“Laki-laki harus mapan dulu sebelum menikah. Kalau kamu pengangguran anak-istri mau dikasih makan apa?”
Mubadalah.id – Saya mendengar ibu berbicara setengah ngegas di suatu pagi. Lebih tepatnya ibu sedang memberi nasihat kepada anak laki-lakinya.
Sebenarnya kakak tidak sedang meminta izin untuk menikahi kekasihnya, tetapi ibu sedang memberi wejengan untuk anak laki-lakinya agar lebih rajin bekerja dan fokus pada karirnya. Ibu selalu bilang kalau setiap hari kita itu semakin tua, bukan semakin muda, dan kakak harus sudah mempersiapkan segala hal.
Ibu selalu ingin anak laki-lakinya sudah mulai mempersiapkan diri untuk masa depan, salah satunya pernikahan. Kesiapan itu bukan hanya mental, tapi juga finansial. Apalagi kakak saya seorang laki-laki yang harus menafkahi anak istri dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dalam masyarakat, kita tahu betul ada tuntutan berbeda antara laki-laki dan perempuan ketika hendak menikah. Laki-laki dituntut mapan terlebih dahulu agar bisa menafkahi anak istri, dan perempuan dituntut mampu melakukan pekerjaan rumah tangga (memasak, mengurus anak, dan yang lainnya) agar dapat menjadi istri yang baik.
Contohnya di keluarga ibu saya, semua anak laki-lakinya dikuliahkan begitu pun dengan anak menantunya (yang laki-laki), tetapi anehnya tidak demikian bagi anak perempuannya sendiri. Anak laki-laki dan menantunya ini dijadikan PNS (beberapa masyarakat masih memandang PNS adalah pekerjaan paling ideal). Hal ini terjadi karena pemahaman bahwa perempuan tidak perlu kuliah apalagi bekerja, dengan mengurus rumah dianggap sudah cukup, dan laki-laki yang menafkahinya.
Pemahaman kuno seperti itu masih berlaku di sebagian masyarakat. Laki-laki didukung sepenuhnya untuk menjadi seseorang yang mapan dan memiliki karir yang bagus. Bahkan kalau bisa, ia pasti dilarang untuk menikah terlebih dahulu sebelum benar-benar siap secara finansial, karena tanggungjawabnya berat.
Tetapi, pernahkah mendengar orang tua yang memberi pesan seperti ini kepada putrinya? “Bereskan dulu kuliahmu, cari pekerjaan dulu, kamu perlu punya penghasilan sebelum menikah. Supaya ketika menikah nanti sudah siap secara finansial”
Mungkin ada orangtua yang memberi pesan seperti itu pada putrinya, tapi sayangnya jarang. Perempuan selalu saja dibekali keahlian mengurus rumah dan suami, tapi tidak dibekali kemampuan untuk menafkahi diri sendiri.
“Tidak perlu lah repot-repot perempuan mencari uang, toh bakal dicukupi suaminya” Hey… hey… tunggu dulu. Kenapa begitu percaya diri?
Percaya diri memang bagus, tetapi berlebihan itu tidak baik. Bagi saya, hanyalah utopis belaka jika kelak suami saya dapat memenuhi kebutuhan saya dan keluarga tanpa terkecuali. Lalu saya sebagai istri cukup duduk santuy nonton sinetron ikatan cinta dengan tuma’ninah.
Kendati demikian, memang tidak ada salahnya kita berkhayal seperti itu. Tapi jangan sampai perempuan dibiarkan memiliki harapan besar dan mimpi tinggi bisa menjadi istri konglomerat yang diperlakukan bak ratu kerajaan, kemudian dihempaskan begitu saja oleh realita.
Kita harus tetap berpikir waras. Lagi pula kenapa tidak perempuan memikirkan kesiapan finansialnya sebelum menikah? Tidak hanya laki-laki saja yang perlu siap secara finansial.
Perempuan juga perlu mampu menafkahi dirinya sendiri tanpa selalu bergantung kepada suaminya. Kenapa begitu? Karena bisa saja suaminya di kemudian hari terkena PHK. Apalagi pada saat kondisi yang tak terduga seperti pandemi ini, banyak pabrik dan perusahaan mengurangi jumlah pekerja seperti sekarang. Situasinya akan semaki sulit ketika perempuan dalam posisi tersebut sama sekali tidak memiliki kemampuan menafkahi dirinya sendiri.
Atau bagaimana nasib perempuan yang diceraikan suaminya dan tidak bisa menafkahi dirinya karena dia terlanjur selalu bergantung pada mantan suaminya? Ada banyak situasi yang bisa terjadi di luar kontrol kita. Dan mau tidak mau kita harus selalu siap dengan hal itu.
Jadi, perempun juga perlu siap secara finansial ketika hendak menikah. Minimal perempuan itu dapat memenuhi kebutuhannya sendiri di samping kebutuhan pokoknya yang ditanggung oleh suami. Lagi pula ketika menapaki bahtera rumah tangga, ada kebutuhan seabrek yang bakal menyambut setiap bulannya. Token listrik yang habis, bayar sewa kontrakan, kompor gas yang sudah tidak mengeluarkan api, anak yang minta susu, atau anak yang minta jajan kinder joy, kita juga yang ingin pakai skin care, dan masih ada banyak hal lainnya.
Dalam pikiran kita semua itu bakal dipenuhi oleh suami nanti, sedangkan dalam kenyataannya belum tentu kan? Atau belum tentu rizki suami kita mulus terus kaya jalan tol.
Maka dari itu, perlu sekali perempuan dan laki-laki sebelum menikah harus siap mental dan finansial, agar bisa menjalin relasi yang menerapkan kesalingan. Tidak hanya suami yang bisa membantu istrinya dalam pekerjaan domestik seperti yang diharapkan para perempuan, tetapi perempuan juga bisa membantu suaminya dalam urusan finansial.
Bagiku menjadi perempuan mandiri dengan tidak selalu bergantung pada laki-laki adalah salah satu pencapaian sebagai manusia utuh dan berdaya. Dan aku, ingin benar-benar siap finansial sebelum akhirnya memutuskan menikah. []