Mubadalah.id – Aku melihatnya lagi di tempat yang sama, seorang perempuan seusia adikku, lebih mudah tiga tahun dariku. Dia duduk sambil memegang pensil dan sebuah buku. Menatap lepas ke arah lapangan, sesekali Dia tersenyum ketika melihat bola masuk gawang, sesekali mengerutkan dahi ketika bola keluar dari lapangan.
Sore hari memang jadwalku main sepak bola bersama teman teman, apalagi weekend. Selalu kuhabiskan waktu sore untuk bersenang – senang dengan mereka. Lapangan ini cukup membuat kami bahagia. Bagaimana tidak, pemandangan sekeliling selalu menawarkan senyuman. Banyak keluarga yang membawa anak anak mereka dan bermain di pinggir lapangan.
Ada banyak pasangan kekasih yang sekedar ngeteh atau menyantap mie ayam di warung warung tenda sepanjang pinggir lapangan. Ada juga anak remaja yang jogging beserta rekan-rekannya kemudian mereka mencari spot bagus untuk berfoto. Semuanya menawarkan kebahagiaan.
Entah kenapa setiap ada dia, aku ingin tampak keren dalam menggiring bola juga terlalu semangat untuk mencetak gol. Pernah suatu hari aku merasa setiap gerakanku tak lepas dari tatapannya, aku sempat ke-GR-an. “Ah, itu hanya perasaan saja,” bisik hatiku mencoba menebak realitas yang sebenarnya juga belum jelas.
Setelah permainan pertama berlalu, tiba-tiba aku melihat ada kesenduan pada kedua matanya yang sebenarnya cukup lebar. Hingga permainanku berantakan, bola yang kugiring selalu lepas. Aku lebih konsen dengan raut wajahnya yang tak lagi ceria. Oh tidak, apa yang baru saja aku lihat, dia mengusap sesuatu di pipinya. Apa dia sedang menangis?
Aku ingin menghentikan permainan ini. Ingin mendekatinya dan menanyakan apakah dia baik-baik saja. Tapi tentu itu tidak mungkin, aku tidak mengenalnya, lantas apa alasanku ingin tahu keadaannya. Ada anak kecil yang bermain di sampingnya melempar bola kearah ibunya, namun sayang bola anak kecil itu menggelinding masuk lapangan.
Dia berdiri dan berjalan menuju lapangan untuk membantu anak kecil itu mengambilkan bola. Tiba-tiba Edo menendang bola terlalu kencang ke arah dia yang sedang membungkuk. Spontan aku berlari kearahnya dan menangkap bola dengan kedua tanganku, tepat sebelum bola ini terbang mengenai kepalanya.
Dia terkejut, membelalakkan matanya yang semakin terlihat lebar. Menatapku beberapa saat, “kamu baik-baik saja?” tanyaku. Dia tersenyum, oh tidak senyumannya begitu menakjubkan. “Aku baik baik saja,” jawabnya.
Kulempar kembali bola ke teman teman dan meminta izin mereka untuk keluar dari permainan. Edo mengacungkan jempol, mempersilahkanku keluar lapangan dan mereka melanjutkan permainannya.
Kulihat dia memberikan bola kepada anak kecil itu, kemudian kembali duduk di tempat yang sama. Aku mendekatinya, “boleh duduk di situ?” tanyaku sambil menunjuk tempat kosong di sebelahnya. Dia menganggukkan kepala.
“Benar tadi kamu tidak apa-apa?” tanyaku lagi.
Sebenarnya aku tahu dia tidak apa-apa, karena tidak terkena bola sama sekali, tapi pertanyaan itu bukan untuk kejadian tadi, namun untuk perasaannya, untuk hatinya yang sepertinya dia sedang tidak baik baik saja.
Kembali dia tersenyum, kembali aku terkagum dan hati mulai terusik dengan alunan detakan yang semakin kencang. —-
“Kenapa berhenti bermain?”
“Hehe… sedikit tidak konsen sore ini. Jadi percuma, permainanku bakal jelek.”
“Menurutku, permainanmu cukup bagus kok,” katanya yang membuatku tersipu. Hey, kenapa aku harus tersipu?
Kemudian kami saling diam, sejenak menikmati permainan teman-temanku. Aku ingin mengajaknya berbicara lagi, tapi bingung mau ngomong apa. —-
“Aku juga ingin bermain di lapangan itu,” lanjutnya. Aku mengangkat alis, “tapi aku tidak bisa lari secepat kamu dan tidak tahu caranya menggiring bola seperti temanmu itu.” Dia menunjuk Edo yang lincah dalam permainan. Aku masih terdiam.
“Pasti sulit menyatukan sebelas kepala dalam mencapai satu tujuan. Mengetahui posisinya di mana? memberi kode sekedar picingan mata atau gerakan tangan, tapi dimengerti oleh semua anggota tim. Paling penting adalah saling percaya satu sama lain bahwa yang dilakukan masing masing adalah untuk mewujudkan kebahagiaan, berupa gol. Kok bisa ya, dua kepala saja susah disatukan, tapi ini sebelas kepala, bahkan bisa lebih kalau menghitung pemain cadangan. Keren ya?” katanya sambil menoleh dan melempar pandangannya kepadaku. Sejenak aku kembali menikmati matanya yang lebar, lesung pipi kanannya yang menakjubkan dan sedikit senyum di bibirnya yang mengagumkan. Aku tersenyum.
“Sebenarnya biasa aja sih, sama dengan permainan olah raga lainnya. Sebelum turun ke lapangan, pemain akan berlatih keras, mereka juga menyusun strategi.”
“Oh ya? Kalian juga? Bukankah ini hanya pertandingan antar teman, bukan club?”
“Iya, kadang kami nongkrong bareng dan membicarakan permaianan kami, sesekali membicarakan permainan idola kami dan strategi dari club kesayangan kami.” Dia mengangguk anggukan kepala.
“Benar juga, sebelum bertarung kita memerlukan rencana yang matang, strategi yang bagus dan kembali untuk saling percaya satu sama lain.”
Aku heran, sepertinya dia sedang tidak membicarakan permainan sepak bola, tapi hal lain. Dari gerakan jarinya yang tidak mau diam memutar mutarkan pensilnya, dan tatapannya yang kosong, juga masih dengan kesenduan matanya yang menyimpan sesuatu, aku beranikan diri bertanya kepadanya.
“Ada apa?” tanyaku. Dia melirik tiga detik kemudian kembali menatap lapangan. Kulirik juga tangannya yang berhenti menggerakkan pensilnya. ——
“Menjadi dewasa bagiku sangat mengerikan.”
Dewasa? Apa yang sedang dia katakan.
“Orang dewasa bisa berbohong seenaknya, pintar menyembunyikan sesuatu yang rumit, egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri.”
Apa yang sedang dia bicarakan. Aku semakin penasaran tentangnya. Aku masih diam menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkannya.
“Apa kelak ketika aku dewasa, juga akan bersikap seperti itu?”
Aku menarik nafas dan melepaskannya, dia menoleh dan kembali mengatakan.
“Maaf, aku banyak bicara.”
Aku menggeleng, “Oh nggak, nggak apa apa.. aku senang kamu mau berbagi denganku.” Senyumnya kali ini seperti tertahan.
“Seandainya orang tuamu berpisah, kamu akan memilih tinggal bersama siapa? Ayahmu atau ibumu?”
Dia membicarakan tentang orang tua, kenapa dengan orang tuanya? Apakah mereka akan berpisah dan dia menjadi galau seperti ini.
“Ehm… aku tidak bisa menjawabnya,” kataku.
“Tuh kan. Bahkan kamu yang lebih tua dariku saja sulit menjawab, iya kan?”
“Ehmm.. sebenarnya ayahku sudah lama meninggal. Jadi aku hanya tinggal bersama ibu.”
Dia terbelalak, “maaf,” katanya lirih. Segera aku menggelengkan kepala dan mengatakan tak perlu minta maaf.
“Apa orang tuamu akan berpisah?” tanyaku, dia terdiam sesaat.
“Kupikir mereka saling menyayangi, saling melengkapi, saling percaya dan saling cinta. Bahkan aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Tapi semua bohong di depanku.” Dia menarik nafas sembari mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. “Mamah selalu bahagia ketika papah di rumah. Mamah mengasuhku dengan baik, Mamah merawat rumah dengan baik, dan memberikan yang terbaik untuk Papah. Entah apa alasannya untuk mengambil keputusan ini.”
“Sebaiknya, tanyakan saja ke mereka.”
“Sudah, Mamah hanya menjawab ini yang terbaik untuk kami, dan Papah menjawab mereka sudah tidak saling cocok,” dia menghela nafas dan melanjutkan kalimatnya, “semudah itukah makna pernikahan?”
Aku menggeleng tidak setuju. Ibuku selalu mengatakan bahwa pernikahan adalah ikatan yang sangat kokoh, bahkan tersebut dalam firman-Nya. Maka, pernikahan bukanlah hubungan yang mudah terputus begitu saja. Sudah seharusnya pasangan menjaga ikatan tersebut. Begitu yang ibu katakan padaku. Bahkan saat ini sudah hampir sepuluh tahun ayah meninggal dan aku mengizinkan ibu jika ingin menikah lagi, ibu menolak, lantaran perasaannya kepada ayah belum hilang dan dia lebih bahagia hidup seperti ini.
“Pasti ada alasan lain. Sebaiknya tanyakan sekali lagi, sebelum kamu memutuskan untuk tinggal bersama siapa?” dia mengangguk mendengar perkataanku.
“Pilihan berat, jika aku memilih bersama papah, maka mamah akan sendiri dan bagaimana bisa mamah hidup sendiri, pasti dia akan kesepian,” dia terdiam sesaat, kemudian melanjutkan kalimatnya, “mamah tidak pernah bekerja sama sekali, apa dia bisa mencari uang? Tapi jika aku memilih bersama mamah, bisa jadi akan menambah beban kerja mamah, karena harus mengurusku.” Tangannya memegang kepalanya. Aku merasakan ada hal yang berat di benaknya. Sungguh! Keputusan yang sulit.
Aku kembali merasa bersyukur, ketika ayah masih hidup, ibu ikut bekerja membantu ayah. Bahkan ayah membelikan peralatan memasak lengkap untuk ibu, karena ayah tahu ibu pintar membuat kue. Ibu membuat kue, ayah ikut menjualkannya ke teman teman kantornya. Ayah sering memberi kabar ketika ada perkumpulan warga atau acara apapun bahwa kue buatan istrinya enak dan boleh dipesan. Aku ingat betul, ayahku selalu memastikan dapur bersih sebelum dia tidur, dia tak segan membersihkan dapur malam hari. Ayah bilang kepadaku, ibumu akan senang kalau dapur bersih, jadi pagi hari dia akan semangat memasak.
Begitulah ayah dan ibuku, saling mendukung satu sama lain. Ketika ayah meninggal dunia, ibu sangat hampa namun kemudian kembali kuat dan meneruskan hidup yang serba sulit ini, hingga ibu bisa sukses memiliki lima toko kue yang tersebar di kota ini. Sungguh aku bisa belajar banyak, baik dari ibu maupun sosok ayahku. —–
“Ehm… Terkadang kita berpikir ibu kita orang yang lemah, tapi sebenarnya dia belum menunjukkan kekuatannya. Seorang ibu, sungguh, bisa memiliki kekuatan yang tak terduga. Jadi jangan terlalu khawatir dengan keputusanmu. Pilihlah yang terbaik untukmu.” Dia menatapku lebih dari sepuluh detik. Aku tak mampu menerjemahkan tatapannya. Kulihat dia berdiri, aku segera ikut berdiri.
“Sudah mau pulang?”tanyaku
“Tak seharusnya aku berbicara banyak denganmu. Bahkan kita tidak saling mengenal.”
Aku memahami perasaannya, dia pasti tidak nyaman sudah banyak berbicara masalah pribadinya denganku yang teman saja bukan. Aku hanya mengangguk pelan.
“Kalau begitu mari kita berkenalan, Namaku Radit.”
“Seharusnya tidak perlu menyebut namamu,” katanya.
“Setidaknya kamu bisa menyapaku kalau besok kamu kesini lagi,”kataku.
“Aku tidak akan ke sini lagi. Hari ini, hari terakhirku berada di kota ini. Entah aku ikut mamah atau papah, mereka akan meninggalkan kota ini.” Dia membalikkan badannya hendak beranjak pergi.
“Tunggu,” cegahku. Dia menghentikan langkahnya.
“Setidaknya beritahu namamu!”
“Kamu tidak perlu tahu namaku,” katanya. Dia kembali melangkah dan aku kembali mencegah.
“Kamu percaya cinta pertama tak bisa dilupakan?” Langkah kakinya kembali berhenti, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan dua langkah ke arahku.
“Entahlah, saat ini aku sedang tidak percaya dengan cinta,” aku mengangguk kecewa, “tapi…” dia melanjutkan kalimatnya, “aku pernah mendengar bahwa tidak lebih dari dua persen orang menikah dengan cinta pertamanya.”
Aku membuka mulutku tanpa mengeluarkan suara apapun, justru nafasku seperti terhenti mendengar kalimatnya. Dari mana angka itu, penelitan macam apa yang meneliti tentang cinta pertama.
“Aku pergi dulu. Terima kasih sudah menemani soreku,” katanya.
“Aku sungguh berharap bisa bertemu denganmu lagi,” kataku.
“Jangan pernah menunggu, apalagi menunggu seseorang. Karena belum tentu orang itu tahu atau menyadari bahwa ada orang yang sedang menunggunya.” Kata-katanya tak menghentikan langkahnya. Dia semakin menjauh, dan aku sudah mulai rindu.
***
Dia berjalan menuju rumah yang sebenarnya cukup jauh dari lapangan, namun dia tetap memilih untuk jalan kaki. Dia membuka lembaran buku gambarnya dan menuliskan nama tepat pada gambar lelaki yang beberapa hari lalu dia gambar. “Radit” begitulah tulisannya.
Sesampai di rumah, dia melihat dua koper besar berdiri di teras rumahnya. Dia melangkah masuk rumah.
“Ada apa mah?”
Dia dipeluk mamahnya, “sudah punya keputusan? Mamah pergi sekarang. Ayo ikut mamah.”
“Apa yang terjadi, aku belum punya keputusan mah. Kenapa harus pergi sekarang.”
“Mamah sudah tidak sanggup, mamah tidak bisa satu rumah dengannya, walau hanya satu malam.”
Lelaki yang sedari tadi duduk di ruang tengah berjalan menuju ruang tamu menemui mereka.
“Sudah papah bilang, kamu harus ikut papah. Mamahmu tidak akan bisa membesarkanmu.”
Dia menatap papahnya. “Pah, boleh aku bertanya sekali lagi. Apa sih alasan kalian bercerai?”
“Papah tidak ingin menceraikan mamahmu, tapi mamahmu yang menginginkan ini.”
Dia menunggu jawaban dari mamahnya, “baiklah, tinggal saja dengan papahmu, dia akan menjagamu lebih baik.”
“Mah,” tangannya memegang erat mamah.
“Mas,” suara perempuan terdengar dari dalam rumah memanggil lelaki satu satunya di antara mereka.
Perempuan berparas ayu, bertubuh tinggi dan berambut panjang terurai, berjalan mendekatinya.
“Oh ini putrimu, cantik seperti papahnya.”
“Mah, siapa dia?”
“Dia istri papahmu, dan jika kamu memilih tinggal bersama papah, maka dia akan menjadi mamahmu.”
Dia mengehala nafas cukup berat dan panjang.
“Baiklah, aku sudah punya pilihan. Aku ikut mamah.” Mata mamah terlihat berbinar. []