Mubadalah.id – Hari ini, 1 Juni 2024 kabarnya akan ada demo besar-besaran di Kota Cirebon. Konon beberapa akun di TikTok menyebutkan sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila untuk menuntut keadilan atas kasus Vina Cirebon.
Sejumlah aliansi masyarakat peduli kasus Vina Cirebon, yang terdiri dari mahasiswa, komunitas genk motor dan kuli bangunan akan membuat Kota Cirebon menjadi lautan manusia. Kantor Polresta Cirebon menjadi titik tuju.
Sepanjang hari kemarin pun, ketika saya berjumpa dengan teman-teman yang menjadi bahan pembicaraan kami adalah kasus Vina Cirebon ini. Kami akhirnya sampai pada kesimpulan ada keterlibatan orang “kuat” hingga kasus ini semakin liar tak terkendali. Kasus yang sudah 8 tahun mengendap ini pun, dibuka kembali oleh pihak kepolisian.
Film Vina sebelum 7 hari masih tayang di beberapa layar bioskop. Tetapi saya tidak tertarik sekalipun untuk menontonnya. Salah satu alasan utama, karena ada adegan kekerasan seksual, dan pembunuhan sadis terhadap perempuan hingga ia meregang nyawa sia-sia.
Terlepas dari apapun relasi Vina dengan Linda dan teman-teman komunitasnya atau dengan pacarnya yang juga ikut terbunuh saat itu, mereka adalah korban dari maskulinitas toksik. Para pelaku ingin menunjukkan eksistensinya, sehingga perlu menundukkan dan menguasai perempuan dengan cara-cara kekerasan.
Mengapa Perempuan Dianiaya?
Dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan di atas, satu pertanyaan muncul, mengapa perempuan dianiaya sedemikian rupa? Perempuan seperti bukan manusia. Ia bagai seonggok barang yang tak berharga. Karena menurut Gadis Arrivia dalam buku Feminisme Sebuah Kata Hati, penganiayaan merupakan masalah kekuasaan.
Pada awalnya adalah untuk menunjukkan siapa yang memegang kontrol, situasi, siapa yang lebih berkuasa, dan penunjukan kekuasaan itu akhirnya berakibat pada kekerasan dalam bentuk penamparan, penggebukan, pemerkosaan dan pembunuhan.
Sebelum semua itu terjadi, yang harus kita lihat adalah adanya ketidaksetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Adanya superioritas laki-laki yang menganggap perlakuan kasar terhadap perempuan merupakan hal yang wajar.
Dengan kata lain, semakin maraknya kasus pembunuhan terhadap perempuan, atau femisida, sama halnya dengan kita telah menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Menilik Kasus Vina Cirebon
Melansir artikel yang Sonya Hellen Sinombor tulis di laman Kompas.id, pembunuhan terhadap Vina semakin menegaskan kerentanan perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Entah itu penyiksaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan secara keji, karena berdasarkan latar belakang tertentu.
Kasus tersebut sekaligus membangunkan kesadaran masyarakat bahwa ada praktik kekerasan yang harus kita hentikan dalam kehidupan bermasyarakat. Khususnya yang kerap terjadi di kalangan anak-anak muda.
Upaya menanamkan nilai-nilai kehidupan yang menghargai martabat manusia harus terus kita lakukan kepada anak-anak sejak usia dini, hingga duduk di bangku sekolah.
Kesetaraan gender dan upaya mencegah kekerasan seksual serta femisida tidak boleh hanya sebatas seruan dan slogan semata. Tetapi penting kita internalisasikan di ruang pendidikan formal dan informal sehingga terbentuk generasi-generasi yang memiliki perspektif keadilan gender.
Pentingnya Edukasi pada Remaja
Edukasi juga penting kita berikan kepada remaja laki-laki dan perempuan (terutama) tentang otonomi dan integritas tubuh serta tentang consent sebagai bagian dari pendidikan kesetaraan gender.
Begitu juga edukasi tentang bahaya norma maskulinitas patriarki yang toksik bagi laki-laki dan perempuan. Demikian yang disampaikan oleh Nur Hasyim, pengajar sosiologi keluarga Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Sejalan dengan upaya edukasi tersebut, kita membutuhkan juga promosi tentang konsep maskulinitas baru yang lebih sehat, dan manusiawi. Selain itu sejalan dengan nilai dan prinsip keadilan gender, yang menyasar kalangan anak muda, baik laki-laki maupun perempuan.
Pembunuhan terhadap Vina, menurut Nur Hasyim, berhubungan dengan konsep maskulinitas yang diyakini para pelaku bahwa laki-laki merupakan subyek dan perempuan adalah obyek.
Laki-laki memiliki kekuasaan dan kontrol atas tubuh perempuan sehingga ketika mengungkapkan ketertarikan kepada perempuan, laki-laki tidak siap dengan penolakan.
Perempuan Bukan Sumber Fitnah
Penyebutan nama Linda dalam kasus Vina Cirebon, yang juga ikut terseret hingga menjadi bulan-bulanan komentar negatif warga net, menggenapi stigma perempuan sebagai sumber fitnah.
Kasus ini, hampir mirip dengan kasus penganiayaan anak pejabat, dan narkoba anak seorang Jenderal yang viral satu tahun silam, di mana keterlibatan nama perempuan mereka anggap sebagai awal petaka dari semua masalah.
Lalu saya menggarisbawahi catatan dari Pak Faqih dalam artikel yang ia tulis di laman ini.
“Tidakkah kita berefleksi: jangan-jangan justru dunia kita telah terkooptasi oleh sikap dan perilaku maskulin yang toksik, sehingga semua orang, laki-laki dan perempuan, akan mempraktikkannya agar bisa eksis.” []