju semakin menguatkan laku kriminal tersebut. []
Judul: Bisnis Perbudakan Seksual: Menelusuri Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak Internasional
Penulis: Lydia Cacho
Penerjemah: Fransiskus Pascaries
Penerbit: Marjin Kiri, 2021
Tebal: x + 315 hlm
ISBN: 978-602-788-11-1