Mubadalah.id – Potongan berita demi berita kekerasan terhadap perempuan menyeruak kembali. Pembunuhan, pencabulan, kekerasan seksual, KDRT, dan bahkan terbaru kasus pembakaran terhadap istri oleh suaminya sendiri karena cemburu buta. Kasus ini terjadi pada 10 Maret 2025 di Gantar Kabupaten Indramayu.
Melansir dari laman Indramayu Post, Kepala Satreskrim Polres Indramayu AKP Hillal Adi Imawan menceritakan krolonogi peritiwa di atas. Pelaku membeli bensin di daerah Haurgeulis dan menunggu di sekitar rumah korban.
“Saat korban tertidur, pelaku membuka jendela kamar yang tidak terkunci, lalu melemparkan botol berisi bensin yang sudah menyala ke arah wajah korban,” katanya.
Ia mengungkapkan korban yang mengalami luka bakar serius langsung berteriak meminta pertolongan, sementara pelaku melarikan diri.
Jujurly membaca berita di atas membuat saya geram dan marah. Perempuan lagi-lagi menjadi korban kekerasan bahkan sampai pada tahap pembunuhan atau femisida. Alasannya, hanya karena ia berjenis kelamin perempuan. Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk, setidaknya memastikan perempuan aman berada dimanapun dan dalam situasi apapun.
Harus kita akui, fenomena kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu semakin meluas seperti virus yang mudah menular pada semua lapisan masyarakat. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sebagaimana yang saya kutip dari buku “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”.
Pemahaman yang Salah tentang Konsep Kepemimpinan
Pertama, adanya ketidaksamaan bagi sebagian laki-laki disebabkan oleh kondisi mental sejak kecil, atau tekanan mental untuk bekerja. Sehingga kadang-kadang seorang laki-laki merasa tersaingi oleh istrinya yang mampu bekerja seperti dia, atau karena ia berasal dari keluarga yang menganggap pemukulan terhadap perempuan sebagai hal yang lumrah dan biasa.
Kedua, menurut Dr Abd Hamid Ismail al-Anshari, yang saya lansir dari buku yang sama menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bisa jadi juga karena, pemahaman yang salah. Adapun pemahaman yang salah itu antara lain;
Satu, sebagian laki-laki memaknai qiwamah dengan penguasaan dan hegemoni. Padahal secara syar’i bermakna kemampuan melaksanakan sesuatu yang menjadi kemaslahatannya, juga kemampuan memberikan perlindungan serta kemampuan memberi nafkah, nasehat dan pengarahan.
Dua, pemahaman yang salah mengenai “rujulah” atau maskulinitas. Sebagian orang memaknainya bahwa laki-laki harus kuat, keras dan tegas. Sebab perempuan bagi mereka hanya menghormati suami yang memukulnya, bukan suami yang halus lembut dan toleran.
Tiga, pemahaman yang salah mengenai “al-tawjih” atau memberi arahan dan “al-irsyad” atau memberi nasehat. Terdapat pemahaman salah yang menyebar di masyarakat awam. Bahwa laki-laki boleh memukul istrinya yang durhaka sebagai hukuman lazim.
Empat, pemahaman yang salah terhadap karakter atau watak perempuan. Ada yang menganggap bahwa perempuan diciptakan secara bengkok. Maka memukul adalah satu-satunya cara untuk meluruskannya.
Lima, pemahaman yang salah terhadap hak ketaatan. Bagi sebagian orang, ketaataan perempuan adalah ketundukan, kesabaran menerima penghinaan atau pukulan tanpa melayangkan protes dan mengeluh. Selain itu bersabar untuk tidak ikut campur suami dalam mengatur rumah tangga.
Sistem Pendidikan yang Perlu Diubah
Kembali pada faktor penyebab mengapa kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi, alasan berikutnya, ketiga karena model pendidikan yang ada di masyarakat. Secara umum masyarakat kita adalah masyarakat patriarki yang mendidik anak laki-laki untuk menjadi pemimpin atau majikan yang kita taati dengan banyak hak dan keistimewaan.
Keempat, sistem pendidikan menentukan peran ideal perempuan di masyarakat. Perempuan hanya terbebani dengan aktivitas seperti memasak, mencuci, menjahit (dapur, sumur, kasur). Sedangkan laki-laki tugasnya adalah berpikir, menulis dan menyelesaikan tugas-tugas besar.
Kelima, sistem budaya pada masyarakat kita, baik yang lama maupun yang baru, menempatkan perempuan pada posisi marjinal. Di mana hal ini menegaskan ketundukannya terhadap laki-laki. Bahwa, laki-lakilah yang kuat, lebih tinggi sehingga ia dianggap pantas untuk menasehati, memerintah dan bahkan memukul perempuan.
Perlindungan Maksimal bagi Korban Kekerasan
Keenam, pengaruh informasi yang semakin meneguhkan otoritas laki-laki di atas perempuan. Sebagaimana yang nampak pada cerita dalam film atau sinteron di Indonesia yang lebih banyak menampilkan istri tak berdaya, pasrah dan diharuskan bersabar ketika suaminya berbuat kejahatan, tertarik pada perempuan lain atau selingkuh.
Ketujuh, ketidaktegasan pemerintah dalam menerapkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang menjadi acuan hukum. Karena dalam kitab UU Hukum Pidana, ancaman pidana dan denda terhadap kasus KDRT sangat ringan sehingga tidak cukup untuk membuat jera pelaku.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2004 merupakan capaian yang sangat positif, terutama bagi istri (perempuan) yang kita lihat melalui pemberitaan media, lebih sering menjadi korban dalam praktik KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan yang suami lakukan terhadap istri, tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik tetapi juga secara psikis.
Hal ini sesuai dengan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang tercantum dalam pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.
Oleh karena itu korban KDRT, sebagaimana yang dialami oleh korban pembakaran di Indramayu tersebut harus mendapatkan perlindungan secara maksimal. Sekali lagi, mari kita katakan tidak pada kekerasan terhadap perempuan! []