• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Memahami Konteks Mengambilkan Nasi dalam Perspektif Kesalingan

Perspektif kesalingan bukanlah rumus matematika yang kaku, melainkan sebuah filosofi hidup.

Nadhira Yahya Nadhira Yahya
13/02/2025
in Keluarga
0
Perspektif Kesalingan

Perspektif Kesalingan

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebuah tindakan sederhana, sepiring nasi dihidangkan istri kepada suami, kini memicu perdebatan yang tak berujung. Apakah ini simbol perbudakan modern, ataukah ungkapan kasih sayang yang tulus? Yang satu bilang “babu”, yang lain bilangnya “romantis”. Duh, bingung wkwk.

Mari kita tarik napas dalam-dalam..

Sebenarnya, pertanyaan ini menguak inti dan prinsip dasar dari sebuah hubungan pernikahan, yaitu tentang perspektif kesalingan. Bukan sekadar pembagian tugas, melainkan hubungan harmonis antara dua jiwa yang saling menghargai dan mendukung.

Perlu dipahami bahwa perspektif kesalingan bukanlah rumus matematika yang kaku, melainkan sebuah filosofi hidup. Ini bukan soal siapa yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah, melainkan tentang kepekaan dan keinginan untuk meringankan beban pasangan.

Mengambil nasi untuk suami, jika kita lakukan dengan ikhlas, bisa menjadi bahasa cinta yang lembut. Namun, jika kita paksa, Ia berubah menjadi beban yang berat. Barulah menjadi persoalan,

Kunci utamanya sebenarnya sangat sederhana, terletak pada “kerelaan”, pada kesadaran bahwa kedua belah pihak sama-sama berkontribusi dalam membangun rumah tangga, meski dengan cara yang berbeda.

Baca Juga:

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Suami yang bertanggung jawab tidak hanya secara finansial, tetapi juga secara emosional dan dalam berbagi tugas rumah tangga, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari prinsip kesalingan ini.

Bayangan “babu” dan “tuan” seringkali menghantui interpretasi tindakan sederhana seperti mengambilkan nasi. Namun, dalam rumah tangga yang sehat, seharusnya sudah tidak ada lagi tempat untuk hierarki tersebut.

Karena pasangan sudah sama-sama memahami bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri, sehingga saling membantu bukanlah tanda kelemahan, melainkan ungkapan cinta dan kepedulian.

Jika seorang istri merasa bahagia melakukannya, dan suami menghargai gestur tersebut, maka tindakan itu menjadi bagian dari keharmonisan rumah tangga. Sebaliknya, jika kita lakukan dengan rasa terpaksa atau kita anggap sebagai eksploitasi, maka ia akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan.

Peran Gender Tradisional

Dewasa ini, sepertinya terdapat garis kabur antara peran gender tradisional dan cita-cita feminisme modern. Sekat batasnya juga semakin tidak jelas. Oleh karena itu, isu dan pembahasannya jadi lari kemana-mana.

Sebagai perempuan, sebenarnya saya memahami keresahan ini. Namun, sepertinya tidak semua hal harus kita ributkan. Masak iya semuanya mau dibilang patriarki. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

Bayangin, seorang istri masak buat suami. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai tindakan yang memperkuat anggapan kalau perempuan cuma cocok di dapur. Tapi, di sisi lain, bisa juga itu bentuk kasih sayang dan perhatian, kok.

Tergantung niatnya. Kalau dia masak karena senang, ya tidak masalah. Tapi, kalau dia terpaksa karena merasa itu kewajibannya, baru deh jadi masalah.

Intinya, bukan tindakannya yang salah, tapi konteksnya. Apakah ada keseimbangan dalam hubungan? Apakah suami juga ikut berkontribusi di rumah? Kalau iya, maka tindakan istri tersebut bisa jadi ungkapan kasih sayang. Tapi, kalau cuma istri yang kerja keras sendirian, ya jelas itu nggak adil. Keywordnya: ada feedback, ada teamwork. Beres!

Jadi, jangan asal cap patriarki. Lebih baik cari tahu dulu konteksnya. Jangan sampai, karena ingin memperjuangkan kesetaraan, kita malah menciptakan ketidakadilan baru. Mendatangkan masalah-masalah baru.

Bagaimana jika nantinya para istri jadi mogok masak dan tidak mau melayani suami gara-gara dengar persoalan ini? Kan repot juga. Padahal, sebelumnya mereka harmonis-harmonis saja.

kepuasan pernikahan

Studi tentang kepuasan pernikahan (marital satisfaction) dan peran gender dalam pekerjaan rumah tangga (gender roles in household chores) telah mengungkap fakta menarik: perspektif kesalingan berperan besar dalam menciptakan rumah tangga yang bahagia.

Buku Gender and Families karya Scott Coltrane dan Michele Adams mengungkap hal ini dengan kutipan yang sangat relevan:

“Peran gender dalam keluarga tidak hanya mempengaruhi bagaimana kita melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi juga mempengaruhi bagaimana kita membangun hubungan dengan anggota keluarga lainnya. Ketika kita memahami bahwa peran gender bukanlah sesuatu yang alami atau tetap, kita dapat mulai membangun keluarga yang lebih adil dan lebih seimbang.”

Sementara itu, ajaran Islam juga menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam rumah tangga. Al-Quran dan Hadits mengajarkan nilai saling menghormati dan menyayangi antara suami istri, di mana saling membantu merupakan bagian integral dari kehidupan berumah tangga. Salah satunya pada QS. Ar-Rum ayat 21, yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Konsep Kesetaraan

Agaknya, kita harus selalu diingatkan tentang konsep kesetaraan. Ketidaksetaraan muncul bukan karena perbedaan peran, melainkan karena ketidakseimbangan dalam tanggung jawab dan penghargaan.

Jika seorang istri merasa terbebani dengan pekerjaan rumah tangga yang berlebihan, sementara suami acuh tak acuh dan tidak memberi dukungan, maka itu bentuk ketidakadilan.

Begitu pula sebaliknya, jika seorang suami merasa terbebani secara finansial tanpa mendapatkan dukungan emosional dan perhatian dari istri, maka itu juga merupakan bentuk ketidaksetaraan.

Oleh karena itu, kesetaraan dalam rumah tangga bukan tentang keseragaman peran, melainkan tentang kesetaraan nilai, kesetaraan dalam penghargaan, dan kesetaraan dalam pembagian tanggung jawab.

Pada akhirnya, tindakan istri mengangkat sesendok nasi untuk suami bukanlah ukuran kebahagiaan rumah tangga. Yang penting adalah adanya perspektif kesalingan dan keseimbangan yang berasal dari cinta dan kepedulian yang tulus.

Komunikasi yang terbuka dan saling mengerti menjadi kunci untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan bermakna.

Bukan tentang siapa yang lebih banyak berkorban, melainkan tentang bagaimana kedua belah pihak saling memberi dan menerima dengan ikhlas. []

Tags: istrikeluargakomunikasiperspektif kesalinganRelasisuami
Nadhira Yahya

Nadhira Yahya

Terkait Posts

Najwa Shihab dan Ibrahim

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

26 Mei 2025
Program KB

KB: Ikhtiar Manusia, Tawakal kepada Allah

23 Mei 2025
Alat KB

Dalil Agama Soal Kebolehan Alat KB

22 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID