Namanya Khairiyah Hasyim, putri kedua dari pasangan K.H Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Lahir di Jombang, pada 1906. Khairiyah kecil tumbuh dilingkungan Pesantren Tebuireng, Jombang. Dalam masalah pendidikan Nyai Khairiyah berbeda dari saudara laki-lakinya yang memiliki langkah lebih lebar dibanding dirinya. Hal tersebut tidak lain karena adanya anggapan perempuan hanya sebatas konco wingking. Nyai Khairiyah mendapatkan pendidikan agama sampai pengajaran kitab kuning terutama dari ayahnya yang merupakan ulama besar Indonesia.
Saat menjalani dirasah kepada sang ayah, Nyai Khairiyah tidak ikut bergabung dalam halaqah yang diselenggarakan di aula pesantren atau kediaman kyai. Ia mendengar dibalik tirai yang terpisah sehingga tidak terlihat oleh santri putra yang sedang mengaji. Selain itu, Khairiyah kecil sering belajar otodidak. Ia mempelajari kitab-kitab salaf seperti ilmu gramatika arab, fiqh, hadits, tafsir dan lain-lain.
Setelah menginjak usia 9 tahun ia dijodohkan dengan Ma’sum Ali yang merupakan santri ayahnya. Ma’sum Ali kemudian dikenal luas sebagai penyusun kitab Al-Amsilah at-Tashrifiyah, sebuah materi dasar dan ilmu pembentukan bahasa. Namun, Saat usia Khairiyah 27 tahun suaminya meniggal dunia. Akhirnya, ia meneruskan pesantren yang ditinggalkan suaminya tersebut yakni Pesantren Seblak, Jombang. Ini merupakan kali pertama seorang perempuan menjadi pemimpin pesantren yang santrinya laki-laki.
Pada tahun 1983, Nyai Khairiyah berangkat ketanah suci bersama suami keduanya yaitu K.H. Muhaimin setelah lima tahun memimpin Pesantren Seblak. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk menimba ilmu kepada para ulama yang ada di sana. Madrasah Darul Ulum merupakan lembaga pendidikan bagi orang-orang Jawa yang mukim disana.
Nyai Khairiyah dan K.H Muhaimin salah satu inisiator berdirinya madrasah ini. Semula pendirian madrasah ini berawal dari banyaknya perempuan yang berasal dari Hindia Belanda yang beribadah haji, serta keadaan perempuan yang memprihatinkan, maka di tahun 1942 madrasah ini membuka kelas untuk perempuan yang kemudian diberi nama Madrasah Lil Banat.
Lalu berikutnya pada tahun 1952 Nyai Khairiyah kembali ke tanah air setelah KH. Muhaimin meninggal, serta dua dekade memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di Mekkah. Ia kembali memimpin Pesantren Seblak, Jombang hingga berhasil. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari pengalaman serta semangat Nyai Khairiyyah dalam berdakwah selama bermukim di Mekkah. Sehingga layak jika beliau disematkan dengan penghargaan sebagai Ulama Perempuan.
Cita-cita Nyai Khairiyah yang berjangkauan luas benar-benar diperjuangkan, tidak hanya bagi diri dan keluarga, tapi juga umat secara umum. Dengan mendirikan Madrasah Lil Banat dan Pesantren Putri Seblak berarti ia turut serta membangun harkat dan martabat kaum perempuan pada zamannya. Dengan bersekolah, perempuan dibekali pengetahuan sehingga mengetahui praktik menjadi manusia yang berakal budi, berpotensi, dan mandiri sehingga mampu mempunyai andil dalam mengajar sekaligus mengejar ketertinggalan baik diranah sosial, budaya maupun kemasyarakatan. []