Mubadalah.id – Semasa kecil, saya pernah menggunakan produk pembersih wajah yang digadang-gadang cocok untuk kulit wajah anak-anak. Dalam iklan yang tayang tergambarkan wajah anak-anak yang menggunakan produk pembersih wajah tersebut akan bersih dan bertambah mulus. Bebas dari jerawat yang kemungkinan akan timbul meski masih usia anak. Dan memang, di iklan tersebut tertampilkan wajah anak-anak yang mulus dan kenyal berkat menggunakan produk pembersih wajah anak tersebut.
Waktu itu semangat saya menggunakan produk pembersih wajah karena mengikuti ekskul yang mengharuskan saya berada di luar ruangan nyaris seharian. Demi menjaga kulit wajah itulah saya menggunakan produk pembersih wajah anak-anak. Setelah rutin menggunakannya, bukan kulit mulus yang saya dapatkan. Tapi jerawat-jerawat kecil mulai bermunculan di dahi saya dan saat itu rasanya sakit ketika sedang sujud shalat.
Seketika itu saya melapor kepada orang tua saya bahwa saya berjerawat dan alamak sakit. Kemudian orang tua saya menyarankan untuk berhenti sejenak menggunakan produk pembersih wajah tersebut, “barangkali tidak cocok untuk kulitmu.” Begitu komentarnya. Saran itu saya turuti dan benar saja. Sedikit demi sedikit jerawat di dahi saya menghilang. Ah, apa benar tidak cocok untuk kulit saya?
Kemudian ketika beranjak remaja dan mulai mengalami menstruasi, rambut saya yang ikal, tipis, dan tidak berwarna hitam legam mulai rontok. Dan lagi-lagi saya melihat iklan shampoo di TV yang menjanjikan dapat mengurangi rambut rontok dan menyuburkan. Tentunya saya mencoba produk shampoo tersebut Tapi sayangnya rambut rontok saya hingga hari ini belum mau beranjak. Masih tetap rontok! Padahal iklan tersebut memperlihatkan kondisi rambut perempuan yang semakin berkilau, hitam, dan menjuntai panjang tanpa rontok dan tebal.
Iklan Produk Kecantikan
Saya mulai merenung ketika saya mendapati rambut yang kian rontok dan kulit wajah yang begini-begini saja. Apa iklan produk-produk kecantikan perempuan tersebut salah? Atau saya yang memang tidak pernah cocok memakai produk apapun?
Lambat laun saya mulai menyadari bahwa iklan-iklan produk perawatan diri dan kecantikan perempuan adalah hanya kepentingan industri. Tentu model-model dengan perawatan yang komplit dan rutin yang ditampilkan. Hal tersebut untuk menarik konsumen seolah model tersebut menjadi jaminan bahwa kalau menggunakan produk yang ada di iklan. Maka hasilnya akan seperti model iklan produk tersebut.
Dan entah kenapa, perempuan cantik di Indonesia selalu tergambarkan dengan wajah yang mulus tanpa tekstur. Rambut yang menjuntai panjang, hitam legam dan lurus. Kulit yang putih sebening kristal. Kaki yang jenjang tinggi. Dan, badan yang langsing tanpa gelambir-gelambir.
Jadi, tidak heran muncul beragam produk-produk kecantikan, mulai dari perawatan wajah, rambut, kulit tubuh, sampai pelangsing. Bahkan yang mengherankan, hari ini pun ada lho produk untuk membersihkan bulu ketiak. Padahal bagian ini tidak terlihat dan sebetulnya sah dan normal saja jika ketiak ditumbuhi bulu halus. Toh bukan kehendak manusia juga. Tapi manusia merasa risih dengan hal-hal yang terjadi pada tubuhnya. Terutama bagian-bagian yang terlihat seperti wajah.
Lantas, masalahnya di mana? Tentu masalahnya bukan di bulu halus di ketiak yang tumbuh. Tetapi pada iklan-iklan produk kecantikan yang semakin tidak masuk akal. Perempuan-perempuan seolah tertuntut untuk tampil cantik ala model-model iklan yang berseliweran. Bahkan demi terlihat langsing perempuan rela memangkas porsi makan normalnya katanya agar tidak defisit lemak. Tidak sedikit juga perempuan yang rambutnya termodifikasi sedemikian rupa demi terlihat cantik seperti tuntutan iklan-iklan produk kecantikan.
Tubuh Perempuan
Memang, tubuh perempuan adalah satu hal yang tidak akan pernah selesai untuk termodifikasi dan kita bincangkan. Ada saja produk yang tertampilkan agar perempuan merubah penampilannya demi mendapat label cantik. Bahkan dari tahun ke tahun, trend kecantikan perempuan berubah-ubah dan makin tidak masuk akal.
Naomi Wolf (2002) dalam buku The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women menunjukkan bahwa selama ini perempuan-perempuan kulit hitam, kulit cokelat, bahkan kulit putih di Amerika selalu berhadapan dengan mitos kecantikan. Untuk disebut sebagai perempuan cantik sempurna, maka perempuan tersebut harus bertubuh tinggi, langsing, putih, dan berambut pirang.
Kulit wajahnya tidak boleh bertekstur apa lagi cacat. Bahkan lingkar pinggang perempuan cantik harus sekecil dan seramping mungkin. Tidak jarang perempuan-perempuan Amerika melakukan diet-diet bahkan operasi pembesaran payudara demi terlihat cantik sesuai standar kecantikan perempuan di Amerika.
Naomi Wolf menegaskan bahwa ada usaha dari industri kecantikan (produk kosmetik, fashion, produk pelangsing, dan produk lainnya) yang menjadi biang kerok untuk mengontrol kebebasan perempuan. Cermin kecantikan yang tergambarkan adalah bentuk penindasan baru bagi perempuan.
Selain itu Wolf juga menyatakan bahwa mitos kecantikan merupakan alat feminisasi perempuan yang membuat mereka terpenjara dalam ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Rasa tidak bisa memuaskan laki-laki, bahkan membenci dirinya. Wolf menyebutkan bahwa mitos kecantikan lahir dari idealisasi yang melayani tujuan atau kepentingan tertentu.
Lebih jauh Wolf menyampaikan bahwa mitos kecantikan di era modern seperti alat penyiksaan bagi perempuan yang ia sebut sebagai “iron maiden” yang sebetulnya sudah tidak mungkin lagi terjadi. Tetapi. Karena adanya iklan di TV dan media lainnya mitos kecantikan yang terhegemoni oleh sistem patriarki masih terus-menerus direproduksi. Perempuan diserang secara fisik dan psikologis dan jika tidak sesuai standar kecantikan yang ter-reproduksi oleh industry kecantikan maka, perempuan-perempuan tersebut tidak layak kita sebut sebagai perempuan cantik.
Industri Kecantikan
Dengan kata lain, industri kecantikan berusaha mereproduksi mitos kecantikan yang dipelihara dan dipromosikan secara besar-besaran oleh media massa. Dan sayangnya, penonton seperti kita turut menikmati mitos kecantikan yang tampil di media massa melalui perempuan-perempuan yang menjadi model, perempuan-perempuan yang bermain acting, dan perempuan-perempuan yang bernyanyi.
Yang harus kita pertanyakan adalah, apakah kita menikmati aktingnya dan suaranya atau kita juga menikmati mitos-mitos kecantikan?
Maka dari itu, jika mitos tentang kecantikan terus menerus direproduksi. Maka, yakin tidak akan pernah ada habisnya. Misalnya, kulit perempuan Indonesia yang berwarna sawo matang ingin memiliki kulit putih. Perepmuan yang memiliki rambut ikal ingin memiliki rambut yang lurus, dan kebalikannya, yang rambutnya sudah lurus ingin memiliki rambut yang kriting. Dan seterusnya… dan seterusnya…
Jika kita terus menerus mengikuti trend kecantikan perempuan yang terus direproduksi dan berubah-ubah setiap waktunya, kapan waktu kita untuk mensyukuri tubuh yang kita miliki? Jika kita terus-menerus mengikuti trend kecantikan, kapan waktu kita merawat dan berterimakasih atas kesempurnaan tubuh yang kini kita miliki? Dan pertanyaan yang terbesar adalah kapan kita tidak lagi tunduk pada kapitalisme yang terus mereproduksi tren-tren kecantikan tiap waktunya?
Saya kira, kini saatnya kita menghargai tubuh kita. Mensyukuri apapun yang ada pada tubuh kita. Misalnya, kita mampu mensyukuri kulit wajah bertekstur dan berjerawat yang kita miliki. Mampu mensyukuri kulit berwarna yang ada pada diri kita. Dan mampu mensyukuri kondisi lainnya yang melekat padat pada tubuh kita. []