Patung Molly Malone justru menjadi sasaran tindakan tak pantas. Banyak pengunjung, baik lokal maupun turis, meraba bagian payudaranya, kadang sambil berpose untuk berfoto.
Mubadalah.id – Ketika sedang berselancar di media sosial, jari saya berhenti menggulir layar. Sebuah konten video patung perempuan mendorong gerobak muncul di linimasa. Sekilas, dari video tersebut tidak ada yang aneh, namun ada satu hal yang membuat saya terdiam yaitu bagian payudara patung itu tampak berbeda warnanya. Ia lebih terang akibat terlalu sering disentuh oleh para pengunjung.
Ya, patung itu adalah sosok Molly Malone, tokoh legendaris dalam lagu rakyat Irlandia “Sweet Molly Malone” yang sangat populer di Dublin.
Melansir dari Detik.com, patung Molly Malone didirikan pada tahun 1988 oleh seniman Jeanne Rynhart sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan pekerja keras, dan diletakkan di jantung ibu kota Irlandia sebagai simbol kebanggaan kelas pekerja.
Namun alih-alih menjadi icon dan bentuk penghargaan, patung Molly Malone justru menjadi sasaran tindakan tak pantas. Banyak pengunjung, baik lokal maupun turis, meraba bagian payudaranya, kadang sambil berpose untuk berfoto. Bahkan kadang sambil tertawa-tawa. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai tindakan yang lucu dan wajib dilakukan ketika berkunjung ke Dublin.
Tindakan ini mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang. Hanya patung, kata mereka. Tapi benarkah ini kita biarkan begitu saja?
Patung pun Jadi Korban Pelecehan
Tindakan menyentuh bagian tubuh patung secara tidak senonoh bukanlah hal yang bisa kita anggap remeh. Meskipun patung adalah benda mati, simbol yang ia wakili sangat nyata yaitu tubuh perempuan.
Dan ketika tubuh perempuan baik nyata maupun simbolik, apalagi menjadi objek yang bisa diraba dan ditertawakan. Maka kita sedang berhadapan dengan bentuk pelecehan yang lebih dalam dari yang terlihat.
Ini bukan semata soal benda seni yang dirusak. Ini adalah persoalan tentang bagaimana tubuh perempuan terus-menerus menjadi objek yang pelecehan. Bahkan patung pun tidak “aman” dari perlakuan seperti itu. Lalu apa yang bisa kita harapkan terhadap keselamatan dan penghargaan tubuh perempuan di dunia nyata?
Kita sering kali menoleransi tindakan seperti ini dengan dalih itu hanya candaan. Padahal, dari candaan semacam inilah menjadi salah satu bentuk normalisasi kekerasan seksual yang terus berakar.
Oleh sebab itu, jika menyentuh bagian tubuh perempuan meski hanya simbolik dijadikan hiburan, maka bukan tidak mungkin seseorang menganggap bahwa menyentuh tubuh perempuan di dunia nyata juga bisa dianggap lucu, ringan, dan tidak bermasalah.
Budaya Patriarkis
Di balik tindakan yang tampak remeh ini, menurut saya, hal ini sangat menyimpan pola pikir patriarkis yang sudah lama bercokol dalam struktur sosial kita. Perempuan dan tubuhnya hanya menjadi objek kekerasan.
Dalam banyak konteks budaya, tubuh perempuan lebih sering dibicarakan, diatur, dan dihakimi daripada dihormati. Bahkan ketika sosok perempuan diabadikan dalam bentuk patung sebagai simbol kekuatan, keteguhan, atau kehormatan, yang menjadi sorotan bukan nilai atau perjuangan yang ia wakili, tapi bagian tubuh yang bisa dieksploitasi.
Apa yang terjadi pada patung Molly Malone juga mengingatkan kita pada kejadian serupa di berbagai tempat lain. Di beberapa negara, ada patung-patung perempuan yang nasibnya tidak jauh berbeda. Ya patung itu disentuh, difoto dengan pose vulgar, dan dijadikan objek “bercanda.”
Bagi saya, ini bukan hanya masalah individu yang iseng, melainkan cerminan dari struktur budaya yang menormalisasi perilaku tidak etis terhadap perempuan.
Kita perlu bertanya, kenapa ini bisa terus terjadi? Jawabannya barangkali karena kita, sebagai masyarakat, belum sepenuhnya tegas dalam menolak segala bentuk pelecehan, bahkan yang tampaknya kecil sekalipun.
Termasuk, kita juga belum benar-benar menanamkan kesadaran bahwa penghormatan terhadap perempuan harus berlaku utuh bukan hanya dalam ucapan. Tapi dalam perilaku sehari-hari, juga dalam hal sesederhana menghormati patung.
Pentingnya Kesadaran Publik
Peristiwa Molly Malone bisa menjadi bahan refleksi penting. Bahwa penghargaan terhadap perempuan tidak hanya bisa kita ukur dari bagaimana kita memperlakukan mereka secara langsung. Tetapi juga bagaimana kita memperlakukan simbol-simbol perempuan di ruang publik.
Dalam kasus patung Molly Malone, pemerintah kota Dublin kini mulai meningkatkan pengawasan di sekitar area patung. Namun, pengawasan semata tidak cukup. Harus ada edukasi publik yang lebih menyeluruh.
Bahkan harus ada upaya sistematis untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap tubuh perempuan bahwa tubuh perempuan bukan untuk dieksploitasi, bukan untuk bahan candaan, dan bukan pula sekadar objek yang bisa diakses siapa saja tanpa batas.
Kita juga memerlukan narasi tandingan di ruang digital, di sekolah, di rumah, dan di ruang-ruang publik lainnya. Yaitu, dengan menghadirkan narasi yang mengajarkan etika, empati, dan penghormatan.
Menolak Normalisasi Pelecehan dalam Bentuk Apapun
Penting untuk menegaskan bahwa tidak ada bentuk pelecehan yang bisa kita anggap remeh. Meraba payudara patung dan menganggapnya sebagai lelucon mungkin terlihat ringan, tapi dampaknya terhadap cara berpikir masyarakat bisa sangat dalam.
Hal ini tentu bisa membentuk budaya baru, yaitu budaya yang permisif terhadap kekerasan, budaya yang menertawakan penderitaan orang lain, juga menjadi budaya yang abai terhadap batas-batas pribadi.
Oleh karena itu, kita semua, baik sebagai individu, sebagai keluarga, maupun sebagai bagian dari komunitas, kita harus lebih peka dan bertanggung jawab. Kita perlu berani menegur, berani menolak, dan berani menyuarakan bahwa pelecehan dalam bentuk apapun, sekecil apapun, tidak ada kata toleransi.
Terakhir, Molly Malone adalah simbol. Ia mewakili kerja keras, perjuangan, dan keteguhan perempuan kelas pekerja. Patung dirinya seharusnya menjadi lambang penghormatan, bukan bahan olok-olok. []