Mubadalah.id – Saat ini, sudah waktunya umat Islam meninggalkan kerangka lama fiqh yang kerap menempatkan perempuan semata-mata sebagai sumber fitnah bagi laki-laki. Karena fiqh yang harus kita kembangkan justru fiqh kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan.
Perempuan, sama seperti laki-laki, ia, Tuhan ciptakan dari entitas (nafs) yang sama sebagaimana dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 1.
Mereka memiliki hasrat seksual, keinginan hidup, cita-cita, dan angan-angan yang tak jauh berbeda. Karena itu, kesempatan untuk mengartikulasikan seksualitas juga mesti diberikan secara adil, kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) hanya bisa terwujud melalui kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif (‘amalan shalihan) sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 97.
Dalam ranah rumah tangga, fiqh semestinya tidak lagi kita bangun di atas dominasi salah satu pihak. Ia harus berpijak pada prinsip-prinsip luhur Al-Qur’an: kerelaan kedua belah pihak dalam akad nikah (taradlin) (QS. Al-Baqarah: 232-233), tanggung jawab bersama (al-amanah) (QS. An-Nisa: 48), kemandirian ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah: 229 dan An-Nisa: 20). Serta kebersamaan menciptakan rumah tangga yang tenteram (sakinah) penuh kasih sayang (mawaddah wa rahmah) (QS. Ar-Rum: 21).
Al-Qur’an juga menggarisbawahi pentingnya memperlakukan pasangan dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) (QS. An-Nisa: 19), menyelesaikan persoalan lewat musyawarah (QS. Al-Baqarah: 233, Ali ‘Imran: 159, dan Asy-Syura: 38), serta meniadakan ‘beban ganda’ yang selama ini sering membebani pihak perempuan (al-ghurm bil ghunm).
Prinsip Kesalingan
Prinsip-prinsip kesalingan ini menuntut keadilan dan kesetaraan dalam segala hal. Termasuk dalam menikmati fantasi maupun kenikmatan seksual.
Sebagai contoh, ketika khitan laki-laki dilaksanakan demi kemaslahatan dirinya, baik dari sisi kesehatan maupun kenikmatan biologis. Maka sebaliknya, praktik khitan terhadap perempuan justru terbukti membawa mudarat.
Dalam perspektif medis, perempuan yang tidak dikhitan lebih mudah terangsang dan lebih mungkin merasakan kepuasan seksual dibanding mereka yang dikhitan. Dengan demikian, demi kemaslahatan, khitan perempuan sudah sepatutnya dihentikan, bahkan diharamkan.
Seperti diuraikan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, fiqh perlu terus bergerak maju menegakkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Hanya dengan demikian, relasi laki-laki dan perempuan akan benar-benar menjadi ruang saling membahagiakan, sesuai visi Islam yang membawa rahmat bagi seluruh semesta. []