Mubadalah.id – Ada narasi besar yang diajarkan masyarakat kita tentang pernikahan, bahwa ia adalah puncak kehidupan—keutuhan yang harus terjaga sampai mati. Oleh karena itu, segala upaya yang mengancam “keutuhan” tersebut seperti perceraian adalah antitesisnya: kegagalan dan aib yang memalukan. Perempuan, terutama, sering kali menjadi pihak yang paling terpojok oleh narasi ini. Mereka dituntut untuk bertahan, menahan, dan mengalah demi label “utuh” itu.
Dalam buku terbarunya ‘Retak untuk Utuh’ (2025) yang kali ini akan saya ulas, Humaerah menawarkan narasi tandingan yang kuat dan menyentuh. Buku ini bukan sekadar memoar tentang patah hati, melainkan sebuah manifesto tentang bagaimana keretakan dalam sebuah hubungan (pernikahan) justru bisa menjadi jalan pulang menuju kemerdekaan dan pembebasan diri.
Perjalanan Humaerah mulai dari sebuah ruang sunyi yang akrab bagi banyak perempuan yang bertahan di tengah hubungan yang tidak sehat. Kamar yang dingin, percakapan yang datar, dan kesadaran pahit bahwa cinta yang dulu ia yakini abadi ternyata sudah lama pergi. Ia melukiskan duka yang tak terucap itu ke dalam bukunya karena merasa kehilangan arah, kehilangan sosok, dan juga penghakiman sosial yang menyertainya.
Keberanian Perempuan
Ini mengingatkan saya dengan buku Glennon Doyle berjudul ‘Untamed’. Doyle memberikan satu kata kunci pembuka di buku itu: sangkar. Ia berpendapat bahwa sejak usia 10 tahun, perempuan mulai dijinakkan (tamed)—diajarkan untuk masuk ke dalam sangkar-sangkar ekspektasi sosial. Bagaimana harus merasa, bertindak, dan mencintai.
Pernikahan yang menuntut perempuan untuk mengkerdilkan diri demi keharmonisan adalah salah satu sangkar terkuat. Dan Humaerah hidup di dalam sangkar itu; ia menjadi seorang people pleaser yang kehilangan suaranya sendiri, yang mengira pengorbanan adalah bukti cinta. Ia terbiasa diam, bukan karena tak bisa berkata-kata, tapi karena terlalu sering teryakinkan bahwa suaranya tak penting.
Dalam buku ini, Humaerah menunjukkan bahwa terkadang, keberanian terbesar seorang perempuan bukanlah bertahan dalam penderitaan. Melainkan memilih untuk pergi dan menulis ulang kisahnya sendiri. Keputusannya untuk bercerai, dengan demikian, adalah langkah pertamanya untuk keluar dari sangkar tersebut—untuk menolak versi hidup yang orang lain inginkan
Setelah palu terketuk dan status berganti, dunia seorang perempuan sering kali terasa gaduh oleh penilaian dan sunyi oleh empati. Humaerah melukiskan fase ini dengan begitu telanjang. Ada rasa malu yang melumpuhkan, kehilangan arah, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menghantui. Lenyapnya identitas yang bertahun-tahun melekat pada peran domestiknya sebagai seorang istri, menyisakan kekosongan.
Di tengah kebisingan penghakiman sosial yang tak pernah berpihak pada perempuan yang baru saja kehilangan tempatnya bersandarnya, ia menemukan ruang sunyinya sendiri untuk meluapkan segalanya: menulis. Menulis menjadi terapi—sebuah cara untuk berbicara dengan diri sendiri tanpa perlu takut penilaian. Atau dengan kata-katanya: membiarkan luka-luka lama terbuka hanya untuk diberi ruang agar sembuh.
Menulis Menjadi Jalan Menemukan Kembali
Proses ini sama seperti apa yang pernah Doyle gambarkan dalam ‘Untamed’-nya. Doyle bercerita tentang bagaimana ia menyadari bahwa selama ini ia hidup dalam sangkar ekspektasi kultural, menjadi “gadis baik” yang membunuh sisi liarnya.
Bagi Doyle, dan juga Humaerah, menulis menjadi jalan untuk menemukan kembali “keliaran” itu—suara asli yang terkubur di bawah tumpukan-tumpukan ekspektasi. Humaerah menulis bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menyuarakan bahwa perempuan juga manusia.
Humaerah bercerita bahwa ketika tulisan-tulisannya terunggah ke media sosial, ada perempuan-perempuan lain yang merasakan hal yang sama dan mengirimkan pesan padanya. “Aku juga mengalami itu. Terima kasih sudah menuliskannya.” Sesuatu yang tak pernah ia duga. Inilah apa yang ia sebut dengan loving communion, yaitu ketika tulisan menjadi ruang untuk menyatukan rasa, pengingat bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Menulis pun tak lagi sekadar aktivitas penyembuhan diri, tetapi sudah menjadi tindakan politis untuk merebut kembali narasi hidup yang selama ini terbungkam. Doyle menyebut ini sebagai penemuan kembali suara “liar” perempuan—suara asli sebelum dunia menjinakkannya.
Dengan menulis, Humaerah tidak hanya menyembuhkan dirinya, tetapi juga menyalakan obor perempuan lain yang masih terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat. Ia menyadari bahwa suaranya bukan hanya miliknya, tetapi juga “milik semua perempuan yang pernah bungkam.”
Luka Perceraian
Perjuangan Humaerah tidak hanya untuk membebaskan diri dari luka perceraian, tetapi juga dari warisan luka yang ia warisi dari ibunya. Salah satu bagian favorit saya adalah kalimat “Aku tidak ingin menjadi seperti ibuku”. Ini adalah salah satu pilar emosional paling kuat dalam buku ini. Kalimat itu tidak lahir dari kebencian, melainkan justru lahir dari cinta yang begitu dalam kepada ibunya.
Ibunya adalah cerminan dari perempuan kuat dalam definisi patriarki. Sabar, menahan luka, dan setia pada penderitaannya sendiri. Humaerah sadar bahwa “pola diam” yang ia praktikkan sebelum perceraiannya adalah pola yang ia warisi dari ibunya.
Ia menggambarkan ibunya sebagai sosok yang menenggelamkan tangisannya di antara tumpukan cucian dan sajadah, menyembunyikan mata bengkaknya sambil berkata semuanya baik-baik saja. Baginya, “diam” itu terwariskan seperti resep makanan di keluarganya, dari nenek ke ibu, lalu kepadanya. Sebuah sikap yang sering disalahartikan sebagai kebaikan. Ia tahu bahwa pola yang sama juga menjeratnya. Itulah mengapa ia tahu bahwa “ini harus berhenti padaku.”
Mengapa Humaerah merasa pola “diam”, yang oleh patriarki terdefinisikan sebagai kewajiban dan kebaikan seorang perempuan, itu harus ia akhiri?
Doyle berargumen bahwa tugas seorang ibu bukanlah menjadi martir yang perlahan mati demi anak-anaknya, melainkan menjadi model untuk anak-anaknya tentang bagaimana cara hidup yang totalitas (to be fully alive). Berangkat dari sini, saya kira dengan memilih jalan yang berbeda dari ibunya, Humaerah tidaklah durhaka kepada ibunya. Ia hanya ingin memutuskan rantai luka warisan itu.
Ia melakukannya agar anak perempuannya kelak tak perlu lagi belajar cara bertahan dari luka, melainkan belajar merawat dan mengutamakan diri sendiri terlebih dahulu. Ia melakukannya agar pengorbanan buta tidak lagi terwariskan sebagai takdir perempuan.
Menolak Definisi Cinta
Humaerah tampaknya menolak definisi cinta yang ibunya percayai seumur hidupnya: cinta yang pasif, diam dan tunduk. Cinta yang harus dibayar dengan menghapuskan jati diri. Sebab, baginya, cinta sejati adalah kehendak untuk mengembangkan diri sendiri dan orang yang ia cintai. Atau, menggunakan terminologi Bell Hooks di salah satu bagian ‘All about Love’-nya. Cinta dan kekerasan tidak dapat hidup berdampingan (Love and abuse cannot coexist).
Kekerasan yang Hooks maksud bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Tindakan membungkam, meremehkan, dan menolak pertumbuhan pasangan. Hubungan yang Humaerah jalani, di mana ia terus-menerus terkekang dan tidak didengarkan hanya karena ia seorang perempuan dan istri, menurut Hooks bukanlah cinta.
Itu adalah hubungan timpang yang mengorbankan satu pihak demi kenyamanan pihak lain. Maka, meninggalkan hubungan seperti itu bukanlah kegagalan dalam mencintai. Melainkan keberanian untuk menolak sesuatu yang sejak awal memang bukan cinta. Ini adalah penegasan bahwa di dalam cinta harus ada keadilan. Sebab, seperti kata hooks, “tanpa keadilan, tidak akan ada cinta”.
Ketika sebuah ikatan, entah itu pernikahan atau tradisi, justru mematikan jiwa, maka itu bukanlah cinta, melainkan kontrol. Dalam bukunya, Humaerah memilih untuk tidak mewarisi sikap diam ibunya karena ia ingin menjadi “suara” yang dahulu tak sempat ibunya ucapkan. Ini, menurut saya, adalah bentuk self-love yang sangat radikal.
Karena seperti kata Doyle, seorang perempuan yang utuh dengan dirinya sendiri tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia akan membiarkan sisanya terbakar. Humaerah membiarkan warisan diam itu terbakar, agar anak perempuannya kelak tahu bahwa cinta tak seharusnya menyakitkan. []