Mubadalah.id – Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang baik, keluarga bahagia sakinah mawaddah wa rahmah, sesuai dengan tujuan awal saat menikah dan berumah tangga. Namun tidak semua harapan itu bisa terwujud, karena ada sebagian orang yang belum beruntung dan masih harus berjuang untuk sekedar mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Yang lebih memprihatinkan adalah, perempuan yang paling banyak mengalami ketakberdayaan itu, terutama saat dia menjadi korban KDRT atau poligami. Kita harus melakukan gerakan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Seperti yang pernah dituturkan seorang sahabat, dia berkisah jika saat itu sedang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya karena persoalan KDRT, dan ada indikasi suaminya berselingkuh dengan perempuan lain. Komitmen yang di awal pernikahan sempat terucap akan selalu hidup bersama, setia sampai mati menjadi hilang tak berbekas. Cinta yang dulu menggebu telah layu. Tak ada lagi tegur sapa, bahkan sekedar menanyakan kabar.
Dia menjadi asing dengan lelaki yang dulu pernah menjadi harapan dan tujuan hidupnya. Setia menurut dia, ternyata tak cukup dengan hanya kata-kata cinta dan gelimang harta. Selain butuh komitmen kuat antar kedua pasangan, juga usaha yang terus menerus untuk memperbaiki hubungan dan komunikasi.
Sebagai sahabat tentu saya mendukung apapun setiap keputusan dan langkah hidupnya. Terlebih bila melihat ternyata terdapat relasi kuasa, lelaki yang merasa lebih segalanya dari perempuan, baik secara sosial maupun ekonomi. Sehingga, menganggap bahwa perempuan yang sudah dinikahi dan memberinya keturunan itu boleh dibentak, dimarahi dengan kata-kata kasar, diabaikan nafkah lahir batinnya, dan diacuhkan kehadirannya.
Lalu puncak dari konflik rumah tangga itu ketika suami sahabatku berpaling dengan perempuan lain.
Namun meski demikian ketika memilih bercerai, akan banyak sekali resiko yang harus dipertimbangkan dengan matang. Karena berdampak buruk dan negatif, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Terutama yang paling merasakan akibatnya adalah anak. Selain anak tak bisa merasakan kasih sayang utuh dari orang tua, dia juga akan kehilangan figur ayah jika memilih ikut ibunya. Sebaliknya, anak juga kehilangan figur ibu kalau keputusan pengadilan anak harus ikut ayah.
Sedangkan bagi laki-laki, perceraian akan berdampak pada kehidupan sosialnya, sebab laki-laki yang menyandang status duda karena cerai masih dianggap miring oleh sebagian masyarakat kita. Stigma negatif pun akan melekat pada perempuan yang menyandang status janda. Bahkan sampai ada judul lagu tarling pantura “Dayuni”, Rangda Ayu Jarang Dikeloni. Karena itu bagi pasangan harus memelihara sekuat tenaga, mempertahankan biduk rumah tangga dengan segala resiko yang harus dihadapi. Agar jalan perceraian menjadi alternatif terakhir yang sudah tak memungkinkan menempuh jalur damai, atau tak bisa lagi kembali bersama dalam satu bahtera keluarga.
Langkah yang diambil perempuan sudah tepat. Memberikan perlawanan saat jalur mediasi yang ditempuh tak menemukan titik temu, yakni dengan mengajukan gugatan cerai. Saya kira di titik ini perempuan harus berani membuat keputusan yang bijak dalam hidupnya, karena perjalanan waktu harus terus bergulir. Tak bisa diputar ulang atau hitung mundur. Dan kebahagiaan adalah mutlak milik semua orang, baik lelaki maupun perempuan.
Jika pernikahan yang menjadi impian berubah menjadi belenggu yang mengekang dan menindas perempuan, maka lepaskan saja belenggu itu. Rebut kembali kemanusiaan atas nama perempuan yang telah hilang.
Tentang langkah perempuan ini, Dr. Faqihuddin Abdul Qodir menuliskan catatan dalam kata pengantar Buku Sunnah Monogami yakni jika suami istri tidak mau memperbaiki diri. Tidak mau berkomitmen dengan pasangannya. Tidak lagi bersedia memaafkan. Apalagi menumbuhkan rasa cinta dan sayang. Sebaliknya yang ditumbuhkan adalah kebencian, kedengkian, permusuhan dan kekerasan. Maka lebih baik berpisah saja.
Agar masing-masing bisa merasa lebih nyaman dan bisa mandiri. Problem kemandirian inilah yang dihadapi perempuan ketika harus memilih, tetap dalam pernikahan sekalipun dipoligami, atau memilih bercerai. Perempuan yang memilih untuk mandiri dan bertanggungjawab merawat, menjaga, membesarkan dan mendidik keluarga. Daripada harus berpasangan dalam penderitaan dan kekerasan.
Ya, kekerasan terhadap perempuan harus dihentikan, bahkan bisa di mulai dari diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Berkenaan dengan itu, sejak 25 Nopember sampai dengan 10 Desember ini diperingati sebagai kampanye 16 hari Anti kekerasan Terhadap Perempuan (16 days of activition agains gender violence). Yang merupakan kampanye Internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Aktivitas ini digagas womens global leadership, dengan mengacu pada 25 November sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dan 10 Desember sebagai hari HAM Internasional. Secara simbolik menghubungkan antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM.
Kekerasan yang dimaksud di sini selain berupa fisik juga kekerasan dalam bentuk verbal, kata-kata yang menyakitkan dan ujaran kebencian. Bahkan menyakiti perasaan perempuan dengan kebohongan, menduakan dengan kehadiran perempuan lain, mengabaikan tanggung jawab sebagai suami, dan penelantaran ekonomi.
Saya kira jika perempuan sudah mendapatkan perlakuan yang demikian itu harus berani bersuara, bersikap tegas dan mengambil langkah-langkah berikutnya. Pertama, meminta ketegasan pasangan tentang bagaimana masa depan pernikahan, dan perasaan cinta yang pernah ada di antara mereka.
Kedua, jika hubungan, komunikasi dan interaksi masih bisa diperbaiki maka bangun komitmen rumah tangga dari awal lagi. Pertegas apa kemauan perempuan, dan apa yang membuatnya merasa kecewa dan marah.
Ketiga, bila sudah tak bisa diperbaiki dan memilih berpisah, maka komunikasikan dengan pihak ketiga seperti orangtua atau saudara untuk memediasi konflik yang ada, mencari solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Keempat, kalau perpisahan menjadi pilihan, agar mempertimbangkan suara hati dan nurani anak-anak.
Kelima, bagi pihak perempuan segera move on, bangkit untuk memberdayakan diri sendiri agar menjadi perempuan yang kuat dan mandiri.
Selain itu yang perlu diingat pula, bahwa dalam setiap kesempatan berinteraksi, melakukan komunikasi baik saat sebelum maupun sesudah konflik terjadi, agar introspeksi diri dengan prinsip kesalingan atau resiprokal. Tawaran ini tak hanya bagi suami istri yang tengah bermasalah, tapi diperuntukkan juga bagi siapa saja. Karena pada hakikatnya berumah tangga, menjadi orangtua, suami dan istri adalah proses belajar seumur hidup, bagaimana kita terus bermubadalah bersama orang-orang yang kita cintai dan sayangi di sekitar kita.
Jadi, kekerasan terhadap perempuan bisa dihentikan jika setiap orang sudah mempraktekkan mubadalah dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga relasi kehidupan yang adil setara dan membahagiakan, serta dunia tanpa kekerasan, dunia yang ramah bagi perempuan akan mutlak menjadi milik seluruh umat manusia di muka bumi ini. Semoga.[]