Mubadalah.id – Keluarga kerap disebut sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Ungkapan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah kenyataan sosial yang nyata. Karena fondasi sebuah bangsa sejatinya bertumpu pada kekuatan keluarga. Bila keluarga mampu berdiri kokoh, masyarakat akan tumbuh sehat, berdaya, dan berkarakter.
Sebaliknya, rapuhnya keluarga akan memunculkan berbagai kerentanan sosial yang berlapis. Dalam kerangka inilah, gagasan mubadalah yang diperkenalkan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir melalui bukunya Qiraah Mubadalah menjadi penting untuk kita refleksikan bersama.
Menurut Kiai Faqih, keluarga dalam perspektif mubadalah bukanlah tanggung jawab sepihak. Ia adalah kerja kolektif semua anggota keluarga. Tidak hanya laki-laki, tidak juga hanya perempuan. Tidak semata-mata orang tua, melainkan juga anak, bahkan cucu.
Pada kasus keluarga besar, tanggung jawab itu bisa melebar hingga kepada kerabat yang lebih luas. Artinya, pengasuhan dan pendidikan anak bukanlah tugas individu tertentu, melainkan sebuah kerja sama sosial yang melibatkan semua pihak.
Di sinilah letak pentingnya memahami keluarga sebagai ruang berbagi peran. Tanggung jawab kolektif ini, sebagaimana ditegaskan dalam Buku Qiraah Mubadalah, harus dimaknai secara positif: untuk menghadirkan kebaikan (jalbu al-mashalih) sekaligus menjauhkan keburukan (dar’u al-mafasid).
Keluarga tidak boleh menjadi ruang pengekangan, apalagi penjerumusan. Sebaliknya, ia harus menjadi tempat aman dan nyaman bagi seluruh anggotanya, ruang untuk bertumbuh dan melejitkan potensi masing-masing individu.
Pendidikan Anak: Tugas Bersama, Bukan Beban Perempuan
Dalam banyak tradisi, kita sering mendengar ungkapan “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak” (al-ummu madrasah ula). Ungkapan ini sering kita pahami bahwa seorang ibu yang cerdas akan mampu mendidik anak dengan baik.
Sebaliknya, ibu yang kurang mendapatkan pendidikan akan sulit menjadi pilar kecerdasan bagi anak-anaknya. Karena itu, perempuan tidak boleh kita pinggirkan dari dunia pendidikan.
Namun, tafsir mubadalah menghadirkan pembacaan yang lebih luas. Menurut Kiai Faqih, ungkapan tersebut tidak boleh kita pahami sebagai penyerahan tanggung jawab pendidikan hanya kepada ibu semata.
Sebab, siapa pun yang paling dekat dengan anak—baik ayah, kakak, kakek, nenek, bahkan pengasuh—sesungguhnya adalah “sekolah pertama” bagi anak itu. Dengan demikian, pendidikan anak adalah kerja bersama, bukan beban yang perempuan pikul seorang diri.
Penting digarisbawahi, kegagalan dalam pengasuhan tidak boleh ditimpakan kepada ibu atau perempuan. Menyalahkan perempuan ketika terjadi masalah dalam pendidikan anak adalah bentuk ketidakadilan struktural yang masih kuat dalam budaya kita.
Dengan begitu, perspektif mubadalah justru menegaskan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam mendidik anak. Mereka kami harapkan dapat berpartisipasi aktif, saling mendukung, dan bekerja sama demi tumbuh kembang anak-anaknya. []