Mubadalah.id – Dalam Dialog Publik Nasional dan peluncuran buku Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti di Jakarta, Rabu, 19 November 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menegaskan bahwa praktik pemotongan atau pelukaan genital perempuan (P2GP) tanpa alasan medis harus dihentikan. Tidak hanya sebagai persoalan kesehatan, tetapi sebagai mandat kemanusiaan yang tidak dapat ditawar.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Perempuan (PHP) dalam RTKKSD KemenPPPA, Dian Ekawati, mewakili Menteri PPPA, menyampaikan apresiasi mendalam kepada Alimat, KUPI, dan para ulama perempuan yang selama ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam mengawal isu P2GP dan perlindungan anak perempuan.
Dalam sambutannya, Dian memberikan penghormatan khusus kepada editor buku ini, Prof. Alimatul Qibtiyah, yang menurutnya selalu konsisten mendampingi proses panjang advokasi P2GP. Setiap pandangan, kajian, dan masukan para ulama perempuan, katanya, menjadi penguat penting bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada keselamatan perempuan dan anak.
“Kami merasa sangat berterima kasih atas pandangan-pandangan kritis dan konstruktif dari para ulama perempuan. Suara mereka memberi tenaga baru bagi kami untuk terus memperjuangkan perlindungan anak perempuan dari praktik berbahaya ini,” kata Dian.
Fatwa KUPI yang Mengubah Peta Advokasi Nasional
Salah satu pilar penting perubahan adalah fatwa keagamaan KUPI yang, sejak 2022, menegaskan bahwa P2GP tanpa alasan medis adalah haram dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dalam Islam. Fatwa ini, menurut Dian, menjadi sinyal moral dan sosial yang sangat kuat bagi birokrasi dan masyarakat.
“Agama tidak boleh menjadi justifikasi praktik berbahaya. Islam hadir untuk melindungi kehidupan dan menjaga martabat manusia, bukan melanggengkan mudarat,” tegasnya.
Kolaborasi dengan organisasi keagamaan dan profesi seperti KUPI, Ikatan Bidan Indonesia, Fatayat, Muslimat NU, Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah menjadi kunci memperluas pemahaman bahwa praktik ini bukan ajaran agama, dan tidak terkait dengan moralitas perempuan sebagaimana sering diasumsikan.
Ancaman P2GP Masih Nyata
Dian menegaskan bahwa meski ada penurunan angka praktik P2GP secara nasional, ancaman kekerasan terhadap anak perempuan masih sangat nyata.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, sekitar 55% responden perempuan pernah mengalami P2GP pada usia 0–11 tahun. Angka itu sempat menurun menjadi 46,3% pada 2024. Tetapi tetap menunjukkan risiko besar yang dihadapi jutaan anak perempuan Indonesia.
“Penurunan angka bukan berarti masalah selesai. Prevalensinya masih tinggi, dan banyak anak perempuan tetap menjadi korban praktik budaya dan keagamaan yang keliru,” ujarnya.
Dian menyebutkan sejumlah wilayah dengan angka tertinggi P2GP: Jawa Barat, Banten, Riau, Bangka Belitung, NTB, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Daerah-daerah ini menjadi fokus intervensi KemenPPPA, meski edukasi tetap dilakukan secara nasional.
Ia menegaskan bahwa praktik P2GP tidak memiliki dasar medis, tidak bermanfaat, dan justru “meninggalkan luka fisik maupun trauma psikologis dalam jangka panjang.”
Regulasi Ada, Tapi Tidak Cukup: Negara Butuh Dukungan Masyarakat
Dian menyebut sejumlah regulasi penting yang kini menjadi dasar hukum penghentian praktik P2GP, termasuk PP No. 28/2024, Permenkes No. 2/2025, dan aturan lain yang mengikat tenaga kesehatan.
Namun ia menegaskan bahwa regulasi saja tidak akan menghapus praktik yang sudah mengakar secara sosial dan budaya.
“Ini bukan hanya urusan kementerian. Pemerintah, ulama, akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil harus bergerak bersama. Perubahan perilaku tidak akan terjadi tanpa suara otoritatif para tokoh agama,” katanya.
Peluncuran Buku yang Menghubungkan Kebijakan dan Keyakinan Publik
Dian menggarisbawahi arti penting peluncuran buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti. Buku ini, katanya, bukan hanya dokumentasi sejarah, tetapi “jembatan strategis” antara kebijakan negara dan keyakinan masyarakat.
“Ketika kebijakan di tingkat negara bersentuhan dengan keyakinan yang hidup di masyarakat, perubahan menjadi lebih mungkin. Buku ini membantu mempercepat proses itu,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa buku ini menjadi sumber pengetahuan baru baginya. Meski baru delapan bulan bertugas di bidang PHP, ia merasakan betul beratnya isu ini, dan bagaimana kolaborasi dengan ulama perempuan menguatkan langkah pemerintah.
Dian berharap buku ini tidak berhenti sebagai dokumen akademik. Tetapi dapat kita sosialisasikan lebih luas menjangkau kelompok muda, para orang tua muda, komunitas keagamaan, hingga masyarakat pedesaan.
“Ini adalah amal jariyah bagi kita semua,” ujarnya.
Perlindungan Anak Perempuan adalah Mandat Kemanusiaan
Dian menyatakan bahwa setiap anak perempuan di Indonesia berhak tumbuh tanpa luka di tubuh. P2GP, katanya, bukan sekadar praktik salah kaprah, tetapi pelanggaran terhadap hak anak atas tubuhnya sendiri.
“Mereka tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan. Itu melanggar hak dasar manusia,” tegasnya.
Melalui roadmap dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan P2GP 2020–2030, pemerintah berkomitmen menghapus praktik ini. Namun yang paling menentukan adalah gerakan masyarakat.
“Jangan biarkan satu pun anak perempuan Indonesia tumbuh dengan luka fisik atau trauma akibat praktik berbahaya ini. Tugas kita memastikan setiap anak perempuan tumbuh sehat, berdaya, dan terlindungi,” tukasnya. []









































