• Login
  • Register
Sabtu, 28 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

Ini bukan semata soal benda seni yang dirusak. Ini adalah persoalan tentang bagaimana tubuh perempuan terus-menerus menjadi objek yang pelecehan. Bahkan patung pun tidak “aman” dari perlakuan seperti itu

Tasnim Qiy Tasnim Qiy
27/06/2025
in Publik
0
Patung Molly Malone

Patung Molly Malone

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Patung Molly Malone justru menjadi sasaran tindakan tak pantas. Banyak pengunjung, baik lokal maupun turis, meraba bagian payudaranya, kadang sambil berpose untuk berfoto.

Mubadalah.id – Ketika sedang berselancar di media sosial, jari saya berhenti menggulir layar. Sebuah konten video patung perempuan mendorong gerobak muncul di linimasa. Sekilas, dari video tersebut tidak ada yang aneh, namun ada satu hal yang membuat saya terdiam yaitu bagian payudara patung itu tampak berbeda warnanya. Ia lebih terang akibat terlalu sering disentuh oleh para pengunjung.

Ya, patung itu adalah sosok Molly Malone, tokoh legendaris dalam lagu rakyat Irlandia “Sweet Molly Malone” yang sangat populer di Dublin.

Melansir dari Detik.com, patung Molly Malone didirikan pada tahun 1988 oleh seniman Jeanne Rynhart sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan pekerja keras, dan diletakkan di jantung ibu kota Irlandia sebagai simbol kebanggaan kelas pekerja.

Namun alih-alih menjadi icon dan bentuk penghargaan, patung Molly Malone justru menjadi sasaran tindakan tak pantas. Banyak pengunjung, baik lokal maupun turis, meraba bagian payudaranya, kadang sambil berpose untuk berfoto. Bahkan kadang sambil tertawa-tawa. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai tindakan yang lucu dan wajib dilakukan ketika berkunjung ke Dublin.

Baca Juga:

Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

Tindakan ini mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang. Hanya patung, kata mereka. Tapi benarkah ini kita biarkan begitu saja?

Patung pun Jadi Korban Pelecehan

Tindakan menyentuh bagian tubuh patung secara tidak senonoh bukanlah hal yang bisa kita anggap remeh. Meskipun patung adalah benda mati, simbol yang ia wakili sangat nyata yaitu tubuh perempuan.

Dan ketika tubuh perempuan baik nyata maupun simbolik, apalagi menjadi objek yang bisa diraba dan ditertawakan. Maka kita sedang berhadapan dengan bentuk pelecehan yang lebih dalam dari yang terlihat.

Ini bukan semata soal benda seni yang dirusak. Ini adalah persoalan tentang bagaimana tubuh perempuan terus-menerus menjadi objek yang pelecehan. Bahkan patung pun tidak “aman” dari perlakuan seperti itu. Lalu apa yang bisa kita harapkan terhadap keselamatan dan penghargaan tubuh perempuan di dunia nyata?

Kita sering kali menoleransi tindakan seperti ini dengan dalih itu hanya candaan. Padahal, dari candaan semacam inilah menjadi salah satu bentuk normalisasi kekerasan seksual yang terus berakar.

Oleh sebab itu, jika menyentuh bagian tubuh perempuan meski hanya simbolik dijadikan hiburan, maka bukan tidak mungkin seseorang menganggap bahwa menyentuh tubuh perempuan di dunia nyata juga bisa dianggap lucu, ringan, dan tidak bermasalah.

Budaya Patriarkis

Di balik tindakan yang tampak remeh ini, menurut saya, hal ini sangat menyimpan pola pikir patriarkis yang sudah lama bercokol dalam struktur sosial kita. Perempuan dan tubuhnya hanya menjadi objek kekerasan.

Dalam banyak konteks budaya, tubuh perempuan lebih sering dibicarakan, diatur, dan dihakimi daripada dihormati. Bahkan ketika sosok perempuan diabadikan dalam bentuk patung sebagai simbol kekuatan, keteguhan, atau kehormatan, yang menjadi sorotan bukan nilai atau perjuangan yang ia wakili, tapi bagian tubuh yang bisa dieksploitasi.

Apa yang terjadi pada patung Molly Malone juga mengingatkan kita pada kejadian serupa di berbagai tempat lain. Di beberapa negara, ada patung-patung perempuan yang nasibnya tidak jauh berbeda. Ya patung itu disentuh, difoto dengan pose vulgar, dan dijadikan objek “bercanda.”

Bagi saya, ini bukan hanya masalah individu yang iseng, melainkan cerminan dari struktur budaya yang menormalisasi perilaku tidak etis terhadap perempuan.

Kita perlu bertanya, kenapa ini bisa terus terjadi? Jawabannya barangkali karena kita, sebagai masyarakat, belum sepenuhnya tegas dalam menolak segala bentuk pelecehan, bahkan yang tampaknya kecil sekalipun.

Termasuk, kita juga belum benar-benar menanamkan kesadaran bahwa penghormatan terhadap perempuan harus berlaku utuh bukan hanya dalam ucapan. Tapi dalam perilaku sehari-hari, juga dalam hal sesederhana menghormati patung.

Pentingnya Kesadaran Publik

Peristiwa Molly Malone bisa menjadi bahan refleksi penting. Bahwa penghargaan terhadap perempuan tidak hanya bisa kita ukur dari bagaimana kita memperlakukan mereka secara langsung. Tetapi juga bagaimana kita memperlakukan simbol-simbol perempuan di ruang publik.

Dalam kasus patung Molly Malone, pemerintah kota Dublin kini mulai meningkatkan pengawasan di sekitar area patung. Namun, pengawasan semata tidak cukup. Harus ada edukasi publik yang lebih menyeluruh.

Bahkan harus ada upaya sistematis untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap tubuh perempuan bahwa tubuh perempuan bukan untuk dieksploitasi, bukan untuk bahan candaan, dan bukan pula sekadar objek yang bisa diakses siapa saja tanpa batas.

Kita juga memerlukan narasi tandingan di ruang digital, di sekolah, di rumah, dan di ruang-ruang publik lainnya. Yaitu, dengan menghadirkan narasi yang mengajarkan etika, empati, dan penghormatan.

Menolak Normalisasi Pelecehan dalam Bentuk Apapun

Penting untuk menegaskan bahwa tidak ada bentuk pelecehan yang bisa kita anggap remeh. Meraba payudara patung dan menganggapnya sebagai lelucon mungkin terlihat ringan, tapi dampaknya terhadap cara berpikir masyarakat bisa sangat dalam.

Hal ini tentu bisa membentuk budaya baru, yaitu budaya yang permisif terhadap kekerasan, budaya yang menertawakan penderitaan orang lain, juga menjadi budaya yang abai terhadap batas-batas pribadi.

Oleh karena itu, kita semua, baik sebagai individu, sebagai keluarga, maupun sebagai bagian dari komunitas, kita harus lebih peka dan bertanggung jawab. Kita perlu berani menegur, berani menolak, dan berani menyuarakan bahwa pelecehan dalam bentuk apapun, sekecil apapun, tidak ada kata toleransi.

Terakhir, Molly Malone adalah simbol. Ia mewakili kerja keras, perjuangan, dan keteguhan perempuan kelas pekerja. Patung dirinya seharusnya menjadi lambang penghormatan, bukan bahan olok-olok. []

Tags: JadiketikakorbanPatung Molly Malonepelecehan
Tasnim Qiy

Tasnim Qiy

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Terkait Posts

Hijrah Nabi Muhammad Saw

Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

27 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Iran dan Palestina

Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

26 Juni 2025
Hijrah

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

25 Juni 2025
Menjaga Ekosistem

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

25 Juni 2025
Simbol Keadilan

Sebutir Nasi sebagai Simbol Keadilan

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Patung Molly Malone

    Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW
  • Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
  • Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan
  • Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID