• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menilik Relasi Agama dan Negara

Jika kita kerucutkan, titik temu relasi antara agama dan negara mengarah pada menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan

Mohammad Rafli Mohammad Rafli
26/12/2023
in Publik
0
Relasi Agama dan Negara

Relasi Agama dan Negara

782
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah – Desakan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sistem khilafah, atau Daulah Islamiyyah, pernah dilakukan oleh salah satu mantan ormas agama di Indonesia. Hal ini jelas menuai perbincangan dan perdebatan, khususnya di kalangan tokoh-tokoh agama. Pasalnya, konsep khilafah tidak sejalan dengan ideologi negara Indonesia, yaitu pancasila.

Putra Jalu Waluya Afandi dan Moh. Slamet, menganalisis bukunya Nadirsyah Hosen yang berjudul “Islam Yes, Khilafah No!” di dalamnya menyebutkan, bahwa jika menjadikan negara dengan bentuk khilafah dianggap satu-satunya solusi, sama halnya dengan melupakan banyak kisah-kisah kelam pada masa kekhalifahan.

Walaupun di sisi lain, banyak juga masa keemasannya. Namun demikian, kembali mendirikan khilafah tidak berarti akan hilang dan lenyapnya semua permasalahan yang ada.

Afandi juga menyebutkan, pembubaran ormas yang pemerintah dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lakukan, adalah bentuk dari mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, juga untuk menghargai jasa para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang demi tegaknya NKRI. Sebagai generasi penerus, tugas kita hanya tinggal meneruskan perjuangan dan mengisi kemerdekaan, agar terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Baca Juga:

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Pandangan Gus Dur tentang Relasi Agama dan Negara

Bapak humanisme Indonesia, KH. Abdurahman Wahid menawarkan pandangannya tentang relasi antara agama dan negara, yang terekam dalam buku “Menyingkap Pemikiran Politik Gusdur dan Amin Rais Tentang Negara”, karya Ma’mun Murod al Brebesy. Di dalamnya menyebutkan, bahwa Islam tidak memiliki pandangan doktriner mengenai bentuk negara.

Dalam hal struktur negara, tidak ada ketentuan tetap menurut pandangannya. Ini bergantung pada pilihan negara tertentu apakah mereka ingin mengadopsi model demokrasi, teokrasi, atau monarki. Bagi Gus Dur, yang paling penting adalah memenuhi tiga kriteria utama: pertama, memprioritaskan prinsip-prinsip permusyawaratan; kedua, menjunjung tinggi keadilan; dan ketiga, menjamin kebebasan.

Muhammad Anang Firdaus dalam jurnalnya yang berjudul “Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya” menukil dari Effendi. Bahwa umat islam di satu sisi percaya akan pentingnya prinsip islam dalam kehidupan bernegara. Namun di sisi lain, tidak ada pandangan yang bersepakat tentang hubungan yang tepat antara agama dan negara dan bagaimana seharusnya islam dan negara dapat dikaitkan.

Anang juga mengutip pandangan dari Syadzali, yang berpandangan terdapat tiga aliran pemikiran dalam konteks relasi antara agama dan negara. Pertama, pendapat yang meyakini islam sebagai agama yang lengkap dengan panduan untuk semua aspek kehidupan, termasuk politik.

Kedua, pandangan yang menekankan bahwa agama hanya berhubungan dengan urusan spiritual dan Tuhan, bukan politik. Ketiga, pendapat yang berpandangan bahwa islam tidak memiliki sistem politik tetapi menyediakan prinsip etika untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

HAM Sebagai Benang Merah Relasi antara Agama dan Negara

Rosseau dan Montesquieu dalam kajian Hak Asasi Manusia (HAM), mengatakan bahwa manusia semenjak dalam kandungan sudah merdeka. Maka tidak masuk akal jika manusia yang lahir akan terbelenggu. Dalam konteks Negara Indonesia, paham ini sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi Manusia bagian kesepuluh tentang Hak Anak, pasal 53 Nomor 1.

“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Semangat menjunjung tinggi untuk menegakkan dan melindungi hak-hak manusia dalam sebuah negara, sejalan dengan orientasi tujuan syariat (Maqashid al Syari’ah) dalam agama islam.

Keselarasan ini bisa kita temukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen I-IV yang memuat HAM dengan terdiri dari beberapa hak. Antaranya sebagai berikut: Hak kebebasan berpendapat, hak mendapatkan kedudukan sama dalam hukum, hak kebebasan berkumpul, hak kebebasan beragama, hak penghidupan yang layak, hak kebebasan berserikat dan hak mendapat pengajaran atau pendidikan.

Jika kita kerucutkan, titik temu relasi antara agama dan negara mengarah pada menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. (jalb al masalih wa dar’ al mafasid)

Relasi agama dan negara mampu berkolaborsi dengan baik untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa manusia sangat mudah melakukan sesuatu, hasil dari doktrinisasi ajaran agama. Karena agama adalah salah satu kebutuhan fundamental yang manusia miliki.

Dan negara memiliki peran untuk menjamin dan melindungi seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Maka dari itu, secara positif agama memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun negatifnya, terkadang agama menjadi media untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu demi mendapatkan kekuasaan. Atau yang kita kenal dengan biopolitik (politik identitas).

Maqashid al Syari’ah Ibnu Asyur

Ibnu Asyur adalah salah satu ulama kontemporer yang mahir di beberapa bidang ilmu. Namun, gagasan beliau yang masyhur, adalah pandangannya tentang Maqashid al Syari’ah yang beliau tuangkan dalam karyanya Maqashid al Syari’ah al Islamiyyah. Ibnu Asyur mendapat julukan “Guru Kedua” setelah julukan “Guru Pertama” disematkan pada al Syatibi sebagai ulama pertama yang telah berhasil memberi konsep pada kajian Maqashid al Syari’ah.

Dalam jurnalnya Julian Maharani, Ilfi Nur Diana dan Aunur Rofiq, yang berjudul “Pemikiran Ibnu Asyur Tentang Maqashid al Syari’ah Dalam Ekonomi Kontemporer” memberikan gambaran pengembangan fokus antara konsep Maqashid al Syari’ah klasik dengan kontemporer. Konsep al Kulliyat al Khamsah dalam Maqashid al Syari’ah klasik adalah: Menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga keturunan.

Ibnu Asyur dalam konsep Maqashid al Syari’ah kontemporernya, mengembangkan menjaga agama. Yaitu: menghormati, menjaga dan menjunjung tinggi kebebasan dalam beragama dan berfilsafat. Menjaga jiwa; mendukung dan mempertahankan hak serta martabat manusia.

Menjaga akal; memperluas sudut pandang dan pengembangan penelitian. Memiliki harta; menempatkan pelayanan sosial sebagai prioritas, yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Menjaga keturunan; memberikan perhatian ekstra untuk meningkatkan perlindungan keluarga.

Maqashid al Syari’ah dalam kajian ajaran agama Islam, memberikan kontribusi besar untuk menjaga keutuhan, kerukunan dan kehidupan bersosial warga negara. Pengembangan Maqashid al Syari’ah Ibnu Asyur, jika kita implementasikan dalam kehidupan bernegara ialah sebagai berikut: Menjaga agama; tidak ada paksaan untuk mengikuti agama tertentu. Warga negara mendapat kebebasan untuk memilih agama yang dia yakini.

Lalu menjaga Jiwa; melindungi warga negara dari bahaya dan ancaman-ancaman yang dapat menggangu kenyamanan. Menjaga akal; mengembangkan dan memajukan pendidikan, agar warga negara memiliki wawasan luas dan sikap kritis. Mejaga harta; memprioritaskan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Contohnya, mengedepankan produk dalam negeri yang merupakan hasil dari tangan-tangan anak bangsa. Menjaga keturunan; menjamin adanya perlindungan bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, dari berbagai kekerasan dan intimidasi. []

 

 

 

 

Tags: agamagusdurhamIbnu 'AsyurMaqashidNegaraRelasisyariah
Mohammad Rafli

Mohammad Rafli

Kelahiran Tangerang, Domisili Kediri. Alumni Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri. Sedang menempuh Program Pascasarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID