Mubadalah.id – KH. Afifudin Muhajir, ulama pakar ushul fiqh dari PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo adalah panutan ulama perempuan. Kiprahnya sangat kentara untuk memberi pengakuan yang jelas pada eksistensi dan keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan: agama, sosial, maupun politik. Pengalaman dan keilmuannya patut diapresiasi dan disebarkan untuk terus membuka jalan lempang bagi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Gerakan pemberdayaan perempuan berbasis Islam di Indonesia menemukan momentum historisnya pada perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Cirebon. Lebih dari 600 orang hadir dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia ini yang terdiri dari para pengasuh dan guru-guru pesantren, akademisi perguruan tinggi Islam, pemimpin majlis ta’lim, pemimpin komunitas, aktivis pemberdayaan perempuan, dan para peneliti. Para pengunjung pengamat dari enam belas negara benua-benua utama, seperti Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Amerika juga ikut hadir.
Salah satu yang didiskusikan dan ditawarkan Kongres ini adalah bahwa ulama perempuan adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan keagamaan dan yang lain, yang membawa mereka pada ketakwaan kepada Allah Swt dan pengabdian kepada kemanusiaan dan alam semesta.
Ulama perempuan adalah bukan ulama yang berjenis kelamin perempuan, tetapi mereka yang memiliki kepedulian pada kondisi perempuan dan tergerak melakukan upaya pemikiran dan gerakan untuk pemberdayaan perempuan. Mereka bisa berjenis kelamin perempuan dan juga bisa laki-laki.
Dalam Deklarasi Kebon Jambu yang dibacakan pada akhir acara oleh seluruh peserta Kongres, juga ditegaskan pengakuan pada kemanusiaan perempuan dengan segala akal budi dan jiwa raga, hadirnya keterlibatan ulama perempuan dalam pentas sejarah dan apresiasi atas keberadaan dan kiprah mereka, pentingnya membuka peluang bagi mereka dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Semua pengakuan dan keterlibatan para perempuan ini merupakan keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.
Dengan perspektif ini, saya bisa menegaskan bahwa KH. Afifudin Muhajir, ulama pakar ushul fiqh dari PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo sebagai panutan ulama perempuan. Kiprahnya sangat kentara untuk memberi pengakuan yang jelas dan tegas pada eksistensi dan keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan: agama, sosial, maupun politik.
Pada tahun 2018, misalnya, Kyai Afif sempat menggegerkan dunia ulama dan politik di tanah air, karena terjun langsung mendukung Khofifah Indarparawansa, seorang santri politisi perempuan, untuk menjadi Gubernur Jawa Timur. Dukungan seorang ulama, seperti Kyai Afif terhadap kandidasi perempuan tidak hanya memberikan kekuatan politik, tetapi lebih penting adalah dampak teologis dan kultural. Sesuatu yang masih sulit secara teologi, di berbagai daerah di Indonesia, apalagi di seluruh negara-negara Timur Tengah, untuk mengakui kepemimpinan politik perempuan.
Hal ini karena bagi kalangan konservatif, kepemimpinan perempuan selalu dihadang dengan menggunakan aspek agama, bahwa mereka tidak layak dan tidak boleh memimpin masyarakat yang notebene banyak laki-laki. Salah satu dasar pelarangan ini adalah teks hadits Bukhari yang menyatakan bahwa umat tidak akan bahagia jika dipimpin perempuan. Tentu, ditambah dengan seabrek argumentasi lain yang bersifat komplementatif.
Kyai Afif bukan tidak tahu dasar hadits sahih ini, tetapi sebagai seorang ushuli, beliau tahu persis bagaimana memaknainya dalam semangat maqashidi dan etika politik Islam, yang juga menjadi dasar pijakan berpikir para ulama perempuan di Kongres ini. Dalam hal ini, Kyai Afif sering menyitir pernyataan Abu al-Wafa Ibn ‘Uqail al-Hanbali (w. 513 H/1119 M) tentang politik kemaslahatan dalam Islam, yang juga sering dikutip KH. Husein Muhammad, Nyai Hj. Badriyah Fayyumi, dan tokoh-tokoh KUPI.
“Bahwa politik kebijakan yang Islami itu adalah yang bisa mendekatkan masyarakat pada kemaslahatan, dan menjauhkan mereka dari kemafsadatan. Sekalipun tidak disebutkan secara literal dalam wahyu Qur’an, maupuan teks Hadits Nabi Muhammad Saw”, demikian pernyataan Abu al-Wafa itu. Kepemimpinan perempuan, karena itu, adalah sah dan bahkan bisa lebih baik sepanjang ia lebih mampu membawa kemaslahatan dari kepemimpinan laki-laki.
Pola pikir ushuli Kyai Afif ini memberi jalan lempang bagi santri-santri Pesantren Situbondo yang diasuhnya untuk memahami dan menerima gagasan kemanusiaan dari berbagai peradaban dunia, tanpa harus kehilangan jati diri keislaman mereka. Pada konteks KUPI, dengan didikan pola pikir ushuli ini, kedua murid Kyai Afif, yaitu Imam Nakhei dan Pera Soparianti dipercaya duduk sebagai perumus fatwa keagamaan yang dikeluarkan secara resmi oleh KUPI tentang kekerasan seksual, pernikahan anak, dan perusakan lingkungan.
Dengan pola pikir ushuli ini, komitmen Kyai Afif pada nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan juga nyata jelas. Suatu komitmen yang sama yang digaungkan saat perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Hal ini terlihat jelas saat Kyai Afif diwawancara Detik soal radikalisme dan terorisme pada awal kerja Kabinet Jokowi yang kedua.
Kyai Afif meminta negara untuk tidak alergi dengan simbol-simbol agama di satu sisi, tetapi di sisi lain juga meminta umat Islam menerima dengan baik kebijakan negara, dengan alasan kemaslahatan yang jelas, dalam mengatur penggunaan simbol-simbol ini.
Dalam perspektif KUPI, ulama adalah pewaris Nabi Saw, baik ia laki-laki maupun perempuan, yang diperintahkan untuk melanjutkan misi-misi profetik, menyebarkan ilmu pengatahuan, membebaskan manusia dari sistem penghambaan selain Allah Swt, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, memanusiakan semua manusia, dan menyempurnakan akhlak mulia, demi mewujudkan visi kerahmatan semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Mempertimbangkan perspektif ini, dengan melihat sosok Kyai Afif sebagai ulama berpengetahuan yang tinggi, berkepribadian yang rendah hati, membesarkan hati, menemani, dan mendorong murid-muridnya untuk melakukan dakwah keislaman dan kerja kemanusiaan, tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa beliau adalah panutan bagi ulama-ulama perempuan.
Untuk itu, perspektif dan keilmuannya harus dipublikasikan dan dilestarikan, kiprahnya harus dicatat dan diajarkan, serta prestasinya harus diakui dan diapresiasi. Ini semua untuk membukakan jalan agar lebih lempang bagi kerja-kerja kemanusiaan dalam Islam, terutama gerakan pemberdayaan perempuan. Semoga. []