• Login
  • Register
Sabtu, 28 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Meneladani Kisah “Suharti”

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
11/09/2020
in Keluarga, Pernak-pernik
0
773
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Suharti namanya,lahir di Jombang pada tanggal 31 Desember 1951. Masa kecilnya dihabiskan di desa kecil tak jauh dari pemandian air panas yang masyhur di kota asal NU tersebut. Ia merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ia tumbuh menjadi perempuan belia yang rupawan, secara tatakrama, paras, agama, dan juga pada tingkat intelektualnya.

Maka tak heran jika banyak yang hendak mempersuntingnya, termasuk kepala desa setempat. Meskipun pada akhirnya ia dinikahkan dengan sang kepala desa, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama, ia menjanda dengan menyandang status janda kembang, yakni janda yang belum disentuh oleh sang suami selama pernikahan.

Menyandang status janda di usia 15 tahun tak membuatnya meratapi nasib, atas saran bibi dan ayahnya, ia pergi merantau ke tanah Borneo. Di pulau ini, ia tinggal bersama bibinya dan membantu urusan domestik di rumah bibinya ini.

Sang bibi merupakan salah satu saudagar kala itu, suaminya, H. Syahri ialah pemilik pengeringan getah karet yang masyhur. Usahanya sangat berkembang, sehingga tidak mengherankan jika banyak pegawainya merupakan sanak saudara yang berasal dari tanah Jawa. Termasuk seorang pria yang bernama Mujiono,memiliki kekerabatan dengan H. Syahri membuatnya bekerja di perusahaan ini pula.

Siapa yang dapat menyana, Mujiono dan Suharti memiliki perasaan yang sama, hingga akhirnya mereka memutuskan menikah. Setelah menikah, Suharti diboyong ke rumah besar keluarga sang suami, dan ia tidak lagi bekerja di rumah sang bibi. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, hingga pada akhirnya mereka memiliki rumah sendiri.

Baca Juga:

Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri

Pentingnya Relasi Timbal Balik dalam Hubungan Intim Suami Istri

Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

Jika ada pepatah yang berkata bahwa pernikahan adalah pintu berkah, mungkin hal tersebut yang dirasakan oleh Suharti. Ia mendapatkan kemerdekaannya, dengan dukungan sang suami, Suharti menjadi guru Sekolah Dasar perempuan pertama di kampung Siak Durian.

Pada saat itu, sekolah dasar setempat hanya baru memiliki satu guru saja, dan itupun laki-laki. Kehadiran Suharti memberikan warna di dunia pendidikan di sana, pendidikan Keputrian yang ditempuhnya saat di Jombang menjadikan dirinya sebagai sosok guru yang dihormati dan disegani sepanjang hayatnya.

Perjalanan hidupnya tidak berhenti di situ, kendati telah memiliki lima anak, Suharti tetap memiliki tekad untuk belajar, Ia melanjutkan pendidikannya di KPG (Kursus Pendidikan Guru) yang kemudian dikenal dengan SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Menjadi seorang pelajar dengan segala kendala tentu tidaklah mudah, lagi-lagi dengan dukungan suami yang berprofesi sebagai petani karet, Suharti dapat menyelesaikan segala tujuannya.

Sebelum berangkat sekolah, saat fajar belum terbit, suami-istri ini berbagi tugas, semua pekerjaan rumah dan keperluan anak-anak  diselesaikan dengan bersama-sama. Hingga ketika matahari terbit, mereka berdua menuju dermaga yang jaraknya dua KM dari rumah untuk dapat menggunakan jasa Motor Air.

Perjalanan menuju dermaga bisa menghabiskan satu jam waktu perjalanan. Motor air merupakan transportasi umum bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai Kapuas untuk mobilitas sehari-hari mereka, termasuk Suharti, setiap hari ia menggunakan armada ini untuk membantunya sampai di kota Pontianak untuk dapat mengikuti pelajaran di kelas, tentunya dengan menghabiskan waktu dua jam di atas air pada setiap keberangkatan.

Setiap pagi, sang suami dengan tulus mengantarnya dan menunggu hingga istri tercintanya lepas dari pandangannya. Tak sekalipun sang suami meninggalkannya sebelum memastikan sang istri sudah benar-benar naik motor air. Tidak hanya mengantar saja, jika sudah menjelang sore hari, sang suami pun menjemputnya kembali ke dermaga, entah dengan menggunakan sepeda, ataupun sampan. Sampan ini merupakan kendaraan yang digunakan masyarakat sekitar jika air sungai dan air laut sedang pasang, disebabkan jalanan yang terendam air dan sulit untuk dilewati. Sampan ini bahkan dapat diparkir di parit-parit depan rumah.

Suharti, wanita yang berkarakter ini juga dapat lulus dari Diploma satu di Universitas Terbuka dengan mengambil jurusan PGSD. Lagi-lagi sang suami yang memiliki peran besar dibalik proses perkuliahannya ini. Setiap minggunya, dengan ditemani sang suami, Suharti pergi ke kecamatan Sungai Ambawang untuk mengambil modul perkuliahan. Selama karirnya menjadi guru Sekolah Dasar, satu hal yang selalu ia tolak, yakni menjadi Kepala Sekolah.

Kendati demikian, ia tetap berperan di masyarakat sekitarnya. Ia aktif, bahkan menjadi pelopor dan penggerak PKK dan Posyandu di kampungnya. Hal ini juga sebagai upaya untuk pemberdayaan perempuan-perempuan setempat. Hal ini konsisten ia lakukan hingga pada akhirnya, saat usianya 57 tahun, ia kembali keharibaan-Nya tepat di pangkuan sang suami dengan meninggalkan lima anak yang telah berkeluarga.

Kepergiannya tentu menyisakan banyak kesedihan, kenangan, dan kebahagiaan yang tak tergantikan. Namun, jika melihat perkarangan rumahnya, siapapun akan merasakan kehadirannya. Beragam tanaman buah-buahan yang ditanamnya tentunya menyimpan sejuta cerita bagi anak-anaknya. Karena tujuannya menanam aneka pepohonan  itu ialah agar hasilnya dapat dinikmati oleh anak cucunya.

Dan sungguh menjadi kenyataan, semua pohon yang ditanamnya selalu menghasilkan buah-buah yang berhasil panen, dan menjadi buah tangan bagi anak cucunya, bahkan orang lain yang datang ke rumahnya. Demikianlah bagaimana cara Tuhan tetap memberikan kebahagiaan atas nama makhluk yang telah ia ambil nyawanya dari orang-orang yang dikasihinya.

Sembilan tahun sejak kepergiannya, sang suami menyusul dengan tetap menjadikannya sebagai satu-satunya wanita sepanjang hidupnya. Kepergian keduanya menyisakan banyak kisah membahagiakan bagi anak cucunya. Ternak, tumbuh-tumbuhan, rumah, semua menjadi saksi bisu perjuangan keduanya dalam mengarungi biduk rumah tangga bersama.

Kisah sederhana ini mengajarkan banyak hal pada saya, pertama, segala hal itu tidak baik jika dipaksakan, termasuk dalam pernikahan. Pernikahan yang dapat mengantar pada pernikahan yang membahagiakan adalah pernikahan yang didasari atas dasar rela,baik dari individu masing-masing pasangan, maupun keluarganya. Pernikahan yang demikian akan memberikan tanggungjawab kepada masing-masing pasangan termasuk keluarganya untuk dapat bersama menjaga keutuhan keluarga yang dibangun.

Kedua, menciptakan pernikahan yang membahagiakan merupakan tanggungjawab bersama antara pasutri, tidak saja hanya menjadi tanggungjawab suami, namun juga sang istri. Berbagi tugas merupakan hal pokok agar kehidupan rumah tangga sehari-hari dapat berjalan dengan baik.

Hal tersebut akan timbul jika masing-masing pasangan memiliki perasaan yang tulus kepada yang lainnya, tidak selalu menuntut akan dirinya, melainkan bersama-sama memberikan yang terbaik untuk pasangannya. Ketika keduanya saling berusaha membahagiakan pasangannya, maka suka-duka pernikahan pun dapat dilewati bersama.

Tidak ada yang menginginkan perpisahan disebabkan kekurangan yang dimiliki pasangannya, melainkan bersama-sama berikhtiar agar kesempurnaan menjadi milik pasangannya. Ketulusan yang dimiliki individu menikah merupakan fitrah bagi mereka untuk “saling melengkapi.”

Ketiga, perempuan akan berdaya, jika pasangannya dapat mendukung dan mendampinginya. Dalam konteks pernikahan pasutri, tidak sedikit perempuan yang terjebak pada pernikahan yang menjadi jelmaan dari penjara, bahkan laki-laki juga ada yang merasakan hal serupa. Mereka terpaku pada hal-hal monoton untuk menghidupi keluarga tanpa mampu melepaskan belenggu-belenggu yang membatasi perkembangan potensi diri.

Oleh karena itu, memutuskan untuk menikah adalah keputusan pribadi, dan memilih pernikahan yang bagaimana juga merupakan pilihan pribadi yang masing-masing individu dapat tentukan sendiri, entah itu pernikahan layaknya penjara, atau justru pernikahan yang berfungsi menjadi pintu lain untuk berbahagia, bukan sebagai pintu pembatas dan akhir dari segalanya.

Terakhir, perempuan berdaya dan bermanfaat bagi sesama merupakan salah satu ciri manusia yang sempurna ihsannya. Meski ruang yang dimiliki setiap perempuan tentunya berbeda-beda, ada yang memiliki jangkauan dan ruang yang luas, dan adapula yang kecil. Bukan luas-sempit, banyak-sedikit, dan tinggi-rendahnya yang menentukan kualitas kebahagiaan, tapi bagaimana kita memberi arti dengan tulus setiap peran yang sedang kita jalani, entah di masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. []

 

Tags: kebahagiaanperkawinansuami istri
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Istri Shalihah

Benarkah Istri Shalihah Itu yang Patuh Melayani Suami?

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Fitnah Perempuan

Meluruskan Pemahaman Keliru terhadap Konsep Fitnah Perempuan

26 Juni 2025
perempuan adalah fitnah

Menimbang Ulang Makna Fitnah: Tubuh Perempuan Bukan Sumber Keburukan

26 Juni 2025
Perempuan yang rentan

Saat Fikih Menjadikan Perempuan Kelompok Paling Rentan

25 Juni 2025
Fitnah Perempuan

Mengurai Bias Fitnah Perempuan dalam Wacana Keislaman

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Patung Molly Malone

    Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?
  • Benarkah Istri Shalihah Itu yang Patuh Melayani Suami?
  • Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan
  • Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID