Mubadalah.id – Tak lama lagi, Indonesia memasuki usia kemerdekaan ke-80 tahun. Sebagian dari kita bersuka cita. Ada yang mensyukurinya dengan mengikuti upacara bendera. Ada pula yang mengibarkan sang saka merah putih. Bendera kebangsaan yang kita junjung tinggi itu, berkibar di mana-mana: depan rumah, jalan-jalan, hingga gedung-gedung.
Mayoritas dari kita juga terlibat di berbagai ajang perlombaan, baik level anak-anak maupun orang dewasa, menjadi peserta atau panitia, sebagai bentuk menjaga warisan tradisi di hari kemerdekaan. Pun, tak ketinggalan pembacaan tahlil untuk para pahlawan yang tergelar serentak di kampung-kampung. Itu di satu sisi. Di sisi lain, sebagian dari kita (mungkin) merana.
Kita merana bukan karena kita tak berhasil meraih juara satu lomba makan kerupuk. Sedih juga bukan karena tak hafal lagu Indonesia Raya. Kita pun juga cemas, bukan karena uang jajan terpangkas oleh emak bapak demi kebutuhan belanja. Tapi kita merana, sedih, dan cemas, melihat di negeri ini, negeri yang menjadi tempat lahir dan hidup, masih terdapat banyak problem yang menghantui rakyat.
Menjelang upacara kemerdekaan 17 Agustus 2025, sebuah kabar yang beredar di media massa, membuat kita hanya bisa mengelus dada. Berita yang seharusnya tak membikin kita kaget, karena sudah menjadi hal yang biasa kita dengar setiap saat. Kabar itu adalah terkait kenaikan gaji para anggota DPR RI 2024-2029.
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin yang menyatakan itu. Ia blak-blakan soal take home pay atau gaji bersih yang anggota DPR dapatkan setiap bulan, bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta. Dia bilang ada penambahan sekitar Rp 50 juta sebagai pengganti hilangnya fasilitas rumah dinas bagi para anggota dewan. Artinya, kalau kita rata-rata, anggota DPR mendapatkan gaji 3 juta per hari. Bayangkan, tiga juta per hari. Siapa yang nggak mau coba dapat uang segitu?
Isu Kenaikan Pajak
Di saat bersamaan dengan isu tersebut, berita tentang kenaikan pajak yang signifikan terjadi di banyak daerah. Di Pati misalnya, pajak bumi dan bangunan (PBB) dinaikkan hingga 250 persen oleh Bupati Pati, Sudewo.
Meski kebijakan ini akhirnya dibatalkan, masyarakat Pati sudah terlanjur geram, bukan hanya isu melejitnya angka pajak, tapi juga soal ucapan sang Bupati yang menantang warganya sendiri. Demonstrasi besar-besaran pun tak terelakan, dengan tuntutan sang Bupati yang arogan dan otoriter, turun dari jabatannya.
Apa yang terjadi di Pati, dan kabar soal naiknya gaji DPR yang gede banget, menjadi semacam api kecil yang membakar sebagian tubuh kita. Di saat Indonesia yang “Baldatun thayyibatun wa robbun ghofur” sudah dinyatakan merdeka selama 80 tahun, dan kita menginginkan perbaikan di semua lini, pada realitanya kita masih sering diterkam oleh kebijakan dan aturan yang tak berpihak pada rakyat kecil.
Merdeka untuk Siapa?
Indonesia memang sudah merdeka. Itu benar. Tapi kemerdekaan sejati yang seperti apa? Dan untuk siapa? Apakah kemerdekaan hanya untuk para pembuat kebijakan, dan pejabat lain yang duduk di atas singgasana kekuasaan? Lalu bagaimana dengan kehidupan rakyat kecil seperti kami ini? Yang gaji per bulannya bahkan tak pernah lebih dari keseluruhan gaji DPR per harinya?
Bahkan upah tenaga pengajar honorer, seperti guru dan dosen kampus swasta, yang hanya memperoleh gaji di angka satu jutaan rupiah saja. Apakah kami akan seterusnya diminta untuk ikhlas dan sabar dengan dalih pengabdian?
Hari ini, kita memang telah terbebas dari peluru-peluru tajam kompeni Belanda dan Jepang. Kita tidak sedang dalam kondisi perang mengangkat senjata melawan negara lain. Itu poin plusnya. Sementara, poin negatifnya, masih terjadi ketimpangan di sana-sini, di berbagai sektor kehidupan.
Ketimpangan gaji DPR dan rakyat yang diwakilinya, misalnya. Pada akhirnya, inilah yang menyebabkan rakyat bergaji kecil menjadi muak, karena hantaman ketidakadilan seringkali menerjangnya tanpa ampun.
Arogansi pemimpin yang seolah menantang rakyatnya sendiri sebenarnya bukan cuma ada di Pati. Itu bagian dari mayoritas perilaku para pengendali kebijakan di negara kita. Dari tingkat pusat hingga desa. Mereka dipilih rakyat, berkuasa, dan lalu berbuat seenaknya, tanpa pandang bulu, tapi mikirin nasib rakyat kecil kebanyakan.
Ketika banyak kebijakan dibuat untuk mencekik rakyat atas nama pembangunan, ketika wakil rakyat enggan merakyat, ketika hakim mudah disuap, dan ketika #percumalaporpolisi masih menggema di dunia maya, sejatinya kita perlu mempertanyakan “apakah kita benar sudah merdeka?”. Jika kita meyakini iya, lalu apa arti kemerdekaan sejati jika prinsip integritas tak dijalankan, sifat jujur tak ditampakkan, dan tindakan rakus terhadap kekuasaan dan harta semakin dipertonjolkan?
Problem yang Mengakar Kuat
Sejatinya, banyak problem yang masih mengakar kuat di negara yang kita cintai ini. Anda boleh setuju boleh tidak. Masalah-masalah tersebut, baik dari lingkup terkecil seperti desa, perkotaan, hingga ke pusat, maupun problem di berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi hingga politik.
Jika kita tak berbenah dengan serius, rasanya kita akan selamanya jadi negara berkembang. Sulit untuk bertransformasi menjadi negara maju, meskipun sumber daya alam (SDA) yang kita miliki sangat berlimpah.
Ngomongin SDA Indonesia yang sangat melimpah, ini cukup menggelitik. Meskipun SDA kita sampai tumpah-tumpah ke jalan, itu belum sepenuhnya rakyat nikmati. Di Papua, misalnya.
Sebagai salah satu pulau terbesar di dunia, tanah kelahiran bintang sepakbola Boaz Solossa ini kaya akan sumber daya alam. Sumber daya mineral logam seperti tembaga, emas, dan perak, untuk menyebut beberapa diantaranya.
Di Papua juga terdapat tambang emas terbesar di dunia Grasberg Block Cave Mine yang berada di kabupaten Mimika, Papua Tengah yang terkelola oleh PT Freeport Indonesia. Sialnya, seluruh keuntungan Freeport tidak dirasakan oleh seluruh rakyat, khususnya rakyat Papua.
Papua makmur akan hasil alamnya yang meluap-luap. Namun aset tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Di balik kekayaan di perut Bumi Cendrawasih terdapat kenyataan pahit di dalam masyarakatnya. Hidup dalam kemiskinan, kelaparan dan tanpa pendidikan.
Fakta ini dapat kita buktikan dengan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang provinsi termiskin di Indonesia. Empat provinsi di Papua menempati posisi empat besar, yakni Papua Pegunungan, di urutan pertama dengan persentase penduduk miskin sebesar 29.66%. Peringkat kedua ditempati oleh Papua Tengah dengan persentase kemiskinan 27.66%. Di urutan ketiga ada Papua (26.80%) dan keempat Papua Barat (21.43%).
Kaya tapi Miskin
Statistik di atas menjadi cerminan betapa Papua, meski kaya akan SDA, tetapi banyak dari masyarakatnya yang tertinggal dan tertindas akibat pengaruh dari luar, salah satunya oligarki. Hasil penelitian Anggi Hawarnia, dkk (2025) dari UIN Walisongo menunjukkan bahwa oligarki berperan penting dalam menentukan kebijakan pertambangan yang sering kali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, sehingga menciptakan ketidakadilan sosial dan lingkungan di Papua.
Apa yang terjadi di Papua tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Di pasal tersebut menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus kita gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi dalam praktiknya, pengelolaan sumber daya alam dan distribusinya gagal menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Mau bukti lagi?
Kemerdekaan Sejati
Contoh lain adalah sulitnya warga mengakses air bersih yang terjadi di beberapa daerah. Khususnya mereka yang miskin, tinggal di pemukiman kumuh serta masyarakat yang hidup di daerah yang tingkat kesulitan untuk mengakses air terutama air bersihnya tinggi. Seperti yang terjadi di daerah Gunung Kidul.
Air menjadi masalah krusial yang menimpa salah satu kabupaten di DIY tersebut. Berdasarkan data BPBD Gunungkidul, pada 2025, sebanyak 55.437 jiwa terdampak bencana kekeringan. Potensi air yang daerah Gunungkidul miliki cenderung besar.
Namun, mengapa Gunungkidul mengalami kekeringan hampir setiap tahunnya? Ini menjadi PR yang harus oemerintah kerjakan supaya pasal 33 ayat 3 UUD 45 dapat terimplementasikan secara paripurna.
Terutama dalam konteks pengelolaan SDA, implementasi dari pasal ini memang sering kali menghadapi ujian besar. Ada berbagai persoalan, seperti ketidakadilan dalam distribusi hasil, kerusakan lingkungan, dan korupsi seringkali menghambat tujuan utama pasal tersebut.
Nah, perkara-perkara ini lah yang mesti pemerintah sikapi secara khusyuk, agar keadilan dan pemerataan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak sekadar tertulis secara formal, tapi juga terimplementasi secara substansial.
Sebab, kemerdekaan sejati adalah ketika kita, sebagai rakyat yang kadangkala diremehkan, memiliki kendali dan manfaat atas tanah dan airnya sendiri. Dan ketika alam dirawat sebagai mitra hidup, bukan sebagai objek eksploitasi. []