Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan KUPI, maka kerangka maqashid asy-syari’ah ini dapat dipahami secara integral, di mana satu kasus dikaitkan dengan semua kandungan dari al-kulliyat al-khams (prinsip-prinsip yang lima).
Hal yang sama juga dengan pernikahan di usia anak, di mana ia secara fisik dan psikis belum cukup matang untuk membangun sebuah keluarga. Pernikahan mereka yang masih berusia kanak-kanak. Sebagaimana merujuk berbagai data, besar kemungkinan akan sulit berkomunikasi secara baik dan susah mengelola konflik pasutri.
Jika perempuan usia anak hamil, ia akan berisiko tinggi pada kesehatan dan kematian. Jika anak-anak melahirkan anak, tentu sulit untuk mampu menjadi orang tua yang arif dalam mengurus dan mendidik anak.
Segala kondisi ini, dalam logika fatwa KUPI, bertentangan dengan prinsip hifzh an-nasl. Karena itu, fatwa KUPI mewajibkan semua pihak. Terutama orangtua dan negara, untuk melindungi mereka yang masih berusia anak agar tidak menikah atau dinikahkan.
Prinsip-prinsip lain dalam al-kulliyat al-khams, yaitu perlindungan jiwa, agama, akal, dan harta, sebagaimana pada kasus kekerasan seksual. Juga diaplikasikan KUPI dalam menganalisis dalil untuk memutuskan hukum mengenai pernikahan anak.
Begitu pun fatwa mengenai kerusakan alam, hal ini bisa kita baca secara saksama. Jadi, kelima prinsip (al-kulliyat al-khams) dalam maqashid asy-syari’ah kita gunakan secara integral oleh KUPI dalam merumuskan fatwa-fatwa yang KUPI keluarkan.
Ulama Kontemporer
KUPI, sebagaimana para ulama kontemporer yang lain, memandang bahwa pembahasan ajaran dan hukum Islam dengan kerangka tujuan-tujuan syari’ah (maqashid asy-syari’ah) adalah pemikiran yang autentik dari tradisi Islam.
Karena itu, ia paling relevan bagi umat Islam dalam menjawab berbagai problem peradaban kontemporer, baik yang menyangkut internal kalangan umat Islam maupun eksternal dengan berbagai kalangan umat manusia.
Saat ini, dunia Islam sedang menghadapi aksi-aksi kekerasan dan terorisme dengan argumentasi agama, padahal dalam kerangka maqashid asy-syari’ah, basis hukum Islam justru adalah perlindungan dan keselamatan kehidupan manusia.
Belum lagi, aspek sumber daya umat Islam, di hampir seluruh dunia Islam mengalami problem yang cukup serius. Mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, pendapatan ekonomi, pemberdayaan perempuan, standar hidup, pengelolaan pemerintah yang otoriter dan korupsi.
Problem-problem sosial ini, jika ingin kita selesaikan dengan paradigma internal umat, sebagaimana Jasser Auda tawarkan, adalah dengan kerangka maqashid asy-syari’ah.
Tentu saja, Auda mengusulkan rekonstruksi paradigmatik terlebih dahulu terhadap kerangka maqashid asy-syari’ah ini.
Hal ini agar narasi keagamaan yang keluar tidak lagi bercorak reduksionis tapi holistik, tidak hitam-putih tapi berperspektif multi-aspek. Juga tidak literal tapi bermuatan moral, tidak dekonstruksionis tapi rekonstruksionis, dan tidak kausal tapi teleologis. []