Mubadalah.id – Pada akhir bulan Mei 2023, pengguna Twitter ramai karena seorang penggunanya menjelekkan perempuan yang belum menikah di usia pertengahan 30 tahun. Menurutnya, kehidupan orang yang menikah lebih baik daripada perempuan yang belum atau tidak menikah. Mengapa menjadi perempuan lajang atau yang tidak menikah kita anggap masalah ya? Begini kah menjadi perempuan lajang di tengah patriarki?
Pengguna Twitter tersebut mengatakan , “Udah mid thirties masih cekikikan ga jelas. Sok berasa alpha woman padahal ngebadut. Toh karir lo engga sebagus itu sementara tmn lu yg udah nikah bulanannya 10x dari elu. Lu masih berkutat di circle yg sama. Di situ gak kemana2. Berasa gaul padahal pipi udah kendur kerutan dmn2”.
Kalimat di atas adalah kalimat yang sangat kuat memproyeksikan kebencian orang tersebut. Sebagian orang menganggap pernikahan adalah jalan keluar untuk berbagai macam hal. Mengapa masyarakat kita terobsesi dengan perkawinan? Tidak bisa sepenuhnya menerima bahwa perempuan lajang bisa sepenuhnya bahagia? Mengapa masyarakat kita rajin bertanya, “Kapan nikah?”.
Mengapa Status Lajang Dianggap Masalah?
Saat cuitan di atas ramai, saya mengikuti tren yang menjadi counter narasi negatif seputar perempuan lajang. Banyak perempuan di usia 30, 40, 50, dst, yang menunjukkan kehidupan mereka yang bahagia dan sukses menurut mereka.
Saya senang tren ini bisa saling menguatkan terutama bagi kami perempuan lajang. Beribu kali saya akan mengatakan, menjadi perempuan lajang bukan masalah. Namun, masyarakat kita membuatnya sebagai masalah.
Ada seseorang yang merespon cuitan saya yang mengatakan, “Itu lah masalahnya, kalau terlalu nyaman single, gimana pacarnya mau datang?”, “If it’s not going anywhere you have to reevaluate”, dan “people who also read your tweet don’t make the same mistakes”. Mengapa status lajang dianggap masalah, tidak ke mana-mana (tidak berprogres) dan terlalu nyaman berarti tidak membuka diri?
Ketika saya mengatakan bahwa saya lajang, juga dalam tulisan dan buku saya “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”, sebagian orang mengira bahwa saya tidak akan menikah. Status lajang bisa berarti seseorang tidak akan atau sedang tidak dalam status perkawinan. Status lajang bisa berarti tidak memiliki pasangan. Selama ini saya tidak selalu lajang, saya juga menjalin hubungan romantis dan saya menginginkan perkawinan.
Sebagai perempuan lajang, saya tidak perlu dikasihani, tidak perlu pula dibandingkan dengan mereka yang menikah. Saya bisa sepenuhnya bahagia sendiri, saya juga bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tapi, bisakah kami, para lajang, hidup sesuai yang kami inginkan dengan definisi bahagia dan sukses yang kami bangun sendiri?
Stigma Pada Perempuan Lajang
Status lajang merupakan hal yang negatif di berbagai Negara dan budaya, sehingga status lajang diberi label secara negatif (stigma). Di Indonesia, perempuan yang tidak segera menikah atau mereka yang melajang kita sebut sebagai “perawan tua” dan “tidak laku”. Sementara di Prancis, perempuan lajang kita menyebutnya sebagai “perempuan kucing”, karena diidentikkan dengan memiliki kucing.
Di Asia secara umum, perempuan lajang diberi label “perempuan sisa”. Laki-laki lajang di Tiongkok diberi label “lelaki ranting”. Di Jepang, mereka yang lajang diberi label “kue natal”, yaitu kue sisa yang akan tersimpan hingga basi. Seperti kue lebaran sisa yang tidak kita makan berbulan-bulan lamanya.
Dari labelling atau stigma ini, masyarakat di berbagai daerah menganggap bahwa perempuan lajang adalah mereka yang “tidak laku”. Objektfikasi pada perempuan dengan menganalogikan dengan kue, berarti menempatkan perempuan pada batasan. Seolah perempuan adalah kaleng makanan yang memiliki batas kadaluarsa. Mengapa objektifikasinya bukan “age like fine wine”?
“Masyarakat tidak bisa menerima ide bahwa perempuan-perempuan lajang bisa bahagia dan lebih bahagia dibandingkan mereka yang menikah dan memiliki anak. Kita menganggap hidup mereka kering, depresif, dan pasti ada yang “salah” dalam perjalanan hidupnya hingga tidak menikah”, Ester Lianawati dalam buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan.
Honjok: Menikmati Hidup Sendiri
Dalam buku “Honjok: Seni Hidup Sendiri” oleh Crystal Tai dan Francie Healey, ia menjelaskan mengenai dinamika hidup sendiri atau melajang dari berbagai wilayah terutama di Korea Selatan. Honjok merupakan bahasa Korea Selatan. Hon atau honja artinya kesendirian dan jok artinya suku. Honjok berarti suku penyendiri.
Kesendirian tidak sama dengan kesepian. Saya pernah memiliki pasangan dan merasa kesepian. Saya pernah berdua dengan teman saya, dan saya merasa kesepian karenanya. Setelah membaca Honjok, saya dapat mengidentifikasi bahwa saya juga termasuk suku penyendiri.
Saya bisa menikmati waktu saya dengan menghabiskan waktu sendirian. Lalu saya bisa sepenuhnya nyaman dan bahagia dengan diri saya sendiri, karena saya memiliki kontrol penuh atas diri saya.
Saya merasa lengkap saat sendiri, sehingga ketika saya berelasi (pertemanan atau hubungan romantis), seharusnya hubungan ini menambah kebahagiaan dan kebaikan dalam hidup saya. Namun, sebagian orang merasa lebih baik memiliki pasangan (sekalipun itu hubungan toxic), daripada sendirian.
Beberapa orang pernah berkata pada saya bahwa status lajang membuat mereka kesepian, karena mereka menyukai drama saat berhubungan romantis. Saya justru tidak suka itu.
Kesepian terjadi saat kita tidak merasa dipahami dan kehilangan arah/pegangan. Jadi, lajang tidak sama dengan kesepian. Tai dan Healey mengatakan, “Kesepian adalah lubang hampa yang bisa diisi dengan hubungan baik dengan orang lain atau diri sendiri. Kesepian adalah reaksi emosional yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan terhadap keterkucilan”.
Sendiri Bahagia, Sendiri Sempurna
Wayne Dyer mengatakan bahwa kita tidak akan kesepian jika menyukai diri kita sendiri. Yoon Hong Gyun dalam buku How to Respect Myself menjelaskan bahwa orang-orang takut pada perpisahan karena menganggapnya sebagai hal negatif. Mereka menganggap sendirian berarti kesepian, dan kesepian berarti penderitaan. Mereka menyimpulkan bahwa mereka tidak akan bahagia bila sendirian.
Bagi saya, saya dapat bahagia saat sendiri atau bersama-sama. Status lajang membuat saya dapat mengeksplorasi banyak hal dan membebaskan saya. Ester Lianawati dalam Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan menjelaskan, “Perempuan hendaknya tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan penilaian orang lain (masyarakat). Sebagai perempuan, kita perlu membebaskan diri penilaian-penilaian ini. Jika kita sendiri sudah menjadi perempuan bebas, kita dapat membebaskan perempuan lain”.
Menjadi perempuan lajang bukan masalah kok. Menginginkan pasangan dan perkawinan juga bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kita menjalankan hidup hanya berdasarkan ekspektasi, tuntutan dan paksaan orang lain. Kita perlu membebaskan diri dari penilaian-penilaian orang lain dan juga diri sendiri yang menganggap lajang adalah masalah atau status yang inferior.
Kita bisa bersahabat dengan diri sendiri, mengenali diri sendiri, dan memaksimalkan potensi diri. Nilai kita sebagai perempuan tidak berdasarkan status lajang atau menikah. Bukankah kita manusia merdeka? Kita layak mendapatkan hal-hal baik dalam hidup, kita boleh memilih untuk menjadi apa yang kita inginkan. []