Mubadalah.id – Malam yang seru bercampur haru. Malam itu, Aku menghadiri konser musik band rock’s ternama di kotaku. Saat di tempat membeli tiket tak sengaja bertemu dengan dua kawan difabel (Strabismus & Traumatic blindness) yang akan ikut konser juga. Akhirnya, kami memutuskan masuk ke area konser bareng.
Karena konser belum mulai, kami berbincang dan bercerita banyak hal. Salah satunya bercerita bagaimana tantangan mereka saat mencari kerja. Tantangan terbesar mereka adalah diskriminasi sistemik – tepatnya pada saat proses rekrutmen.
Seperti salah satu dari mereka bercerita, pernah mengalami diskriminasi pada saat melakukan Medical Check Up (MCU) ketajaman mata di perusahaan yang Ia lamar. Saat itu petugas MCU menyuruhnya untuk melihat huruf dengan mata yang mengalami Traumatic blindness (pupil putih) yang jelas tidak bisa melihat. Dan hasilnya Ia tidak lolos ke perusahaan tersebut karena tidak lolos MCU.
Buntut dari sana, Ia pernah ingin memasang lensa untuk menutupi pupil putihnya. Hanya karena ingin “diterima” dan “diakui” oleh sistem yang diskriminatif itu. Dan hasilnya tetap sama, Ia tidak lolos seleksi.
Salah satu dari mereka juga bercerita sering mengalami diskriminasi di dunia kerja. Pernah Ia melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, proses seleksi Ia tempuh dan lolos sampai tahap wawancara. Namun, Human Resource Development (HRD) selalu menyuruhnya untuk “menunggu” kabar selanjutnya sampai kabar itu tak kunjung menghampirinya.
Dan apa yang mereka katakan kepadaku cukup membuatku tertegun dan haru. Mereka mengatakan, mereka hanya ingin “diterima” – mereka ingin “diakui” keberadaannya sebagai manusia yang memiliki kesempatan dan hak yang sama.
Manusia yang Sama Seperti Kita
“Buruh juga manusia yang sama seperti kita”, ungkap Bang Romi – vokalis Romi & The Jahat’s saat akan menyanyikan lagu di malam itu,
Aku menangkap ungkapan Bang Romi, bahwa semua manusia itu sama di hadapan manusia yang lain. Terlepas dari etnis, warna kulit, status sosial, dan jendernya manusia tetap sama di mata manusia lain. Bahkan Allah SWT menegaskan dalam al-Quran:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”. (QS: Al-Hujurat: 13)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Islam benar-benar memandang martabat manusia setara – yang membedakan satu sama lain adalah ketakwaannya kepada Tuhan. Dan untuk mengukur ketakwaan itu bisa dengan melihat bagaimana memanifestasikan nilai ilahiah dalam berinteraksi dengan sesama – dalam hal ini nilai kemanuisaan.
Merujuk dimensi kemanusiaan menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib, manusia memiliki 4 fungsi kemanuisaan; fisik, ego, akal, dan jiwa. Keempat fungsi inilah yang membedakan dengan makhluk lain. Atau dalam kata lain jika keempat fungsi ini tidak ada pada diri seseorang, maka tak beda jauh dengan hewan – manusia yang hilang kemanusiaannya.
Tidak berfungsi nilai kemanusiaan inilah yang mempengaruhi pandangan terhadap sesamanya. Terutama masih memandang difabel sebagai manusia yang tidak berdaya dan berbeda (diskriminasi).
Bagaimana Cara Menerima Mereka (Difabel)?
“Islam adalah Agama Kasih Sayang”
Kita sepakat amsal di atas merupakan prinsip dasar berinteraksi dalam ajaran Islam-bahkan dalam ajaran agama mana pun. Dan frasa yang sering bersandingan dengan rahmah (kasih sayang) adalah mahabbah (cinta).
Keduanya merupakan faktor paling penting untuk menyatukan emosi manusia dan membangun hubungan baik antara satu dengan yang lain. Lalu, bagaimanakah Islam mengajarkan cara mencintai sesama manusia?
Rasulullah ﷺ mengajarkan bagaimana cara mencintai sesama manusia salah satunya terkandung dalam hadisnya:
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Dengan kata lain, kita harus menuntut diri sendiri untuk selalu memperlakukan orang lain dengan keadilan, kasih sayang, dan rasa hormat, sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Ingin “diterima” bukan dambaan bagi difabel saja, tapi bagi non-difabel pun demikian. Maka dari itu, mulai menerima mereka (difabel) di ruang mana pun. Ruang yang inklusif, aman, dan nyaman sebagaimana kita mendambakannya. []











































