Mubadalah.id – Dalam banyak literatur fikih terdapat begitu banyak anjuran, larangan, dan aturan yang secara khusus ditujukan kepada perempuan. Bukan karena perilakunya, melainkan karena jenis kelaminnya.
Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa alasan dan tanpa ditemani mahram, wajib menutup seluruh tubuhnya, dilarang berhias di depan umum, tidak boleh menyambung rambut, mencukur alis, menggambar di tubuhnya (tato), berbicara lantang di ruang publik, hingga memimpin shalat.
Selain itu, ia wajib berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Semua ini adalah aturan-aturan yang hanya kepada perempuan.
Rentetan peraturan ini tidak bisa kita lepaskan dari satu asumsi mendasar dalam konstruksi keagamaan yaitu tubuh perempuan adalah sumber fitnah.
Seperti, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir jelaskan dalam buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, berbagai larangan ini lahir dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap seksualitas perempuan, seolah tubuhnya adalah ancaman yang harus laki-laki kendalikan. Maka bukan hal aneh jika ruang gerak perempuan dalam banyak pemahaman fikih lebih sempit daripada laki-laki.
Sumber-sumber fikih klasik bahkan mereproduksi narasi ini secara eksplisit. Dalam kitab ‘Uqūd al-Lujayn, Syaikh Nawawi al-Bantani (1230–1314 H/1813–1897 M) mengutip hadis:
“Perempuan adalah perangkap bagi setan (untuk menggoda manusia). Andaikata syahwat (libido) ini tidak ada, niscaya perempuan tidak punya kekuasaan (daya tarik) di mata laki-laki.”
Dari sini, muncul penilaian bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang bisa mengecilkan potensi fitnahnya di ruang publik, sambil menawarkan sisi erotis itu secara eksklusif kepada suaminya.
Hadis populer yang sering dikutip untuk mendukung konsep ini berbunyi: “Perempuan shalihah adalah yang jika dilihat menyenangkan, jika diperintah taat, dan jika ditinggalkan menjaga diri dan harta suaminya.”
Di balik kalimat manis itu, sesungguhnya ada standar moral yang berat sebelah kepada perempuan. Perempuan hanya mereka nilai dari seberapa jauh ia bisa menyenangkan dan melayani laki-laki.
Tubuh Perempuan Tidak Berharga
Dalam hubungan suami istri pun, tubuh perempuan sering kali tidak dihargai sebagai milik dirinya. Fikih mengajarkan bahwa kewajiban istri adalah tamkin yaitu menyediakan dirinya untuk suami kapan dan di mana saja.
Bahkan, sebagaimana dalam Sunan at-Tirmidzi (no. hadis 1160), “Jika suami mengajak istri berhubungan intim. Maka ia harus memenuhinya meskipun sedang di dapur atau di atas punggung unta.”
Dalam riwayat lain dari Shahih al-Bukhari (no. hadis 3065 dan 4898), perempuan yang menolak ajakan suaminya. Hingga suami tidur dengan perasaan kecewa akan “dilaknat oleh malaikat sampai pagi.”
Nalar keagamaan yang menempatkan tubuh perempuan semata sebagai sumber fitnah tidak hanya merugikan perempuan. Tetapi juga mempersempit makna keadilan dan kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Dr. Faqihuddin, jika Islam benar-benar membawa misi rahmatan lil alamin. Maka sudah semestinya fikih berkembang ke arah yang lebih adil. Bukan sekadar menjaga ketertiban sosial yang bias gender, tapi juga menghormati kemanusiaan perempuan secara utuh. []