Mubadalah.id – Pada Selasa, 6 Desember 2022 pemerintah secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-undang (UU) KUHP.
Di dalam UU KUHP ini bagi saya mengandung sejumlah pasal yang ngawur, kontroversi dan saya kira tidak sejalan dengan kebebasan demokrasi di negera kita Indonesia.
Serta dalam UU KUHP ini juga menimbulkan sejumlah penolakan dari berbagai pihak.
Misalnya, salah satu pasal yang kontroversi menurut saya adalah tentang tindak pidana kesusilaan, yang tertera dalam pasal 416 bab XV.
Perlu kita ketahui, pasal 416 bab XV ini merupakan salah satu pasal dalam UU KUHP yang mengatur tentang hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah menurut negara.
Perkawinan yang sah menurut negara adalah perkawinan harus berdasarkan ketentuan hukum agama atau kepercayaan masing-masing dan tercatatkan di Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
Apabila pasangan suami istri tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka perkawinannya tidak sah secara negara.
Oleh sebab itu, dalam pasal ini akan memberikan banyak dampak negatif, karena akan mengkriminalisasi pasangan-pasangan yang telah melangsungkan perkawinan secara agama atau adat, karena ia tidak tercatat di PPN.
Di Indonesia terdapat banyak sekali pasangan-pasangan yang hanya melangsungkan perkawinan hanya secara agama atau adat saja tanpa dicatatkan di PPN.
Berdasarkan hasil riset Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pada 2015 menyebutkan dari 17 provinsi yang ada di Indonesia, sebanyak 36% dari 89.000 pasangan yang sudah menikah tidak memiliki akta/buku nikah.
Dari sekian banyaknya pasangan-pasangan yang tidak memiliki akta/buku nikah tersebut, semuanya berpotensi terkriminalisasi oleh pasal 416 ini.
Kalau memang pemerintah menginginkan semua warga negaranya tertib administrasi. Maka sebaiknya pemerintah tidak perlu menjadikan perkawinan yang tidak tercatatkan sebagai perilaku pidana.
Solusi Alternatif
Akan tetapi pemerintah bisa memberikan solusi alternatif lain. Misalnya, pertama, pemerintah dapat melakukan sosialisasi dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
Kedua, pemerintah sebaiknya membebaskan pencatatan perkawinan dan isbat nikah (penetapan perkawinan).
Dengan begitu, maka saya kira ke depan tidak ada masyarakat Indonesia yang terpidana hanya gara-gara pekawinanannya tidak tercatat di PNN.
Dan terkait pasal 416 bab XV di atas, sebaiknya pemerintah kembali untuk mengavaluasi, dan mengubah subtansi dari pasal tersebut.
Karena soal pencatatan perkawinan adalah hal yang mudah, yang bisa dilakukan oleh setiap penyuluh agama di setiap daerah masing-masing.
Dan seharusnya pemerintah itu memberikan fasilitas dan akses yang mendukung agar pasangan suami istri yang belum tercatat perkawinannya untuk dapat tercatat secara negera, bukan justru mempidanakan mereka. []