Mubadalah.id – Berkenaan dengan wacana haid, nifas dan istihadlah dalam hadits, ada satu catatan penting yang bisa dikemukakan di sini yakni hampir seluruh ketentuan tentang ketiga persoalan ini didasarkan pada dan sebagai solusi atas kasus yang terjadi pada perempuan masa itu. Hukum ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan.
Solusi hukum yang diberikan Nabi menyangkut perempuan yang mengalami istihadlah menjadi bukti kemauan dan kemampuan Nabi mendengar kaum perempuan. Hampir seluruh hadits tentang persoalan ini menyatakan atau paling tidak mengindikasikan adanya dialog antara wahyu (melalui hadits Nabi) dengan perempuan sebelum turunnya suatu ketentuan.
Aisyah, Ummu Salamah, Fatimah binti Abi Hubaisy, Ummu Habibah binti Jahsy, Asma binti Umais, dan Hamnah binti Jahsy, radhiyallahu ‘anhunna adalah sebagian nama sahabat perempuan yang berperan dalam munculnya hadits-hadits tentang haid, nifas, dan terutama istihadlah.
Sebagian di antara mereka mengalami istihadlah dahsyat dan bahkan ada yang sampai menahun sehingga perlu bertanya kepada Nabi. Menariknya Nabi tidak memberikan jawaban yang seragam terhadap semua kasus. Kecuali hal-hal yang sudah pasti bisa semua perempuan lakukan seperti tetap melakukan shalat. Hal ini sebagaimana orang yang sedang suci serta wudu setiap kali mau shalat.
Jawaban Berbeda-beda kepada Perempuan
Namun untuk mandi wajib, Nabi memberikan jawaban yang berbeda-beda kepada para sahabat perempuan yang bertanya. Terhadap Ummu Habibah binti Jahsy, misalnya, Nabi memerintahkan agar mandi setiap kali mau shalat wajib.
Kepada Sahlah binti Suhail dan Asma’ binti ‘Umais, Rasulullah memerintahkan mandi sekali untuk dua shalat wajib. Yakni sekali untuk Dzuhur dan Ashar, sekali untuk Maghrib dan Isya, serta sekali untuk subuh.
Sedangkan terhadap Fatimah binti Abi Hubaisy Nabi malah hanya menyuruh mandi sekali saja pada saat haid biasanya berhenti.
Ilustrasi ini sekali lagi menegaskan kepada kita bahwa Nabi sangat mempertimbangkan kondisi perempuan sebelum memutuskan suatu hukum terhadapnya. Sehingga hukum yang Islam buat pada akhirnya memang bisa perempuan laksanakan sebagaimana mestinya.
Hadis-hadis tentang haid, nifas, dan istihadlah telah menunjukkan kepada kita akan adanya dialog antara wahyu (dalam hal ini putusan Nabi) dengan orang yang menerima taklif (dalam hal ini perempuan). Sehingga hukum yang terformulasikan betul-betul realistis dan sesuai dengan kemampuan penerima taklif. []