Mubadalah.id – Setiap bulan Desember, kita semua memperingati Hari Disabilitas Internasional. Namun, peringatan ini sering berlalu begitu saja. Padahal, momentum ini seharusnya menjadi pengingat bahwa penyandang disabilitas adalah bagian utuh dari masyarakat yang hingga kini masih dipinggirkan, diremehkan, kutukan bahkan dianggap beban.
Bahkan, hingga saat ini, penyandang disabilitas belum sepenuhnya diperlakukan setara. Akses pendidikan dan kesempatan kerja masih terbatas, hingga fasilitas publik yang sering kali tidak ramah disabilitas.
Lebih dari itu, stigma sosial terhadap mereka juga begitu besar. Tidak sedikit yang memandang disabilitas sebagai kekurangan, ketidakmampuan, bahkan aib yang harus disembunyikan. Oleh karena itu, pandangan seperti inilah yang harus diluruskan.
Disabilitas bukanlah kutukan. Ia bukan kesalahan, bukan pula orang cacat. Disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia yang menuntut tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif.
Meluruskan Makna Disabilitas
Istilah “disabilitas” masih sering dipahami secara keliru. Banyak orang menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang tidak mampu, tidak produktif, dan selalu membutuhkan belas kasihan.
Padahal, persoalannya bukan terletak pada tubuh atau kondisi mereka. Melainkan pada sistem sosial yang gagal menyediakan akses dan kesempatan yang setara.
Disabilitas seharusnya menjadi renungan bagi kita bahwa sejauh mana kita mau peduli, mau menyesuaikan diri, dan mau berbagi ruang secara adil.
Ketika fasilitas publik tidak menyediakan bahasa isyarat, ketika tempat ibadah tidak ramah kursi roda, ketika sekolah dan kantor menutup pintu dengan alasan tidak siap. Maka yang bermasalah bukan penyandang disabilitas melainkan kita semua.
Bukan mereka yang tidak mampu, tetapi sistem yang tidak memberi kepercayaan dan dukungan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai lebih dari 17,8 juta jiwa. Angka ini bukan angka kecil. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar sepertiga dari mereka belum menamatkan pendidikan dasar. Partisipasi kerja penyandang disabilitas pun hanya berada di angka 23,94 persen.
Data ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara. Sebab, rendahnya pendidikan dan partisipasi kerja bukanlah bukti ketidakmampuan, melainkan hasil dari ketidakadilan struktural yang berlangsung lama.
Kesempatan yang sempit, diskriminasi di dunia kerja, serta minimnya kebijakan afirmatif membuat penyandang disabilitas terus tertinggal secara sosial dan ekonomi.
Jika negara terus membiarkan kondisi ini, maka yang terjadi bukan sekadar ketimpangan. Tetapi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyandang Disabilitas adalah Manusia
Dari sudut pandang keagamaan, penyandang disabilitas adalah makhluk Tuhan yang memiliki martabat yang sama dengan manusia lainnya. Tidak ada satu ajaran agama pun yang mengukur kemuliaan manusia dari kesempurnaan fisik.
Dalam artikel Fahmina berjudul “Memuliakan yang Terlupakan: Perspektif Keagamaan tentang Disabilitas”, Ketua Yayasan Fahmina, Kiai Marzuki Rais, menegaskan bahwa penyandang disabilitas kerap dilabeli tidak normal atau bahkan kutukan. Padahal, Islam memandang kemuliaan manusia dari ketakwaannya, bukan dari kondisi tubuhnya.
“Sebagai manusia, kita harus memiliki pandangan bahwa mereka adalah makhluk Tuhan dan harus kita muliakan sebagaimana manusia lainnya,” tegas Kiai Marzuki Rais.
Sayangnya, dalam praktik sosial, nilai-nilai ini sering kalah oleh stigma. Banyak penyandang disabilitas dipaksa menerima ejekan, pengucilan, dan perlakuan tidak adil seolah itu adalah takdir yang harus mereka tanggung dengan sabar. Kesabaran memang penting, tetapi ketidakadilan tidak boleh dinormalisasi.
Yang dibutuhkan bukan hanya ketabahan dari penyandang disabilitas, melainkan perubahan sikap dari masyarakat dan keberpihakan nyata dari negara.
Pengakuan Hak Disabilitas
Sudah saatnya kita berhenti memandang penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan. Mereka bukan sekadar penerima bantuan. Melainkan warga negara dengan hak penuh, hak atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan, ruang publik, dan kehidupan yang bermartabat.
Banyak penyandang disabilitas memiliki bakat, kecerdasan, dan potensi besar. Namun potensi itu sering terhenti bukan karena keterbatasannya, melainkan karena pintu-pintu kesempatan banyak tertutup rapat. Ejekan, diskriminasi, kutukan dan sistem yang tidak inklusif perlahan merusak kepercayaan diri dan kesehatan mental mereka.
Maka dari itu, di bulan peringatan Disabilitas seharusnya tidak berhenti pada unggahan media sosial. Ia harus menjadi momentum refleksi dan aksi bersama. Bahwa menghargai penyandang disabilitas berarti menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat setiap insan.
Disabilitas bukan aib. Ia adalah anugerah Tuhan yang hadir dalam berbagai bentuk. Yang perlu kita ubah bukan tubuh mereka, melainkan cara pandang kita. []




















































