Mubadalah.id – Ketika ngabsen story di ig, saya tidak sengaja nemu tulisan ini di story instagramnya @fahrezi_inst: “kalo pake teknik Gus Baha yang namanya cangkem elek tuh gini: katanya manusia kok dari monyet, tapi kok monyet masih ada. Katanya manusia dari tanah, kok tanah masih ada? Dih sodaraan sama monyet, dih sodaraan sama genteng.”
Saya di sini tidak ingin masuk dalam perdebatan soal itu. Hanya saja pernyataan itu membuat saya sadar, kalau manusia diciptakan dengan tanah seharusnya kita bersaudara dengan bumi. Sehingga kita sepatutnya menjaga dan merawat saudara kita, yaitu bumi ini.
Logika soal penciptaan manusia dari tanah ini, saya jadikan sebagai jalan untuk masuk pada pentingnya manusia merawat tanah (bumi). Jadi satu fakta teologis soal penciptaan manusia ini dari tanah. Saya berani menyatakan fakta, karena langsung pernyataan Al-Qur’an, kitab suci saya.
Bahkan Al-Qur’an menyebutnya tidak hanya sekali. Manusia tercipta dari tanah diulang di beberapa ayat. Di sini saya pribadi mengambil kesan, bahwa seoalah Allah ingin manusia tidak melupakan asal-usulnya. Allah berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 12)
Ada mufassir terkait ayat ini menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia:
قوله تعالى: {وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ} (١٢)؛أي خلقنا آدم من سلالة سلّت من طين، والسّلالة: ما سلّ من الشيء؛ أي نزع واستخرج منه، يقال للنّطفة: سلالة، والولد سليل وسلالة. قال مجاهد: (السّلالة منيّ بني آدم) (٤)،وقال عكرمة: (هو الماء سلّ من الظّهر سلاّ)،والمراد بالانسان ولد آدم، وهو اسم جنس يقع على الجميع. والمعنى: خلقنا ابن آدم من سلالة من طين؛ أي من صفوة ماء آدم الذي هو من طين (٥)
“…..Maksudnya, Kami menciptakan Adam dari sulālah (sari pati) yang diambil dari tanah. Kata sulālah berarti sesuatu yang ditarik, dicabut, atau diekstraksi dari sesuatu yang lain. Dari makna inilah sperma (nuṭfah) disebut sulālah, dan anak disebut salīl atau sulālah. Mujāhid berkata: “Yang dimaksud dengan sulālah adalah mani anak-anak Adam.” Sedangkan ‘Ikrimah berkata: “Ia adalah air yang ditarik (dieksktraksi) dari tulang punggung.” Yang dimaksud dengan al-insān dalam ayat ini adalah anak keturunan Adam, dan kata tersebut merupakan isim jins (kata jenis) yang mencakup seluruh manusia. Maknanya: Kami menciptakan anak Adam dari sulālah yang berasal dari tanah, yaitu dari inti sari air Adam yang asal penciptaannya adalah dari tanah.” Aḥmad bin Muḥammad al-Ḥaddād, Tafsīr al-Ḥaddād, tafsir Surah al-Mu’minūn, h. 364 (al-Maktabah al-Shāmilah).
Relasi Manusia dan Bumi
Dari pemahaman ini gagasan saya semakin mantap, bahwa relasi manusia dengan bumi bersifat ontologis. Karena tubuh manusia hasil “pemurnian” dari unsur tanah, maka bumi adalah bagian dari kita (manusia). Jadi mulai sekarang sadarilah, tanah atau lingkungan yang kita pijak ini bukanlah sesuatu yang asing hingga kita seenaknya mengabaikannya.
Selama ini kita memahami tanah sebagai sumber daya yang bisa kita tanami, kita gali, kita bangun, hingga tereksploitasi. Semua pandangan ini, seolah bumi hanya sebatas alat pemuas kepentingan manusia. Kita lupa, bahwa tanah ini adalah saudara kita. Mungkin kedengarannya lucu, tapi ini juga jalan bagi kita untuk membangun kesadaran.
Allah berfirman:“Dari bumi (tanah) itulah Kami menciptakan kamu, kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Ṭāhā [20]: 55).
Kalau saya ambil logika dari ayat ini, maka merusak bumi (halus maupun kasar) sama artinya dengan merusak asal-usul dan masa depan diri kita. Ayat ini membentuk satu siklus eksistensial: dari tanah, hidup di atas tanah, terus kembali ke tanah. Kalau kita teruskan logikanya, menjadi: tidak bisa seseorang merawat diri sendiri dengan menghancurkan asal kehidupannya.
Keterikatan terhadap Bumi
Dan hikmah yang bisa kita ambil dari penciptaan manusia dari tanah ini salah satunya adalah agar manusia memiliki rasa keterikatan terhadap bumi. Dari sini seharusnya lahir kesadaran yang bernama “tanggung jawab”. Meskipun (mungkin) banyak yang membantah logika ini karena sama sekali tidak tersebut dalam Al-Qur’an, tapi ini (sekali lagi) setidaknya bisa membangun kesadaran.
Kesadaran ini selaras dengan mandat kekhalifahan. Dalam Alquran:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” (QS. al-Baqarah [2]: 30). Khalifah di sini jangan pahami dengan logikanya Gus yang itu ya, yang katanya bebas berbuat apa saja terhadap lingkungan.
Bagi saya, merawat bumi bukan pilihan moral tambahan, tetapi konsekuensi langsung dari status kita sebagai manusia itu sendiri. Ketika manusia lupa bahwa diri dia berasal dari tanah, ia akan memperlakukan bumi secara serampangan.
Jadi seandainya Allah ciptakan manusia bukan dari tanah, mungkin kita merasa asing. Wong diciptakan dengan tanah saja masih banyak yang tidak “kenal” dengan bumi. Padahal (menurut Alquran) kita berasal dari tanah, hidup di atas tanah kita, dan ke tanah juga kita akan kembali. Lagi-lagi, kesadaran ini seharusnya melahirkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab, dan sikap merawat, karena kita dengan tanah “bersaudara.” []











































