Mubadalah.id – Sudah puluhan tahun kita mendengar klaim bahwa Indonesia adalah negeri dengan potensi energi terbarukan yang luar biasa berlimpah. Dari sinar matahari, angin, aliran air di ribuan sungai, hingga gelombang laut, semua menjadi bukti bahwa sumber energi bersih sebenarnya tersedia tepat di sekitar kita.
Namun, ironisnya, hingga kini energi utama kita masih bersumber dari batu bara, minyak bumi dan sumber fosil yang kian menipis dan merusak bumi.
Target nasional untuk mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 akhirnya harus direvisi karena realitasnya jauh dari harapan. Hingga kini, realisasinya masih berada di kisaran belasan persen saja. Ketidaktercapaian ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam mendorong energi bersih belum benar-benar berjalan sebagaimana mereka janjikan.
Masih Menggunakan Energi yang Merusak Lingkungan
Pembicaraan soal sumber energi di negeri ini lebih sering terhenti pada proyek-proyek besar seperti panas bumi, co-firing (pencampuran biomassa dengan batubara), hutan tanaman energi, biodiesel dari sawit, hingga kendaraan listrik.
Sehingga dalam praktiknya, proyek besar tersebut kerapkali menimbulkan banyak masalah dan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, konflik lahan, rusaknya ekosistem, hingga ketimpangan ekonomi.
Alih-alih menghadirkan energi yang ramah lingkungan, berbagai proyek transisi energi skala besar justru kerap memperparah kerusakan alam. Tak heran jika banyak aktivis lingkungan menyebut kondisi ini sebagai “transisi energi rendah karbon, tinggi korban.”
Yang lebih menyakitkan, masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak sering menjadi pihak paling terdampak. Bahkan tergusur dari tanahnya akibat ekspansi tambang batubara dan proyek ekstraktif lainnya.
Panel Surya dan Bobibos
Padahal, di lapangan, banyak masyarakat desa, petani, dan nelayan yang telah lama mempraktikkan kemandirian energi terbarukan. Mereka membangun pembangkit mikrohidro dari aliran sungai, memanfaatkan kincir angin sederhana, dan memasang panel surya di rumah, sekolah, atau tempat ibadah.
Namun, upaya-upaya ini sering dianggap sekadar proyek pinggiran. Bukan bagian dari strategi energi nasional.
Melansir dari laman Mongabay.co.id, pada 9 Mei 2025 di Nagari Sumpur Kudus Selatan, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, warga bersama Koalisi Muslim for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) Indonesia memasang panel surya di Masjid Buya Syafii Maarif.
Sebelumnya, masjid yang mampu menampung 500 jamaah itu kerap mengalami pemadaman listrik berhari-hari setiap kali musim hujan tiba. Kini, dengan panel surya yang terpasang di atapnya, masjid tersebut tetap memiliki pasokan listrik yang stabil.
Masjid tetap terang, ibadah tidak lagi terganggu, dan masyarakat merasakan langsung manfaat energi terbarukan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kisah serupa juga datang dari anak-anak muda di Bobibos, inovator energi hijau dari Jonggol yang yang pada 2 November 2025 meluncurkan bahan bakar alternatif berbasis jerami.
Produk yang mereka sebut “Bobibos” ini hadir dalam dua varian untuk mesin bensin dan diesel, dengan klaim setara RON 98 serta emisi yang jauh lebih rendah dibanding bensin fosil.
Hal ini menunjukkan bahwa energi bersih sebenarnya bisa lahir dari kreativitas komunitas lokal, bukan hanya dari proyek negara. Inovasi seperti Bobibos seharusnya disambut negara dengan dukungan nyata seperti riset lanjutan, insentif, hingga regulasi yang berpihak.
Bayangkan, jika inovasi lokal semacam ini diperkuat dan diperluas, Indonesia akan menjadi produsen yang mandiri, kreatif, tidak merusak alam, lingkungan, dan berkelanjutan.
Negara Harus Menjadi Fasilitator dalam Mewujudkan Energi Terbarukan
Oleh karena itu, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menuju energi bersih, maka pendekatannya harus berubah dari yang elitis menjadi partisipatif dan dari yang top-down menjadi berbasis komunitas.
Negara harus hadir sebagai fasilitator utama bagi lahirnya energi terbarukan dari masyarakat. Dukungan itu harus mereka wujudkan melalui akses pembiayaan yang terjangkau, pendampingan teknis yang berkelanjutan. Serta penyederhanaan perizinan bagi inisiatif energi desa dan komunitas.
Karena tanpa keberpihakan negara, inovasi warga hanya akan berhenti sebagai wacana bukan solusi nyata bagi transisi energi.
Sehingga, jika setiap masjid, sekolah, rumah sakit, dan balai desa memasang panel surya atau mikrohidro kecil. Maka ketahanan energi nasional akan tumbuh dari bawah.
Bahkan, di berbagai pelosok negeri, dari Sumatera sampai Nusa Tenggara, masyarakat sudah memulainya. Mereka hanya perlu satu hal yaitu dukungan sungguh-sungguh dari negara.
Kita tidak kekurangan sinar matahari, angin, air atau limbah jerami. Yang kurang justru kemauan pemerintah untuk mengelola potensi itu menjadi energi terbarukan yang sungguh-sungguh menjadi arus utama. []












































