Mubadalah.id – Perempuan pemimpin (atau perempuan yang menjadi raja) bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah peradaban Nusantara. Sejak dulu, telah banyak perempuan Nusantara yang menjadi kepala negara. Ya, meski harus diakui juga bahwa jumlahnya tidak sebanyak laki-laki dan kajian seputar kiprah perempuan pemimpin juga belum terlalu ramai.
Naila Farha dalam artikel berjudul Suksesi dalam Babad Jaka Tingkir, menjelaskan kalau sejak masa Nusantara Kuno yang menjadi raja dalam struktur peradaban Nusantara tidak harus laki-laki seperti yang banyak dijumpai, melainkan ada juga perempuan. Satu dari banyaknya perempuan Nusantara yang tercatat menjadi raja adalah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga.
Salah satu kabar yang menerangkan Ratu Shima sebagai Raja Kalingga adalah catatan Tiongkok, yang sering digunakan sejarawan untuk memberi keterdukungan data masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang muslim Arab pada abad 7 M. Hal ini berdasarkan penjelasan Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Perbendaharaan Lama.
Buya Hamka, berdasarkan catatan Tiongkok, menjelaskan bahwa sekitar tahun 674 atau 675 Masehi para Ta-Cheh (pengembara Arab) tiba di Holing, yang waktu itu dipimpin oleh seorang perempuan bernama Si-mo. Negeri Holing yang dimaksud adalah Kerajaan Kalingga, yang pernah eksis di Pulau Jawa–kemungkinan bekas pusat Kalingga saat ini adalah Pekalongan atau Keling Jepara, Jawa Tengah–dan Si-mo adalah Ratu Shima.
Dalam artikel berjudul Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M), Yuda Prinada menjelaskan kalau Ratu Shima merupakan anak seorang pemuka agama Hindu Syiwa yang lahir pada 611 M di Sumatera bagian selatan, kemudian pindah ke Jepara sebab menikah dengan pangeran dari Kalingga, yaitu Kartikeyasinga. Sekitar tahun 648 M, Kartikeyasinga menjadi Raja Kalingga hingga wafat pada tahun 674 M. Ratu Shima kemudian naik tahta menggantikan suaminya. Dia memimpin selama 21 tahun. Dan, pada tahun 695 M, Ratu Shima mangkat.
Kalingga termasuk kerajaan di Nusantara dengan corak Hindu-Buddha. Buya Hamka menjelaskan bahwa agama yang dipeluk di Kalingga adalah Buddha. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan Risa Herdahita Putri dalam artikel Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok, sebagaimana dia memberikan contoh bahwa ada biksu dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang pernah bermukim di Sumatera (Sriwijaya) pada pertengahan abad 7 M, menyebutkan keberadaan Kerajaan Holing (Kalingga). Biksu itu mencatat kalau Kalingga menjadi pusat pendidikan agama Buddha Hinayana.
Pada masa pemerintahan Ratu Shima, sang ratu dengan sifat tolerannya mengayomi setiap pemeluk agama yang berada di wilayahnya. Sehingga, tidak heran jika pedagang Cina dan juga sudah ada pengembara Arab (muslim) yang mendatangi Kalingga, sebab meski berbeda kepercayaan dengan penguasa kala itu namun mereka mendapatkan keamanan. Hal itu tentu membuat perniagaan di Kalingga menjadi semakin ramai.
Ratu Shima merupakan seorang raja yang sangat menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Dia tidak segan-segan menghukum Putra Mahkota Kalingga tatkala anaknya itu melakukan kesalahan menendang kantong emas di jalan yang bukan miliknya. Sang ratu tegas menegakkan dan mengajarkan kejujuran bagi rakyatnya. Siapa pun yang menyentuh sesuatu barang yang bukan haknya, maka akan dihukum, sekalipun itu Pangeran Kalingga.
Hukum dan keadilan menjadi pilar kepemimpinannya. Dalam penegakan hukum, dia layaknya singa (simo). Namun, tatkala bicara kesejahteraan bagi rakyat, sang ratu adalah pemimpin yang adil dan mencintai rakyat, sehingga mampu membawa Kalingga dalam kemakmuran dan dicintai oleh rakyatnya.
Dalam catatan Tiongkok yang dikutip Buya Hamka, dijelaskan bahwa Kalingga pada masa pemerintahan Ratu Shima merupakan negeri yang amat makmur. Sebuah kerajaan yang kaya. Singgasana sang ratu terbuat dari emas. Bahkan, sekadar keris dan pedang kerajaan juga berlapis emas.
Saking makmurnya, tatkala para Ta-Cheh (pengembara Arab), yang sangat kagum melihat kemakmuran Kalingga di bawah pemerintahan Ratu Shima, sengaja mencecerkan sekantung emas di tengah jalan untuk melihat apakah ada yang akan mengambilnya, dan ternyata tidak ada yang tertarik. Hingga akhirnya, kantong emas itu disepak oleh anak Ratu Shima, dan sang ratu dengan tegas menghukum pangeran karena telah menyentuh barang yang bukan miliknya.
Emas di Kalingga pada masa pemerintahan Ratu Shima hanya bagaikan uang logam seratus rupiah yang tergeletak di jalan. Tidak ada yang tertarik untuk mengambilnya. Hal tersebut karena tingkat kemakmuran dan kejujuran masyarakat Kalingga yang tinggi pada masa pemerintahan sang ratu.
Ufi Saraswati dalam artikel berjudul Kuasa Perempuan dalam Sejarah Indonesia Kuno, menjelaskan menjelaskan bahwa masa Ratu Shima menunjukkan jika perempuan menjadi pemimpin tidak serta merta berarti mendorong negara (kerajaan) pada kemunduran apalagi kegagalan. Pada kasus Ratu Shima, Kalingga berada pada masa kemakmuran di eranya, dan justru–sebagaimana dijelaskan Yuda Prinada dalam artikel Sumber Sejarah Kerajaan Kalingga: Letak, Pendiri, dan Masa Kejayaan–pasca mangkatnya Ratu Shima, Kalingga mulai mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh pada 752 M.
Faktor penentu suksesnya sebuah kepemimpinan bukan pada jenis kelamin, melainkan pada seberapa kompeten seorang pemimpin menjalankan tugasnya. Dalam kasus Ratu Shima, meski dia adalah perempuan, namun sebab memiliki kompetensi sebagai pemimpin: tegas dan menjunjung tinggi hukum, serta adil dan mencintai rakyat, sehingga mampu membawa Kalingga pada kemakmuran. []