Mubadalah.id – Di Indonesia, sudah banyak perempuan yang menempati posisi strategis di politik, baik di lembaga yudikatif maupun legislatif, mulai dari hakim agung, anggota DPR, hingga komisioner di berbagai lembaga negara.
Mereka tidak sekadar menjadi pengisi kursi kosong. Tetapi benar-benar mengambil peran substantif dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Namun, penerimaan terhadap kepemimpinan perempuan ini tetap menyisakan PR besar. Pasalnya, masih banyak pemahaman keagamaan masyarakat yang menilai kiprah perempuan di ranah politik sebagai pelanggaran terhadap kodrat perempuan.
Di sinilah pentingnya rekonstruksi pemahaman fiqh sebagaimana digagas oleh Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id yakni fiqh yang membebaskan. Bahkan, fiqh yang berpihak pada kemaslahatan manusia.
Karena itu, fiqh yang menutup ruang perempuan di ranah politik sangat bertentangan dengan semangat keadilan Islam itu sendiri. Nyai Badriyah mengajak kita untuk menafsirkan ulang hukum Islam dengan mengedepankan nilai-nilai dasar seperti al-‘adl (keadilan), al-musawah (kesetaraan), dan al-rahmah (kasih sayang).
Jika perempuan berhak menjadi mufti, mengeluarkan fatwa, dan memberi pandangan hukum. Maka tidak ada alasan keagamaan yang sahih untuk menolak keterlibatan mereka dalam lembaga peradilan maupun parlemen. Penolakan itu lebih bersumber pada konstruksi budaya patriarkis.
Maka dari itu, dalam konteks ini, kehadiran perempuan di ruang strategis politik menjadi penegasan kembali bahwa misi Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin—agama yang menebar kasih sayang, menegakkan keadilan, dan menghormati martabat setiap manusia, termasuk perempuan.








































