Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan seorang pakar fiqh Indonesia Tengku Muhammad Hasbi Ash-shiddqi tentang poligami, maka ia menyebutkan dalam kitab tafsirnya an-Nur:
“Ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat, bahwa tidak boleh seorang laki-laki beristri dengan yang kedua, semasih mempunyai seorang istri. Ulama Mu’tazilah mempersaksikan dengan seksama segala bencana-bencana dan kesukaran-kesukaran yang disebabkan oleh poligami.”
“Mereka menginsafi bahwa di antara dasar-dasar syari’at Muhammad ialah memberkan kepada illat (wasilah) hukum yang diberikan kepada tujuan. Kita lihat bahwa akibat beristri banyak itu sangat buruk, yang tidak dapat kita pandang menjadi baik oleh akal dan tidak Allah ridhai. Karena itu, mereka haramkan.”
Pilihan pandangan seperti ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Pada saat di mana masyarakat masih bergelimang dengan kebiasaan berpoligami, ia menegaskan bahwa perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogami.
Penafsiran seperti ini, mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an, sekalipun masih mengakomodasi budaya saat penurunannya, juga mengandung pesan-pesan transformatif untuk perubahan sosial kemanusiaan. Pesan-pesan ini dengan mudah bisa kita tangkap pada struktur bahasa al-Quran sendiri.
Karena itu, kebanyakan ulama tafsir memandang perlu untuk melakukan kritik terhadap poligami, yang menurut struktrur bahasa al-Qur’an sendiri menyimpan api ‘ketidak-adilan’, yang seringkali menimpa terhadap perempuan.
Bahkan, mereka tahu poligami dipraktikkan banyak orang pada saat itu. Termasuk tokoh-tokoh utama dalam sejarah awal muslim.
Dengan pesan transformatif ini, seharusnya kritik terhadap praktik poligami terus kita lakukan sepanjang sejarah perilaku umat Islam. Kritik yang harus berdasarkan pada moralitas keadilan, yang tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Ketika kita sepakat, bahwa perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki. Yaitu memiliki perasaan, keinginan, kebutuhan dan penghargaan yang sama sebagai manusia. Maka ‘kritik poligami’ juga harus kita teruskan dan tempatkan pada koridor posisi kemanusiaan perempuan yang sama dengan kemanusiaan laki-laki. []