Mubadalah.id – Di tengah panasnya politik nasional saat ini, kabar tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR RI menjadi perbincangan publik di media sosial. Pasalnya, puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang mereka terima setiap bulan seakan jauh dari realitas rakyat kecil yang harus berjuang keras dengan naiknya harga beras, minyak goreng, pajak, hingga biaya pendidikan anak.
Seorang ibu harus mengurangi belanja kebutuhan pokok sehari-hari, sementara wakil rakyat bisa menikmati fasilitas mobil dinas, rumah dinas, hingga berbagai tunjangan lain yang jumlahnya mencengangkan.
Kesenjangan gaji ini menimbulkan berbagai pertanyaan, benarkah para anggota DPR sedang menjalankan amanah untuk menyejahterakan rakyat, ataukah justru larut dalam kemewahan yang menjauhkan mereka dari denyut kehidupan masyarakat yang mereka wakili?
Rakyat Hidup dalam Kesulitan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2025 mencapai sekitar 23,85 juta orang. Sebagian besar mereka adalah keluarga buruh, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal. Kenaikan harga bahan pokok, yang tidak diimbangi kenaikan pendapatan, membuat mereka semakin terhimpit.
Angka ini sebenarnya akan jauh lebih besar jika digabungkan dengan 210.000 orang miskin yang pemerintah coret dari daftar kelompok miskin, dengan tujuan menghemat anggaran perlindungan sosial dan menunjukkan bahwa pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan.
Sementara itu, di banyak desa, orang-orang harus menambah jam kerja, dari bertani hingga menjadi buruh cuci dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara di kota, banyak para dengan upah minimum hanya cukup untuk biaya kos dan makan sederhana.
Kondisi yang memprihatinkan lainnya, banyak anak muda yang di PHK dari perusahaan dan kesulitan mendapat pekerjaan karena minimnya lapangan kerja. Ironisnya, mereka semua tetap membayar pajak yang sebagian terpakai untuk membiayai gaji anggota DPR.
Gaji DPR, Antara Hak dan Previlege
Gaji pokok anggota DPR sekitar Rp4,2 juta. Namun setelah ditambah tunjangan, fasilitas, dan uang perjalanan, jumlah yang mereka terima bisa tembus Rp100 juta per bulan, bahkan lebih. Belum termasuk jaminan kesehatan kelas premium, kendaraan dinas, hingga rumah dinas.
Fakta ini menjadi kontras ketika dibandingkan dengan rata-rata upah minimum pekerja Indonesia yang pada 2025 hanya Rp2-5 juta per bulan tergantung provinsi. Belum lagi gaji guru honorer yang ternyata banyak sekali masih di bawah satu jutaan. Artinya, gaji DPR bisa 20-30 kali lipat lebih besar dari gaji pekerja biasa.
Mengapa Kesenjangan Ini Bisa Terjadi?
Pertama, sistem politik yang memberi ruang besar pada kepentingan elite. Banyak kebijakan anggaran lebih condong untuk menjaga kenyamanan para pejabat dibanding memperhatikan kebutuhan rakyat.
Kedua, lemahnya kontrol publik. Mekanisme transparansi dan evaluasi kinerja DPR masih minim. Rakyat hanya diberi kesempatan memilih setiap lima tahun sekali, sementara setelah itu suara mereka sering tidak didengar.
Ketiga, budaya politik patronase yang membuat jabatan politik dipandang sebagai jalan pintas menuju kemewahan, bukan sebagai bentuk pengabdian. Tidak sedikit calon anggota legislatif yang rela mengeluarkan dana besar saat kampanye, dan ketika terpilih, berupaya mengembalikan modal melalui berbagai fasilitas dan tunjangan.
DPR Gagal Memihak Rakyat
Problem terbesarnya sebenarnya bukan soal gaji, namun tentang DPR yang gagal bekerja untuk rakyat. Padahal wakil rakyat ini mendapat gaji fantastis dengan segala kemewahan. Lembaga yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, justru lebih sering tampil sebagai simbol jarak antara rakyat dan negara. Secara konstitusional, DPR adalah “wakil rakyat.” Namun dalam praktiknya, rakyat merasa tidak benar-benar terwakili.
Kursi seorang anggota DPR tidak semata-mata lahir dari suara rakyat, namun dari restu partai politik. Karena yang menentukan seseorang masuk daftar calon legislatif dan mencoret nama atau mengganti posisi nomor urut adalah partai.
Bahkan setelah duduk pun, yang bisa menarik kembali kursi anggota DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu, juga partai. Dalam struktur seperti ini, loyalitas anggota DPR lebih sering diarahkan ke partai ketimbang rakyat. Maka tidak heran jika kita merasa suara kita berhenti di bilik suara saat mencoblos.
Kesenjangan gaji itu semakin terasa ketika DPR menjalankan fungsinya sehari-hari. Alih-alih hadir di tengah masyarakat, anggota DPR sering terlihat sibuk di gedung parlemen dengan bahasa-bahasa formal, rapat-rapat kaku, dan agenda yang terasa jauh dari kehidupan nyata rakyat.
Ketika harga beras melambung, listrik naik, atau akses kesehatan makin sulit. Pembahasan di DPR malah berkutat pada revisi undang-undang yang lebih banyak menguntungkan elite politik atau kelompok tertentu. Rakyat pun makin merasa terasing.
Dalam konteks ini, kritik publik menjadi wajar jika gaji DPR begitu besar, tetapi kinerja dan keberpihakan mereka justru menyakiti rakyat, maka apa arti semua kemewahan itu?
Kesalingan sebagai Jalan Perubahan
Dalam tradisi Islam, relasi antara pemimpin dan rakyat tidak pernah ditempatkan secara hierarkis yang kaku. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya amanah, musyawarah, dan pelayanan. Pemimpin bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Kekuasaan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi, melainkan sebagai sarana memperjuangkan keadilan bagi seluruh umat.
Prinsip ini sejalan dengan nilai kesalingan (mubadalah) yang menjadi wacana keislaman kontemporer. Kesalingan mengajarkan bahwa setiap relasi harus berlandaskan pada keadilan dan keberpihakan timbal balik. Tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam hal hak kesejahteraan.
Kesenjangan gaji DPR dan rakyat adalah cermin yang menuntun kita untuk terus bersuara. Demokrasi tidak boleh menjadi panggung elite semata, melainkan harus menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama. Karena pada dasarnya, relasi pemimpin dan rakyat semestinya bersifat mutual. Begitu pula kesejahteraan pemimpin dan rakyat seharusnya berjalan beriringan.
Dengan demikian, kritik terhadap DPR bukanlah semata-mata seruan emosional, namun sebuah panggilan moral agar demokrasi kita kembali ke akarnya, yakni menghadirkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi semua. []