Mubadalah.id – Ada satu kegelisahan yang akhir-akhir ini terus mengetuk-ngetuk pikiran. Kegelisahan dan kegamangan yang tumbuh dari percakapan kecil dengan para pendamping, potongan berita di layar ponsel, dan beberapa laporan kasus penanganan yang singgah sejenak di kepala.
Semuanya membentuk pola yang nyaris sama: betapa rentannya kekerasan seksual tertutupi oleh satu kata yang sering kali terdengar lebih sopan, lebih “netral”, lebih mudah diterima sosial yaitu asusila. Kata ini seketika mengubur asa untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan.
Kata asusila, seperti selimut tebal yang terlemparkan tergesa-gesa ke tubuh korban yang sedang gemetar penuh luka. Tujuannya bukan untuk menghangatkan, tetapi untuk menyembunyikan. Untuk menutupi sesuatu yang tidak ingin benar-benar terlihat. Ketimpangan kuasa, manipulasi halus, rayuan yang sebenarnya paksaan, modus ‘iseng-iseng berhadiah’ yang membuat persetujuan hanyalah ilusi yang rapi.
Di banyak kasus, narasi publik bergerak sangat cepat, dan nyaris otomatis sebagai template: “mereka suka sama suka”. “Itu urusan pribadi”. “itu mah bukan kekerasan, wong berkali-kali.”
Belum lagi suara nyaring yang mebuat ngilu ati: “Ya wajar, wong pakaiannya kayak gitu”. ‘Memang anaknya kalo bicara suka menye-menye menggoda”. Menyudutkan korban sebagai penyebab.
Tetapi ketika kasus terbuka lebih teliti dengan menghadirkan perspektif suara korban, menyimak keberanian korban untuk speak up, sangat mungkin kita akan menemukan fakta yang jauh dari “suka sama suka”. Ada dosen, guru, ustadz dan sebutan sejenisnya, dengan indeks kuasa yang luas di atas anak didiknya.
Ada atasan yang memegang akses pada kontrak kerja bawahannya. Lalu ada senior yang dihormati dan dielu-elukan dalam organisasi kampus yang memiliki karisma untuk menghegemoni yuniornya.
Jejak Kekerasan pada Label Asusila
Ada janji-janji manis yang terhembuskan pelan-pelan. Ada ancaman yang tidak pernah kita katakan dengan keras, atau ketergantungan struktural yang membuat “iya” menjadi pilihan paling aman.
Di titik ini, hubungan yang kita beri label asusila sebenarnya memuat jejak kekerasan. Paksaan emosional, bujukan manipulatif, rayuan yang memanfaatkan ketimpangan, dan manipulasi yang mengeksploitasi kerentanan, tiba-tiba jejaknya menghilang.
Tertimbun rapi oleh cara menamai dan memaknai peristiwa. Diksi yang tidak tepat dapat memindahkan pusat persoalan dari luka akibat kekerasan ke moralitas. Dari korban ke pelaku. Dari ketimpangan struktur menjadi gossip yang terkonsumsi publik.
Beberapa waktu lalu, seorang pendamping korban kekerasan dari komunitas penyedia layanan, berkirim pesan lengkap dengan perasaan lelahnya. “Dampingan saya harus cerita ke berapa orang lagi sih, Bu? Kasian dia….”
Pertemuan saya dengan seorang Kepala desa dalam sebuah acara, juga menegaskan pengalamannya menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa warganya. Selama hampir 1 tahun, ia mendampingi korban, seorang disabilitas mental. Dalam penanganannya, dia harus menemani korban menjalani pemeriksaan berlapis dan berkali-kali.
Perjuangan yang mengandung kelelahan, rasa malu yang tak tertahankan, dan trauma yang terus terseret keluar dari tempat persembunyiannya. Luka yang semestinya mengering perlahan, kembali perih saat harus terkorek berulang-ulang.
Yang sering tidak banyak orang pahami adalah: setiap kali korban diminta mengulang ceritanya, ia sebenarnya diminta untuk membuka kembali lukanya. Bukan seperti membuka buku harian, melainkan seperti membelah kulit yang baru saja mulai membentuk lapisan tipis penyembuhan.
Penanganan yang Berlapis
Proses penanganan yang berlapis: kampus, fakultas, lembaga etik, atau kepolisian, desa, tokoh masyarakat, bisa jadi tampak “rutin”, “administratif”, atau “prosedural”. Tapi bagi korban, setiap meja adalah ujian. Setiap berita acara adalah pengakuan ulang atas rasa sakit. Setiap pertanyaan adalah pengingat bahwa dunia tidak cukup percaya pada ceritanya.
Sistem penanganan lebih percaya pada kertas dan prosedur ketimbang air mata. Lebih percaya pada tanda tangan berita acara ketimbang pengalaman tubuhnya.
Keadilan seakan, hanya terorientasikan pada penghukuman pelaku, sementara suara korban, perlahan-lahan menyusut dari pusat perhatian, menjadi pinggiran dari proses panjang yang seharusnya terbangun untuk melindunginya. Bahkan dalam beberapa kasus, korban justru terseret menjadi pelaku.
Dan ironisnya, semakin banyak tangan yang menangani, semakin kabur pula siapa yang bertanggung jawab. Kerahasiaan seharusnya, menjadi pintu pertama pelindungan suara korban. Tetapi justru menjadi pintu yang tidak sepenuhnya tertutup, karena terlalu banyak orang yang mengetuk. Terlalu banyak telinga yang ingin mendengar versi lengkap. Terlalu banyak tangan yang merasa berhak memegang data, catatan, atau narasi kejadian.
Pada akhirnya, ia tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga korban kebocoran cerita. Korban pembicaraan, dan korban penilaian. Korban rasa ingin tahu yang terbungkus sebagai kepedulian.
Padahal, dalam penanganan kekerasan seksual, prinsip yang tidak boleh kita negosiasikan adalah
“korban tidak boleh kehilangan kendali atas cerita tentang dirinya, terutama jaminan atas kerahasiaan pengalaman ketubuhannya”.
Narasi ‘Asusila” Menutupi Luka Kekerasan
Melihat pola-pola ini, cara baru dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah keniscayaan. Cara yang tidak membiarkan narasi “asusila” menutupi luka kekerasan. Tidak memaksa korban membeberkan trauma berulang kali. Cara yang tidak membuka ruang bagi terlalu banyak “penanganan” tetapi minim pelindungan.
Pertama, Kasus-kasus pelecehan atau hubungan seksual di luar perkawinan penting untuk dibaca dalam kacamata kekerasan seksual juga, dengan tidak terburu-buru menilai moralitasnya. Tidak semua yang tampak “konsensual” benar-benar tanpa paksaan. Menelisik lebih dalam relasi kuasa, dinamika manipulasi, dan tekanan halus yang sering tak kasat mata.
Kedua, suara korban terdengar sekali, dengan penuh hormat, secara terbatas oleh pihak yang kompeten dan berperspektif. Bukan berulang kali dan berlapis-lapis hingga kisahnya luntur menjadi prosedur administratif.
Ketiga, Penanganan kita lakukan terintegrasi, dengan satu pintu professional. Agar tidak ada penyebaran cerita, tidak ada bocor dokumen, tidak ada stigma berlapis.
Keempat, Kerahasiaan terjaga ketat. Kerahasiaan bukan aksesoris hukum, confidentiality itu adalah napas aman bagi korban.
Dalam konteks satuan pendidikan keagamaan, sistem PPKS merujuk pada PMA 73 tahun 2022. Dalam lingkup PTKI, kepdirjen No 1143 tahun 2024 mengamanatkan cara penanganan satu pintu melalui satgas PPKS yang sebelumnya disebut Unit Layanan Terpadu (ULT) PPKS. PMA atau Kepdirjend PPKS bukan dokumen mati, dia haru hidup dan dihidupkan untuk melindungi korban.
Sebab tak ada keadilan yang tumbuh dari stigma. Tak ada pemulihan yang bisa hadir dari sistem yang memaksa korban membuka lukanya berkali-kali. Dan tak ada rasa aman yang bisa dibangun jika rahasia korban dianggap sekadar informasi prosedural.
Kita berhutang pada para penyintas. Hutang untuk percaya sejak awal, hutang untuk melindungi suaranya, hutang untuk merawat keberaniannya.
Kadang, keadilan kita mulai dari satu hal sederhana: membaca ulang cerita yang selama ini salah kita namai; Kekerasan Seksual yang balik nama menjadi Asusila. []











































