Mubadalah.id – Dalam memaknai Hadis perempuan adalah aurat maka seharusnya kita memahami teks Hadis tersebut secara mubadalah dengan menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subjek setara di hadapan makna yang dimunculkan.
Jika merujuk pada QS. al-Ahzab (33): 13, misalnya, aurat adalah sesuatu yang mudah diserang musuh suatu kaum atau bangsa dan dijadikan alat untuk menghancurkan keseluruhan kaum atau bangsa tersebut.
Dengan makna ini, agar tidak lagi menjadi aurat, sesuatu harus diperkuat, dilindungi, atau bahkan diubah menjadi alat pertahanan yang meningkatkan harga diri dan wibawa suatu kaum dan alat perlawanan untuk musuh-musuh mereka.
Rumah dan keluarga yang berada di daerah pinggir perbatasan suatu kaum, pada masyarakat yang masih menggunakan sistem kabilah, ketika sedang terjadi perang, perempuan adalah aurat.
Yaitu sesuatu yang mudah terancam untuk dikuasai musuh, dihancurkan, atau digunakan sebagai jalan untuk menghancurkan seluruh kaum. Rumah yang menjadi aurat diperlukan perlindungan dan penguatan.
Tetapi ketika rumah dan keluarga tersebut menjadi kuat atau terlindungi secara baik, atau taktik perang sudah tidak lagi menyerang perbatasan. Tetapi langsung ke jantung kota-kota utama.
Dengan begitu, rumah dan keluarga di pinggiran perbatasan tidak lagi mereka anggap sebagai aurat. Sebaliknya, rumah yang tidak terlindungi berada di tengah kota bisa berubah menjadi aurat. Atau sasaran empuk pelemahan dan penghancuran oleh pihak musuh.
Makna Aurat
Perempuan, dalam teks Hadis Tirmidzi di atas, ia anggap sebagai aurat, sebaiknya harus kita pahami dalam konteks makna ayat di atas, bukan sekadar aurat badaniah. Melainkan lebih utuh secara sosial.
Sehingga perempuan, mereka anggap sebagai aurat ketika mereka lemah, bodoh, mudah mereka perdaya, mudah menjadi alat oleh individu. Atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum.
Namun, ketika mereka menjadi kuat, pintar, mandiri, bijak, dan paham situasi. Sehingga tidak lagi mudah mereka perdayakan, mereka bukan lagi aurat.
Sebaliknya, laki-laki yang lemah, bodoh, mudah mereka perdaya, dan mudah menjadi alat oleh individu-individu. Atau bahkan pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum, adalah aurat.
Seperti anak-anak yang lemah atau laki-laki yang sudah uzur, dalam konteks situasi perang, sering mereka anggap sebagai aurat.
Atau laki-laki kuat sekalipun, tetapi akal dan hatinya lemah, yang mudah orang-orang berdayakan dan menjadi alat adalah aurat yang harus kita lindungi, berdayakan, dan perkuat.
Ketika perempuan lemah dan mereka anggap sebagai aurat yang perlu penguatan, maka laki-laki lemah adalah aurat yang perlu pemberdayaan.
Tidak semua laki-laki kuat dan mampu melindungi, sebagaimana tidak semua perempuan itu lemah dan perlu perlindungan.
Siapa pun bisa menjadi aurat dan perlu perlindungan, laki-laki maupun perempuan. Siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, dengan kapasitasnya masing-masing bisa menjadi pelindung, penguat, dan penolong mereka yang lemah. []