Mubadalah.id – Ketika akan memberikan kado untuk keponakan yang baru lahir dan berjenis kelamin laki-laki, saya bingung. Saya mempercayai warna tidak berkorelasi dengan gender. Tadinya sudah bertekad untuk memberikan kado berwarna merah muda. Persis: tujuannya sebagai langkah revolusioner bahwa laki-laki juga boleh memakai warna merah muda.
Namun, seperti yang anda tebak: saya akhirnya memberikan kado berwarna biru. Seorang saudara menghalau niatan revolusioner yang saya tekadkan. Menurutnya, keponakan saya nanti akan malu (padahal dia baru lahir, tidak mungkin mengerti malu). Lebih tepatnya, keluarga akan malu katanya. Laki-laki kok berwarna merah muda?
Warna yang didefinisikan sebagai jenis kelamin sudah menjadi bagian dari budaya kita. Jika laki-laki yang lahir, maka kado yang berdatangan berwarna biru. Sementara jika perempuan yang lahir, maka kado yang datang berwarna merah muda. Tapi pernahkah kita bertanya, mengapa warna memiliki gender? Padahal ia sekedar warna. Sekali lagi, sekedar warna.
Pada tahun 1700an, perempuan dan laki-laki sama-sama menggunakan warna merah muda. Itu ditunjukan dari sebuah lukisan dua bayi di Amerika Serikat. Keduanya adalah laki-laki karena menggunakan aksesoris topi. Saat itu, aksesoris topi hanya digunakan untuk laki-laki.
Sebuah buku tahun 1794 malahan merekomendasikan laki-laki untuk menggunakan merah muda dan putih sebagai warna kamar mereka. Tujuannya untuk mencerahkan suasana hati. Buku itu ditulis oleh Xavier de Maistre, seorang penulis berkebangsaan Perancis, judulnya “perjalanan di sekitar ruanganku/A Journey Round my Room”. Warna-warna di Perancis memang dikenal sudah memiliki kategori gender sejak dahulu.
Perdebatan kapan warna merah muda diasosiasikan sebagai warna perempuan terus berkembang. Sebagian besar menyatakan berawal dari sebuah novel tahun 1868 yang berjudul Little Woman gubahan Louisa May Alcott
“Amy mengikatkan pita merah muda dan pita biru pada anak kembar Meg: Daisy dan Deni, sehingga orang-orang akan tau perbedaan antara laki-laki dan perempuan”
Novel ini berkisah tentang kehidupan empat perempuan bersaudara: Meg, Jo, Beth dan Amy March dalam keluarga Amerika. Dialog itu dipercaya sebagai suatu petunjuk bahwa warna sudah menjadi bagian dari gender sejak tahun 1800’an.
Tetapi, terdapat anti-tesa bahwa di tahun itu warna merah muda sudah menjadi warna perempuan. Pasalnya, tahun 1914, sebuah majalah di Amerika Serikat “The Sunday Sentinal” menerangkan bahwa anak perempuan harus menggunakan warna biru. Warna biru adalah warna yang halus dan lembut, katanya. Merah muda justru direkomendasikan untuk laki-laki lantaran merah muda dianggap lebih kuat dan lebih bergairah, dan juga karena merah muda berasal dari merah: sebuah warna yang mencolok.
Sebuah skene dalam filem “The Great Gatsby” juga menampilkan dialog: “Laki-laki Oxford, dia menggunakan setelan merah muda!” warna merah muda saat itu diasosiasikan sebagai warna flamboyan bukan warna perempuan.
Tim sepakbola tahun 1900’an bahkan menggunakan warna merah muda sebagai seragam dan logo mereka. Juventus FC di awal debutnya tahun 1900an menggunakan warna merah muda dan hitam sebagai logo. Palermo, tim sepakbola Italia juga menjadikan merah muda sebagai seragam sejak tahun 1907.
Di tahun 1927, Majalah Time membuat survey ke beberapa toko besar di US. Mereka ingin mengetahui, warna mana yang bisa diasosiasikan sebagai warna perempuan dan warna mana yang diasosiasikan sebagai warna laki-laki. Jawabannya ternyata menjadi dualisme: sebagian mengatakan warna merah muda sebagai warna perempuan, sebagian lagi mengatakan warna biru sebagai warna perempuan.
Jennifer Wright, seorang sejarawan mode, memberitahukan bahwa merah muda menjadi warna perempuan setelah perang dunia ke-2. Dimana, di tahun 1953, Dwight Eisenhower (Ike), Presiden ke-34 Amerika Serikat memenangkan perang dunia ke-2. Ketika Ike melakukan inagurasi, istrinya, Mamie Eisenhower menggunakan gaun cantik berwarna merah muda.
Pemakaian gaun oleh Mamie sangat mencolok karena selama masa perang, perempuan terbiasa menggunakan pakaian sederhana. Memie menyukai merah muda karena menghasilkan penggabungan yang indah jika disandingkan dengan warna matanya yang berwarna biru.
Pasca perang dunia ke-2, laki-laki kemudian kembali merebut tempat kerjanya di publik dan perempuan tinggal di rumah bersama bayi dan peralatan rumah tangga yang berwarna merah muda. Sebagaimana Mamie Eisenhower mengatakan “laki-laki sudah kembali ke rumah (tidak berperang), anda dapat kembali ke peran tradisional anda (peran domestik)”.
Mamie juga sempat mengatakan bahwa “Ike (suaminya) memimpin negara, sedangkan aku membalikan daging babi (read: memasak)”. Pemakaian gaun merah muda dan perintah untuk kembali ke ruang domestik menyusun hubungan kedua hal ini di benak masyarakat. Bahwa menggunakan warna merah muda berarti perempuan kembali melakukan peran tradisionalnya. Merah muda berarti peran tradisional!
Di tahun 1957, Maggie Prescot menambah lagi politik warna dengan meramaikan tagline “Think Pink!” untuk meyakinkan perempuan kembali ke feminitas: lembut dan tidak melawan. Dalam film Funny Face, Maggie Presscot juga menyatakan bahwa setiap perempuan harus membuang biru dan membakar hitam.
Itu masuk akal, karena di tahun-tahun sebelumnya (dalam waktu perang), perempuan seringkali menggunakan warna hitam untuk berkabung dan warna biru/denim untuk bekerja. Sejak saat itu, merah muda menjadi warna yang populer bukan hanya untuk perempuan tapi juga untuk berbagai peralatan rumah.
Berkat Disney, warna merah muda kemudian menyeruak ke seluruh dunia sebagai warna perempuan. Ia menghasilkan banyak keuntungan. Kini warna-warna itu juga menjadi warna identifikasi di berbagai acara, ruangan, pakaian bahkan masih menjadi tagline untuk menundukan perempuan “Pakaiannya merah muda tapi hobinya ngelawan.” Seakan-akan, semua perempuan ditakdirkan menyukai merah muda. Seakan-akan, perempuan yang menyukai merah muda tidak boleh melawan. Seakan-akan, merah muda dan feminitas berkorelasi begitu besar. []